Kebijakan Ekspor Benih Lobster, Melindungi Ekosistem atau Merugikan Indonesia

Nasib para pembudidaya benih lobster tradisional jika kran ekspor benur benar-benar dibuka. (Foto: Istock/Niuniu)

PARBOABOA, Jakarta - Pembudidaya lobster di Indonesia kini tengah menghadapi ancaman serius.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP), Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan rencana pembukaan keran ekspor benih lobster atau benur dengan menggaet negara Vietnam. 

Namun demikian, rencana pembukaan ekspor benih lobster ini masih dikaji dan nantinya bakal ada syarat yang harus dipenuhi Vietnam untuk bisa mendapatkan benih lobster secara legal dari Indonesia.

Hal itu dilakukan agar Indonesia memiliki peran strategis di supply chain Lobster dunia. 

Menurut Trenggono, pembukaan keran ekspor benur sekaligus untuk menekan ekspor ilegal benur setiap tahunnya yang bernilai fantastis mencapai Rp300 jutaan.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Maritim, Marcellus Hakeng Jayawibawa mengkhawatirkan nasib para pembudidaya benih lobster tradisional jika kran ekspor benur benar-benar dibuka.

Menurutnya, pada masa pemerintahan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Susi Pudjiastuti, ekspor benur telah dilarang.

Susi Pudjiastuti menolak ekspor benur sebagai komoditas karena tidak ingin kekayaan alam Indonesia diekspor dalam bentuk benih, melainkan sebagai lobster yang siap untuk dikonsumsi.

"Secara pribadi, saya sepakat dengan kebijakan larangan ekspor benur yang diterapkan pada masa kepemimpinan Menteri KKP Susi Pudjiastuti. Larangan tersebut diresmikan dan dijelaskan lebih lanjut," katanya kepada PARBOABOA pada hari Sabtu (20/1/2024).

Adapun larangan tersebut, tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan. 

Lobster yang boleh ditangkap harus memiliki ukuran panjang karapas di atas 8 cm. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Januari 2015.

Karena itu, Marcellus menegaskan bahwa ekspor benur hanya merugikan Indonesia karena nilai ekspor tidak terlalu besar. 

Larangan ekspor benur diterapkan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem benih lobster di perairan Indonesia, yang pada akhirnya akan menjadi lobster dewasa.

"Tanpa adanya benur, potensi untuk memiliki lobster dewasa yang dapat diambil oleh nelayan Indonesia akan sangat terbatas.Penangkapan lobster dilakukan untuk komoditas dewasa," ungkapnya.

Lebih parahnya lagi, tarik ulur ekspor benur itu dikhawatirkan akan berdampak pada nasib pembudidaya lobster lokal.

"Saya khawatir kolaborasi ekspor benur dengan pihak Vietnam justru dapat merugikan para pembudidaya lobster tradisional. Ini berarti, kerjasama tersebut mungkin tidak menguntungkan bagi Indonesia," ujar dia.

Selain itu juga, ekspor benur akan memunculkan lahan baru untuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di KKP dalam hal menentukan perusahaan yang ikut dalam bisnis ekspor benur. 

Tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan besar dapat meraih keuntungan dari proyek ekspor benur ini, sehingga memperoleh benur dari nelayan dengan harga yang rendah dan menjualnya lebih tinggi. 

"Pokoknya, harus menolak proyek ekspor benur ini karena dapat menyebabkan kerugian pada populasi lobster dewasa dan berdampak negatif pada keuangan negara," tuturnya.

Editor: Wenti Ayu
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS