PARBOABOA, Jakarta - Hari Senin yang seharusnya menjadi awal minggu penuh semangat di Dhaka, Bangladesh, berubah menjadi mimpi buruk.
Sebuah jet tempur Angkatan Udara Bangladesh terempas di tengah lingkungan sekolah dan kampus padat murid, menewaskan puluhan orang, sebagian besar anak-anak serta melukai puluhan lainnya.
Insiden memilukan ini terjadi pada Senin siang, 22 Juli 2025, sekitar pukul 13.06 waktu setempat. Pesawat tempur F-7 BGI, kebanggaan Angkatan Udara Bangladesh, baru saja lepas landas dari Pangkalan Udara AK Khandaker di Kurmitola, Dhaka.
Namun, beberapa menit setelah menembus awan, pesawat dilaporkan mengalami kerusakan mekanis mendadak.
Menurut pernyataan resmi militer Bangladesh, pesawat sedang menjalankan misi latihan rutin.
Namun, takdir berkata lain. Suara mesin meraung di langit, lalu sunyi diganti dentuman ledakan ketika pesawat menghantam Milestone School and College — sekolah dua lantai yang saat itu penuh siswa dari taman kanak-kanak hingga tingkat SMA.
Dalam hitungan detik, ruang kelas berubah menjadi puing-puing terbakar. Asap hitam menutupi langit Dhaka, menandai salah satu bencana militer terburuk di kawasan pemukiman kota itu.
Upaya Terakhir Sang Pilot
Di balik insiden ini, tersimpan kisah pilu perjuangan Letnan Mohammed Toukir Islam, sang pilot muda yang berupaya mencegah tragedi lebih besar.
Pria kelahiran Sylhet, 14 Mei 1996, ini adalah lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara Bangladesh tahun 2018.
Dikenal tekun dan berdedikasi, Letnan Toukir baru empat tahun menjadi pilot tempur aktif dan telah menyelesaikan puluhan jam terbang dalam misi patroli rutin.
Menurut laporan saksi militer, Letnan Toukir sempat melaporkan kerusakan sistem kendali beberapa detik setelah lepas landas.
Dalam komunikasi terakhirnya dengan menara kontrol, ia berusaha keras mengalihkan pesawat ke area terbuka.
Namun, upayanya gagal ketika jet kehilangan daya angkat dan menukik ke arah sekolah yang sedang ramai murid hendak pulang.
Sayangnya, Letnan Toukir sendiri tak sempat keluar dari kokpit. Ia gugur bersama 26 korban lainnya, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga kecilnya — istri dan putrinya yang masih berusia dua tahun.
Detik-detik setelah pesawat menghantam bangunan, saksi mata menggambarkan suasana seperti neraka.
Suara ledakan keras disusul kobaran api melahap ruang kelas, lorong, dan area taman bermain. Guru-guru berlarian mengevakuasi murid, sementara warga sekitar berusaha memadamkan api dengan peralatan seadanya.
Seorang guru, Masud Tarik, yang saat itu mengajar di lantai dua, masih syok ketika diwawancarai Reuters.
“Saya hanya melihat bola api datang. Anak-anak berteriak, beberapa lari ke luar, beberapa terjebak di dalam,” katanya dengan suara bergetar.
Data Kementerian Kesehatan Bangladesh menunjukkan, 27 orang tewas seketika, mayoritas siswa berusia di bawah 15 tahun.
Sementara itu, 88 orang lainnya, termasuk guru dan penjaga sekolah, mengalami luka bakar parah hingga kritis.
Hingga malam, keluarga korban memenuhi tujuh rumah sakit di Dhaka, berharap kabar baik dari ruang ICU yang terus dipenuhi tangisan dan doa.
Duka Nasional
Pemerintah Bangladesh langsung menetapkan hari berkabung nasional. Bendera dikibarkan setengah tiang di semua kantor pemerintahan, sekolah, dan fasilitas publik. Doa bersama digelar di masjid, gereja, vihara, dan kuil di seluruh penjuru negeri.
Presiden sementara Bangladesh, Muhammad Yunus, dalam pidato singkatnya menyatakan belasungkawa mendalam dan berjanji membentuk tim investigasi khusus.
Militer Bangladesh pun mengonfirmasi komite investigasi internal untuk membongkar penyebab pasti kerusakan mesin F-7 BGI — pesawat buatan China yang menjadi andalan armada udara Bangladesh sejak 2011.
Hingga kini, belum ada temuan awal yang diumumkan, namun pihak militer berjanji akan transparan demi mencegah tragedi serupa.
Peristiwa tragis ini menambah daftar panjang kecelakaan penerbangan di Asia Selatan. Hanya berselang beberapa minggu sebelumnya, sebuah pesawat komersial Air India menghantam asrama perguruan tinggi kedokteran di Ahmedabad, India, menewaskan 241 dari 242 penumpang serta merenggut nyawa 19 orang di darat.
Kedua insiden ini seakan menegaskan pentingnya pemeriksaan ketat pada armada udara, baik sipil maupun militer, di kawasan yang padat penduduknya.
Di balik angka-angka korban, tragedi ini merenggut masa depan puluhan anak-anak yang sedang merangkai mimpi di bangku sekolah.
Sekolah yang semestinya menjadi tempat aman untuk belajar, justru berubah jadi saksi bisu bencana yang mengguncang hati seluruh bangsa.
Hari-hari ke depan, Bangladesh berjuang memulihkan luka fisik dan batin warganya, sembari berharap investigasi dapat membawa jawaban dan perbaikan nyata.