PARBOABOA, Jakarta - Eskalasi konflik di Timur Tengah semakin meningkat setelah Militer Israel (IDF) mengklaim telah menyerang Lebanon pada Rabu (25/10).
Mengutip The Times of Israel, Kamis (27/10/2023), pasukan pertahanan Israel dalam sebuah pernyataan resmi mengatakan, serangan tersebut merupakan upaya pembalasan atas peluncuran rudal kendali yang dilakukan Lebanon sebelumnya.
Israel diketahui meluncurkan rudalnya di dekat Markas Kontingen Indonesia untuk UNIFIL, pasukan perdamaian PBB di Lebanon.
Sejak perang dengan Hamas pecah pada 7 Oktober, hubungan Israel dengan kelompok militan Hizbullah dan faksi-faksi Palestina yang bersekutu di Lebanon selatan juga ikut memanas.
Militer Israel juga menyerang sasaran-sasaran militer di Suriah pada 25 Oktober pagi, yang menewaskan delapan tentara.
Konflik Israel dan Lebanon memiliki akar historis dan telah berlangsung selama beberapa dekade.
Konflik yang melibatkan berbagai aktor, termasuk kelompok-kelompok militan dan pasukan internasional itu menjadi salah satu yang paling rumit di Timur Tengah.
Makram Rabah (2020), pakar sejarah dari American University of Beirut, dalam Security Defence Quarterely menulis, sebelum berdirinya negara Israel pada tahun 1948, Lebanon merasa dilema dalam menentukan hubungan mereka dengan gerakan Zionis di Palestina.
Beberapa kelompok nasionalis di Lebanon mempertimbangkan aliansi dengan Zionis, dengan harapan akan mendukung pembentukan negara Kristen-Lebanon yang bersekutu dengan Zionis.
Namun, pendiri Lebanon, terutama Riad al-Solh dan Bechara el-Khoury, lebih memilih untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab tetangganya, merasa bahwa ini adalah prioritas yang lebih penting.
Pada 14 Mei 1948, negara Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, dan keesokan harinya, Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dan Lebanon menyatakan perang terhadap negara Bintang Daud itu..
Meskipun Lebanon memiliki tentara yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya, mereka juga ikut serta dalam konflik tersebut.
Pasukan Israel memukul mundur pasukan Arab dan berhasil menduduki sementara wilayah selatan Lebanon.
Konflik ini berakhir dengan gencatan senjata yang ditandatangani pada tanggal 23 Maret 1949, dan pasukan Israel mundur ke perbatasan yang diakui secara internasional.
Mengutip Time Megazine, seorang profesor ilmu politik di American University of Beirut, Hilal Khashan mengatakan, pada pertengahan tahun 1960-an, ketegangan antara Israel dan Lebanon kembali meningkat.
Hal tersebut terjadi ketika gerakan Fatah, sebuah kelompok nasionalis Palestina, mulai melancarkan serangan dengan intensitas rendah dari wilayah Lebanon.
Tentara Lebanon berusaha melawan operasi Fatah, namun opini publik terbelah soal konflik ini.
Sejumlah komunitas Muslim dan kelompok kiri sekuler atau pan-Arab di Lebanon bersimpati dengan perjuangan Palestina, sementara kelompok nasionalis sayap kanan Lebanon, yang mayoritas Kristen, enggan terlibat dalam konflik yang mereka anggap bukan urusan mereka.
Perang Enam Hari pada tahun 1967 menjadi titik balik penting dalam sejarah konflik kedua negara.
Dalam waktu satu minggu, Israel berhasil mengalahkan militer Arab secara telak, mengakibatkan pengusiran warga Palestina dari wilayah Yerusalem, Tepi Barat, dan Gaza dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Naksa" atau kemunduran.
Meskipun Lebanon memiliki keterlibatan militer yang sangat terbatas, perang ini memicu pengungsian ribuan warga Palestina ke Lebanon dan meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut.
Dari tahun 1970 hingga 1980-an awal, Lebanon menjadi markas besar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) setelah pemberontakan yang gagal di Yordania pada tahun 1970.
Peristiwa ini, yang dikenal sebagai "Black September," mengakibatkan pengusiran PLO dari Yordania ke Lebanon. Dalam beberapa tahun berikutnya, PLO memindahkan markas besar mereka ke Beirut, ibu kota Lebanon, dan wilayah selatan Lebanon.
Pada tahun 1982, Israel menginvasi Lebanon dengan alasan menghentikan serangan PLO di perbatasannya. Namun, invasi ini berakhir dengan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila yang mengguncang dunia dan menjadi salah satu babak tergelap dalam sejarah konflik ini.
Pada tahun 2000, Israel menarik pasukannya dari Lebanon selatan, mengakhiri pendudukan yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Namun, stabilitas relatif ini terancam pada tahun 2006 ketika Hizbullah, kelompok militan yang mendapat dukungan dari Iran, menangkap tentara Israel dan memicu Perang Juli yang berlangsung selama 34 hari, menyebabkan kerusakan besar di Lebanon dan Israel.
Hingga tahun 2023, perbatasan antara Israel dan Lebanon tetap relatif sepi, meskipun peristiwa terbaru telah meningkatkan ketegangan.
Roket dan serangan drone sesekali melintas dari Lebanon ke Israel tanpa menyebabkan eskalasi besar, sementara Israel terus melanggar wilayah udara Lebanon.
Sejarah konflik Israel dan Lebanon mencerminkan dinamika kompleks dan rumit di Timur Tengah. Dalam suasana ketegangan yang berkelanjutan, perjuangan untuk mencapai stabilitas dan perdamaian di wilayah ini tetap menjadi tantangan besar yang harus diatasi.
Seiring waktu, harapannya adalah bahwa upaya diplomasi akan mendominasi agenda dan membawa perdamaian yang berkelanjutan ke Israel dan Lebanon.