Kebijakan Bursa Karbon Jokowi, Organisasi Lingkungan: Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim

Penampakan lanskap Kota Jakarta dari atas pesawat yang diselimuti polusi udara. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta – Sejumlah organisasi lingkungan menolak tegas kebijakan bursa karbon atau perdagangan karbon yang telah diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Salah satu organisasi yang menolak, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai, perdagangan karbon merupakan jalan sesat dalam mengatasi krisis iklim.

Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, perdagangan karbon hanya akan melanggengkan korporasi dan negara-negara industri untuk terus mengekstraksi alam.

"Baik melalui pembongkaran fosil bawah tanah, pembakaran fosil, deforestasi atau proyek-proyek konservasi yang akan semakin memperpanjang rantai konflik serta krisis iklim," tegas Uli, Rabu (27/9/2023).

Selain Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, bursa karbon akan membuat masyarakat adat terdesak, kehilangan hutan adat mereka.

Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman mengatakan, hutan-hutan adat bakal habis diberikan ke perusahaan ekstraktif dengan dalih konservasi lingkungan.

"Politik dagang karbon yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia tanpa pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya yang mereka miliki secara turun temurun, merupakan praktik kolonialisme terhadap masyarakat adat," kesalnya.

Kebijakan bursa karbon, lanjut Arman, hanya menguntungkan industri ekstraktif dan berorientasi pada kepentingan investasi. Padahal, kata dia, industri ekstraktif merupakan hulu dari pencipta emisi.

"Sekaligus bahwa politik dan praktik perdagangan karbon adalah metamorfosa dari oligarki ekstraktif ke industri yang seolah-olah melindungi lingkungan," tambahnya.

Bursa Karbon Tidak Atasi Krisis Iklim

Kritik lain juga disampaikan Yayasan Pikul yang mengkritisi efektifitas perdagangan karbon dalam mengatasi krisis iklim, utamanya mengurangi gas rumah kaca.

Yayasan Pikul menilai, kebijakan perdagangan karbon untuk mengatasi krisis iklim merupakan sebuah kemunduran.

Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul menjelaskan, riset-riset terbaru membuktikan perdagangan karbon tidak secara otomatis menurunkan emisi.

"Banyak sekali kredit karbon sampah yang tidak terbukti menurunkan emisi, Indonesia mempermalukan dirinya dengan berbangga memilih instrumen yang sedang dalam kecaman dan sorotan dunia," tegasnya.

Torry menyarankan pemerintah Indonesia memilih instrumen lain yang lebih kredibel untuk mengatasi krisis iklim.

"Harus dilihat dari sisi mitigasi, perlindungan lingkungan dan perlindungan sosial dan hak asasi manusia ketimbang instrumen pasar," katanya.

Ditambahkannya, solusi nyata dalam mengatasi krisis iklim ialah segera meninggalkan model pembangunan yang bertumpu pada ekstraktivisme atau bersandar pada sektor pertambangan.

"Juga memperkuat transisi energi yang demokratis dan berkeadilan yang sejalan dengan skenario pembangunan untuk mempertahankan suhu global di bawah 1,5 derajat yang telah disepakati secara global," imbuh Torry Kuswardono.

Selasa (26/9/2023) kemarin, Presiden Jokowi luncurkan bursa karbon di Bursa Efek Indonesia.

Jokowi menyebut, peluncuran bursa karbon merupakan kontribusi nyata Indonesia melawan krisis iklim.

Eks Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, hasil dari perdagangan karbon bakal digunakan untuk upaya menjaga lingkungan.

"Jika dikalkulasi potensi bursa karbon kita bisa mencapai potensinya Rp3 ribu triliun, bahkan bisa lebih. Sebuah angka yang sangat besar," jelas Jokowi saat peresmian bursa karbon.

Ia juga mengatakan bursa karbon bisa menjadi ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Hal itu, katanya, sejalan dengan arahan dunia yang sedang menuju ekonomi hijau.

"Karena memang ancaman perubahan iklim sangat bisa kita rasakan, kita tidak boleh main-main. Kenaikan suhu bumi, kekeringan, banjir, polusi sehingga dibutuhkan langkah-langkah konkret untuk mengatasinya," tegas Jokowi.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS