PARBOABOA, Jakarta - Penyakit gangguan irama jantung atau aritmia semakin menjadi sorotan di dunia dan Indonesia, dengan perkiraan jumlah pasien yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Prevalensi aritmia pada 2023 diperkirakan mencapai 1,5-5 persen pada populasi dunia, demikian data dari alomedika. Sementara itu, pada tahun 2011, terdapat 2,1 juta kasus aritmia di Indonesia.
Aritmia adalah kondisi di mana detak jantung tidak teratur, terlalu cepat, atau terlalu lambat. Detak jantung normal berkisar antara 50-100 detak per menit.
Dewan Penasehat Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS)/Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI), Dr. dr. Dicky Armein Hanafy menjelaskan penderita aritmia dapat mengalami berbagai gejala.
Di antaranya, detak jantung yang terlalu cepat (takikardia) atau terlalu lambat (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, dan nyeri dada.
Namun, beberapa pasien tidak merasakan gejala tersebut, sehingga mereka tidak menyadari menderita aritmia.
Gejala-gejala aritmia dapat memicu komplikasi serius seperti stroke, gagal jantung, dan kematian mendadak. Diperkirakan lebih dari 100.000 kematian mendadak jantung terjadi di Indonesia setiap tahun.
Meskipun aritmia dapat menimpa siapa saja, sering kali terjadi secara sporadis dan hanya pada sebagian kecil pasien dengan kondisi bawaan.
Faktor risiko untuk menderita aritmia termasuk usia, penyakit jantung koroner, penggunaan narkoba, alkohol berlebihan, penggunaan obat-obatan tertentu, merokok, dan konsumsi kafein berlebih.
Penanganan aritmia melibatkan berbagai metode, termasuk tindakan kateter ablasi untuk menangani detak jantung yang tidak teratur dan terlalu cepat.
Keberhasilan tindakan ini terus meningkat sehingga menjadi pilihan pertama, karena obat-obatan hanya meredakan gejala tanpa bisa menyembuhkan.
Selain itu, pemasangan alat Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) juga dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak jantung.
ICD ditanamkan di dada dan memberikan kejutan listrik saat terjadi gangguan irama jantung. Perangkat ICD memiliki baterai yang bertahan hingga 8 tahun tergantung kondisi pasien.
Aritmia memiliki banyak jenis, salah satunya yang kerap terjadi yakni Fibrilasi Atrium (FA). Ini merupakan kondisi di mana gangguan irama jantung ditandai dengan denyut yang tidak beraturan dan cepat.
Prevalensi FA global diperkirakan mencapai 46,3 juta kasus pada tahun 2023. Di Indonesia, diperkirakan akan ada 3 juta kasus aritmia FA pada tahun 2050.
Tantangan Penanganan Aritmia di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan dalam penanganan aritmia selama bertahun-tahun.
Ketua InaHRS/PERITMI, dr. Sunu Budhi Raharjo menyebut, tantangan yang dimaksud yakni jumlah dokter spesialis jantung yang ahli dalam aritmia masih terbatas.
Hingga 2023, hanya ada 46 dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah ahli aritmia di Indonesia.
Tantangan selanjutnya yakni akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit ini masih buruk.
Sebagai contoh, tindakan pemasangan ICD dan ablasi kateter di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Data pada 2019 menunjukkan hanya ada pemasangan 68 ICD, tahun 2020 sebannyak 48 alat dan 2021 berjumlah 84.
Kondisi yang sama juga terjadi dalam penanganan kasus-kasus aritmia lainnya seperti ablasi kateter.
Sunu menyebut, berdasarkan data tahun 2021, hanya ada 84 tindakan ablasi FA yang dilakukan di Indonesia.
Padahal Malaysia pada tahun sebelumya berhasil melakukan sebanyak 191 tindakan. Singapura juga berhasil melakukan ablasi FA sebanyak 143 tindakan.
Dari tahun ke tahun, angka di Indonesia belum menunjukan perubahan signifikan, walaupun jumlah ahli aritmia sudah bertambah.
Faktor utama yang mempengaruhi tantangan ini adalah perbedaan antara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan biaya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter spesialis aritmia.
Pada tahun 2015, biaya pemasangan ablasi FA berkisar Rp70juta hingga Rp130 juta. Sementara pemasangan ICD pada 2020, membutuhkan biaya sebesar Rp90 juta hingga Rp100an juta.
Padahal, kedua tindakan tersebut mampu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien. ICD misalnya, mampu mengurangi risiko KJM lebih dari 40 persen.
Editor: Umaya khusniah