PARBOABOA – Perang di jalur Gaza dipastikan akan tetap berlanjut walaupun terdapat kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas.
Dilansir dari Al Jazeera, Senin (24/06/2024), dalam wawancaranya dengan Chanel 14 Israel, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengaku terbuka dengan kesepakatan parsial yang akan memfasilitasi pembebasan sandera.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pastikan perang di Jalur Gaza akan tetap berlanjut walaupun ada kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok Hamas.
Walau begitu, ia tidak menyetujui apapun yang mengharuskan perang di Jalur Gaza dihentikan.
“Kami bertujuan untuk memulangkan para sandera dan menggulingkan Hamas di Gaza,” tegas Benjamin Netanyahu.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden memberikan proposal gencatan senjata yang mendesak Israel dan kelompok Hamas untuk berhenti berperang selama enam minggu dan membebaskan masing-masing sandera.
Proposal ini juga berisi usaha negosiasi mengenai gencatan senjata permanen jika gencatan senjata yang berlangsung selama enam minggu berhasil dilakukan.
Namun, wacana gencatan senjata permanen ini ditentang keras oleh pihak Israel. Israel tidak setuju untuk berhenti berperang sepenuhnya karena ingin menghabisi Hamas di Palestina.
Di sisi lain, kelompok Hamas justru menyambut baik usulan gencatan senjata permanen itu. Walau begitu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken mengatakan Hamas mengajukan sejumlah perubahan yang akhirnya membuat proses pembicaraan terhambat karena menunggu lamanya persetujuan dari Hamas.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama wawancara Benjamin Netanyahu kepada Channel 14, dikatakan bahwa Israel akan segera menghentikan operasi militer di Rafah.
Pasukan militer nantinya akan ditempatkan di perbatasan utara Israel dengan Lebanon. “Fase intens pertempuran melawan Hamas akan segera berakhir,” ucapnya.
Penarikan pasukan militer dari Rafah ke perbatasan Lebanon ini, menurut Benjamin Netanyahu, bukan berarti perang akan segera berakhir. Tetapi perang dalam fase intens di Rafah akan segera berakhir.
Diketahui, perbatasan utara Israel belakangan memang sedang memanas sebagai imbas dari tewasnya komandan senior Hizbullah, kelompok milisi di Lebanon Selatan.
Israel sendiri telah mengeluarkan pernyataan setuju atas rencana perang dengan Hizbullah. Di sisi lain, Hizbullah juga mengaku tak gentar dengan rencana perang Israel tersebut dan malah balik menantang Israel.
Konflik Israel dan Hizbullah terjadi bersamaan dengan pecahnya agresi zionis di Jalur Gaza. Hizbullah mengklaim menyerang Israel sebagai bentuk solidaritas dengan kelompok Hamas.
Agresi Israel di Jalur Gaza sampai saat ini telah menewaskan lebih dari 37 ribu orang. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak Palestina.
Sementara itu, beberapa negara Arab disebut tidak mau mengirimkan pasukan militernya ke Jalur Gaza, Palestina dalam rangka mengamankan situasi bila agresi militer di Gaza berakhir.
Kepala Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Herzi Halevi bertemu dengan beberapa jenderal senior dari lima negara Arab di Bahrain.
Pertemuan itu diikuti dengan kehadiran Komando Pusat Amerika Serikat (US Central Command) di tengah upaya Washington menetapkan rencana pasca perang di Jalur Gaza.
Walau begitu, pertemuan tersebut tampaknya tidak membuahkan hasil bagi upaya AS. Pasalnya, kerjasama antara beberapa negara Arab dengan Israel tidak populer di kalangan masyarakat Arab.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar orang Arab (sekitar 92 persen) mengatakan persoalan Palestina menyangkut semua orang Arab.
Sebagian besar orang Arab menggambarkan Amerika Serikat bias terhadap Israel dalam perang di Jalur Gaza.
Tidak hanya itu, penduduk Arab juga berbeda sikap dengan pemerintah Arab sehingga kebijakan AS di Timur Tengah keliru jika mengabaikan suara masyarakat Arab yang merupakan suara dominan.
Upaya Amerika Serikat untuk membujuk beberapa negara Arab mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Jalur Gaza diperkirakan akan gagal dan hanya akan meletuskan konflik di antara masyarakat dan pemerintah Arab.
Pasalnya, faksi-faksi di Palestina tidak akan setuju dengan kehadiran militer asing di Jalur Gaza tanpa kesepakatan rakyat.
Kelompok milisi seperti Hamas dan Jihad Islam telah memperingatkan bahwa mereka akan mempertimbangkan kehadiran militer di Gaza sebagai upaya penjajahan.
Selama beberapa dekade, AS dinilai telah mengabaikan hak dan kepentingan rakyat Palestina. Jika AS mendorong negara sekutu Arabnya untuk bekerjasama dengan Israel tanpa mempertimbangkan posisi Palestina, diperkirakan hal ini hanya akan memicu konflik di Gaza dan seluruh wilayah.
Editor: Fika