PARBOABOA, Pematangsiantar - Sri Lanka menunda pembayaran utang dan meminta bantuan kepada Badan Moneter Internasional (IMF) karena masih berjuang mengatasi krisis ekonomi terburuk.
Penduduk Sri Lanka dalam beberapa bulan terakhir mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar, obat-obatan, serta makanan. Belum lagi pemadaman listrik yang bisa mencapai 13 jamjam sehari.
Faktor utama krisis tersebut adalah pemerintah yang tak becus mengelola perekonomian, terutama di tengah pandemi Covid-19.
"Sri Lanka mencetak rekor utang internasional terburuk sejak kemerdekaannya pada 1948," kata juru bicara Kementerian Keuangan.
"Kejadian akhir-akhir ini, termasuk pandemi Covid-19 dan peperangan di Ukraina, telah merusak posisi fiskal Sri Lanka yang membuat kewajiban kami untuk membayar utang menjadi tidak memungkinkan," lanjut pernyataan itu.
Sri Lanka yang terpuruk meminta bantuan dana ke IMF. Pekan ini, pemerintah mempersiapkan negosiasi bailout atau pemberian bantuan dari IMF.
Mereka berharap lembaga keuangan global itu bisa mendukung neraca pembayaran negara itu dalam tiga tahun ke depan sebesar US$3 miliar atau Rp50 triliun.
*Demo di kantor presiden"
Sementara itu, puluhan ribu warga berunjuk rasa di depan kantor Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Rakyat yang semakin gusar karena sang presiden dianggap tidak becus mengurus perekononian memintanya mundur dari kurai kepresidenan.
Ini merupakan protes terbesar sejak krisis mencekik Sri Lanka pada Maret. Para warga beramai-ramai mengepung kantor kepresidenan di Ibu Kota Sri Lanka, Kolombo.
Mereka mengibarkan bendera nasional dan meneriakkan pengunduran diri Presiden Gotabaya.
"Ini adalah orang-orang tak bersalah. Kami semua berjuang untuk hidup. Pemerintah harus mundur dan mengizinkan orang yang cakap memimpin negara," seru salah satu demonstran.
Merespons hal itu, Perdana Menteri Sri Lanka, sekaligus kakak Gotabaya, Mahinda Rajapaksa, meminta kesabaran warga yang turun ke jalan.
Dalam pidato pertamanya sejak krisis, Mahinda mengaku butuh lebih banyak waktu untuk membebaskan Sri Lanka dari krisis.
"Jika kami tak bisa menghentikan krisis dalam dua atau tiga hari, kami akan menyelesaikannya sesegera mungkin," kata dia dalam pidato yang disiarkan di televisi, seperti dikutip AFP, Rabu (13/4/2022).
Selain memprotes krisis, warga juga menuntut pemecatan pemerintahan Rajapaksa. Selama dua dekade, keluarga Rajapaksa menguasai politik Sri Lanka.
Sedangkan Mahinda enggan mengomentari seruan agar ia turun dari tampuk kekuasaan. Ia malah membela pemerintahannya dengan menyalahkan partai oposisi yang tak mau membantu.