Polemik Putusan MA: Usia Minimal Calon Diubah, Kaesang Siap Bertarung di Pilkada 2024

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyoal putusan MA terkait batas usia bacagub dan bacawagub (Foto: Instagram/@tanggraini)

PARBOABOA, Jakarta - Perubahan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi sorotan utama setelah diumumkannya Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 pada Rabu (29/05/2024).

Keputusan itu dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengubah ketentuan usia minimal pasangan calon kepala daerah. 

Jika berpatokan pada aturan lama, maka calon harusnya telah berusia 30 tahun sejak masa penetapan dan bukan baru dihitung sejak pelantikan. 

Putusan tersebut menciptakan celah baru bagi anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri dalam Pilkada 2024. 

Sebab diketahui bahwa Kaesang belum mencapai usia 30 tahun saat penetapan paslon pada September 2024 mendatang.

Polemik pun bermunculan. Keputusan serupa mengingatkan masyarakat pada masalah yang pernah menyeret nama Gibran Raka, kakak kandung Kaesang. 

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menyoal kurang pahamnya Majelis MA terkait regulasi Pilkada yang dilaksanakan secara sistematik.

"Jika diperhatikan dengan seksama, syarat usia tersebut berlaku sejak seseorang yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik ke KPU," ujar Titi dalam sebuah keterangan, Rabu (05/06/2024).

Baginya, status sebagai calon tidak hanya berlaku saat pelantikan, tetapi sudah melekat sejak KPU menetapkan seseorang sebagai calon tetap.

Dengan kata lain, keputusan yang diambil Majelis MA tidak tepat karena melanggar ketentuan UU yang berlaku.

Menurut Titi, KPU sebagai regulator Pilkada memiliki wewenang untuk mengatur teknis penyelenggaraan setiap tahapan Pilkada.

Sementara ketentuan yang diuji MA masuk dalam ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy). 

Maka, “ini menjadi kewenangan KPU,” tambahnya.

Ia juga berpendapat bahwa Putusan MA tampak seperti replikasi pengujian syarat usia serupa yang pernah dilakukan saat Pilpres 2024 di MK. 

Kedua putusan tersebut diterbitkan berdekatan dengan tahapan pemilu/pilkada, yang menurut Titi, seharusnya tidak berlaku untuk Pilkada 2024 karena tahap pencalonan sedang berlangsung.

“Hal itu agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan oleh calon lain yang sudah mulai mempersiapkan pencalonan lebih awal,” lanjutnya.

Pendapat serupa disampaikan oleh Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Indonesia, Bivitri Susanti.

Bivitri menyatakan putusan MA mengenai batas usia calon kepala daerah memiliki kemiripan dengan putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai wapres. 

Kedua putusan ini pada dasarnya memodifikasi batas usia dengan menambahkan atau mengubah norma tertentu.

"Masalahnya adalah apakah usia 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dihitung sejak penetapan pendaftaran atau sejak pelantikan," jelas Bivitri pada Rabu (05/06/2024).

Dalam pertimbangannya, MA mengklaim bahwa putusan tersebut bertujuan untuk memajukan keterlibatan anak muda dalam politik. 

Namun, menurut Bivitri, perubahan waktu tiga bulan tidak akan mengubah status anak muda.

Ia sendiri tidak melihat niat yang jelas dalam penafsiran tekstual atau maksud asli dari UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang disebut-sebut mengakomodasi generasi muda.

Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan bahwa kewenangan MA seharusnya terbatas pada uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. 

Pengujian materi dengan ukuran UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh MK.

"Jadi wajar jika kita melihat adanya pola yang sama antara mahkamah kakak (MK) untuk saudaranya dan mahkamah adik (MA) untuk adiknya," tambahnya.

Bivitri juga menggarisbawahi perbedaan pelaksanaan putusan antara MK dan MA. 

Putusan MK berlaku langsung setelah ditetapkan, sementara putusan MA yang meminta revisi aturan PKPU harus diimplementasikan oleh KPU sendiri.

Tolak Intervensi Anwar Usman

Terlepas dari kritik substantif terkait putusan MA, Titi Anggraini menyoroti potensi keterlibatan Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam penyelesaian sengketa usia calon.

Anggota Perludem dan Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI) itu menyebutkan bahwa keterlibatan Usman dapat menimbulkan konflik kepentingan.

"Materi permohonan ini berdampak pada pencalonan Kaesang dalam Pilkada 2024, meskipun permohonannya diajukan pihak lain," ujarnya.

Perludem, lembaga pemantau pemilu, mendorong MK untuk memprioritaskan pemeriksaan perkara dengan Nomor Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3): 69/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024. 

Pemeriksaan tersebut disarankan untuk dibuat sebelum proses pendaftaran paslon yang berlangsung mulai 27-29 Agustus mendatang.

Sebelumnya, Titi Anggraini telah menegaskan urgensi penyelesaian kasus ini untuk menjamin kepastian hukum dalam pencalonan Pilkada 2024. 

Dia menyinggung bahwa MK telah terbiasa mengambil keputusan cepat ketika substansi kasus sudah jelas dan aspek konstitusionalnya terdefinisi dengan baik.

Dalam konteks ini, Titi juga mengomentari Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang menegaskan keputusan MA yang final dan mengikat. 

Hal tersebut mencakup keterwakilan perempuan serta syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Namun demikian, ia menyoroti pernyataan yang disampaikan oleh anggota KPU RI, Idham Holik, yang menyatakan pendaftaran paslon Pilkada belum dimulai. 

Dia menilai pernyataan tersebut menunjukkan ketidaktahuan terhadap proses pencalonan yang sebenarnya.

Titi menekankan bahwa proses pencalonan Pilkada tidak hanya berlangsung saat pendaftaran paslon, tetapi sudah dimulai sejak proses penyerahan syarat dukungan bagi calon perseorangan sejak 5 Mei 2024 lalu.

Keterpenuhan syarat usia calon, lanjutnya diukur pada saat penetapan paslon oleh KPU, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020.

"Saat ini, bakal pasangan calon perseorangan sudah dalam tahapan verifikasi administrasi oleh KPU daerah," pungkasnya. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS