Kasus Kekerasan Anak, KPAI Soroti Penggunaan Ruang Digital

Ilustrasi anak di ruang digital (Foto: Parboaboa/Norben Syukur)

PARBOABOA, Jakarta - Kasus tindak kekerasan terhadap anak di tanah air masih merupakan salah satu isu serius yang jamak terjadi hingga kini.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 3.877 kasus kekerasan terhadap anak, menurun dari 4.683 kasus pada tahun 2022.

Meski ada penurunan jumlah kasus, tingkat keparahan kekerasan meningkat, sehingga diperlukan kerjasama dari semua pihak.

Banyak kasus tersebut terjadi di lingkungan keluarga dan pendidikan, menimbulkan efek trauma, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan korban tewas.

Selain itu, menurut data KPAI, salah satu aspek yang menjadi perhatian utama terkait kasus tersebut adalah dampak ruang digital terhadap anak.

"Secara jumlah memang menurun, namun kualitas kekerasannya sangat memprihatinkan," kata Komisioner KPAI, Kawiyan, di Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Kawiyan menyatakan bahwa KPAI telah mengumpulkan data terkait korban kekerasan anak, yang terbagi menjadi dua kategori.

Kategori pertama, anak yang mengalami masalah dalam pemenuhan hak, dan kategori lainnya, anak yang menghadapi masalah dalam perlindungan khusus.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pada tahun 2023, dari 3.877 kasus, sebanyak 1.666 kasus berkaitan dengan anak yang menghadapi masalah dalam perlindungan khusus.

Kategori ini, jelasnya, mencakup kekerasan seksual dan fisik.

Menurutnya, internet menjadi salah faktor utama dalam kasus kekerasan terhadap anak.

Internet, ungkapnya, memiliki dua sisi: bisa memberikan dampak positif sekaligus negatif, terutama bagi anak-anak.

Karena itu, peran pemerintah dan orang tua sangat dibutuhkan untuk melindungi anak dalam ruang digital.

Saat ini, anak-anak dengan mudah dapat masuk ke dunia digital yang dibutuhkan, entah untuk belajar atau mencari informasi tertentu.

Namun, disisi lain, mereka terpapar konten yang tidak terverifikasi, terutama di media sosial.

Hal ini tentu dapat mempengaruhi karakter anak, seperti ucapan yang kasar dan perilaku kekerasan.

Dalam usaha mengatasi fenomena ini, ia mengingatkan perlu penguatan peran orang tua dan keluarga untuk melindungi anak di ruang digital.

Ia menjelaskan bahwa orang tua pada dasarnya adalah gerbang utama bagi anak-anak dalam hal apapun, termasuk bagaimana mereka memberikan pendampingan dan pengawasan di dunia digital.

Selain itu, pemerintah perlu melakukan literasi digital bagi orang tua, karena teknologi berkembang pesat, dan seringkali anak lebih memahami teknologi daripada orang tua.

Meski orang tua punya banyak waktu, pemahaman mereka terhadap teknologi kadang kurang.

Senada dengan itu, spesialis perlindungan anak Unicef Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio, menerangkan bahwa di era digital, anak-anak bisa menjadi pelaku sekaligus korban kekerasan.

Oleh karena itu, diperlukan lingkungan yang protektif dan aman bagi anak-anak.

Orang-orang yang dekat dengan anak-anak, "seperti ibu, bapak, pengasuh, hingga teman-teman," pasti memiliki peran penting bagi anak," kata Astrid.

Astrid menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sudah memiliki hotline pelayanan terkait kekerasan anak.

Namun, bagi Astrid, hal yang paling penting adalah bagaimana kita menangani laporan, apakah sudah memiliki cukup pekerja sosial, dan apakah akses ini tersedia di semua daerah.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sebenarnya sudah memiliki unit pelaksana teknis di daerah terkait perlindungan perempuan dan anak.

Unit ini sudah ada di lebih dari 300 kabupaten/kota, tetapi standar pelayanannya harus ditingkatkan dan harus dipastikan aktif.

Hasil monitoring Unicef dan Bappenas mencatat bahwa unit pelaksana teknis daerah terkait perlindungan perempuan dan anak masih menghadapi tantangan dari sisi aksesibilitas dan kualitas pelayanan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS