PARBOABOA, Jakarta - Kenaikan tarif ojek online (ojol) di wilayah Jabodetabek dikeluhkan banyak konsumen.
Maria (24), sebut saja demikian, terkejut melihat pengeluaran transportasi daringnya selama bulan September.
Setelah berpindah lokasi dari Yogyakarta ke Jakarta pada bulan Juli, ia merasakan bahwa tarif ojol kini jauh lebih mahal dibandingkan pertama kali digunakan pada 2022.
"Dulu tidak seperti ini. Lebih murah ongkosnya. Jadi kalau kemana-mana, saya lebih sering pakai ojek online," kisahnya kepada PARBOABOA, Minggu (13/10/2024).
Maria yang kerap menggunakan ojol untuk berbelanja kebutuhan dapur di pasar Palmerah harus merogoh saku sebesar Rp28.000 untuk perjalanan pulang pergi.
"Padahal, tempat tinggal saya masih di Palmerah. Hanya berjarak 1,7 Km ke pasar. Kalau sebulan belanja 4 kali, maka uang yang dikeluarkan sudah Rp112.000," tambah Maria.
Arnold (29), perantau asal NTT yang berdomisili di Kemanggisan merasakan hal serupa. Untuk menuju lokasi kerjanya di daerah Senayan, ia harus mengeluarkan Rp20.000-25.000 ribu dalam sekali jalan.
"Kalau jam-jam padat itu bisa sampai 25.000 ribu. Seminggu saja sudah 175.000 ribu yang dipakai untuk ojol. Jika demikian, bagaimana mau nabung nanti?" keluh Arnold awal Oktober lalu.
Sebagai jalan keluar, ia memilih menggunakan transportasi umum seperti busway atau mikrotrans. Risikonya, ia harus berdesak-desakan dengan banyak penumpang lain.
"Kadang sampai terlambat ke kantor kalau saya sedikit telat. Padahal, kalau pakai ojol kan lebih praktis? Hanya saja mahal kan biayanya," keluh Arnold.
Meski tarif meningkat, pendapatan pengemudi ojol justru stagnan. Hal tersebut dialami Heru, seorang pengemudi ojol yang merasa kenaikan tarif tidak berbanding lurus dengan pendapatannya.
“Potongan yang dikenakan aplikasi kini dapat mencapai 20 persen, padahal sebelumnya tidak ada. Tarif naik, tapi penghasilan tidak berubah, bahkan menurun,” kata Heru.
Pendapat Heru beralasan. Data survei IDEAS pada 2023 menunjukkan bahwa penghasilan rata-rata pengemudi ojol menurun drastis.
Sebelum pandemi, pengemudi bisa mendapatkan sebesar Rp305.000 per hari. Sementara sesudah pandemi, mereka hanya memperoleh Rp175.000 ribu per hari.
Mayoritas pengemudi juga mengeluhkan potongan aplikasi yang tinggi, di mana bisa mencapai 20 persen, meskipun aturan terbaru menetapkan batas maksimum 15 persen.
Jika dibiarkan, persoalan ini justru memperburuk nasib pengemudi di satu pihak dan merugikan konsumen di pihak lain.
Regulasi Khusus
Kenaikan tarif ojol tentu berkaitan erat dengan penyesuaian aturan yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan RI pada tahun 2022, tarif ojol untuk wilayah Jabodetabek diatur pada rentang Rp2.550-Rp2.800 per km, berbeda dari tarif tahun 2019 yang hanya berkisar Rp2.000-Rp2.500 per km.
Namun, ketentuan ini belum termasuk biaya sewa aplikasi yang bisa mencapai 15 persen serta tambahan biaya kesejahteraan bagi pengemudi.
Ketua Bidang Teknis Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Garda Indonesia, Danny Stephanus, menyoroti algoritma supply-demand yang menjadi dasar penentuan tarif ojol.
“Perhitungan tarif ojek online tidak mengikuti komponen tarif resmi yang diterapkan untuk angkutan umum,” jelasnya pada Selasa (08/10/2024).
Danny menegaskan bahwa perhitungan tarif berdasarkan supply and demand tidak mempertimbangkan komponen tarif yang sudah diatur pemerintah.
Skema tersebut bisa membuat tarif naik saat permintaan tinggi, namun juga menekan tarif di saat permintaan rendah.
"Prinsip supply and demand berarti jika permintaan di suatu wilayah tinggi tetapi jumlah pengemudi ojol terbatas, maka tarif akan meningkat. Juga sebaliknya demikian,” tambahnya.
Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa kenaikan harga ojol sah-sah saja asal tidak melanggar aturan tarif ambang batas atas dan bawah yang ditetapkan pemerintah.
“Ketika platform menentukan harga, mereka harus mengikuti aturan tersebut. Jika tarif turun, tidak boleh melewati batas bawah. Sebaliknya, jika tarif naik, tidak boleh melampaui batas atas,” ujarnya, Selasa (08/10/2024).
Huda juga berkomentar mengenai polemik promo tarif hemat yang dianggap merugikan pengemudi online.
Menurutnya, promo atau diskon dari aplikator seharusnya ditanggung oleh pihak aplikator, bukan dibebankan kepada pengemudi.
“Misalnya, jika aturan tarif Kemenhub menetapkan bahwa untuk 5 kilometer minimal tarifnya adalah Rp10 ribu, namun ada promo dari platform yang membuat konsumen hanya membayar Rp8 ribu, maka kekurangan Rp2 ribu itu harus ditanggung oleh platform, bukan pengemudi. Pengemudi tetap harus menerima pembayaran sesuai dengan ketentuan pemerintah,” tambahnya.
Lebih lanjut, Huda menyoroti adanya celah dalam aturan mengenai potongan aplikasi pada tarif ojek online.
Ia menjelaskan bahwa biaya potongan aplikasi dalam bentuk komponen sewa jasa layanan masih diperbolehkan jika jumlahnya sesuai dengan ketentuan aturan.
Namun demikian, masalah muncul ketika ada tambahan biaya lain yang belum diatur secara jelas. Hal tersebut yang kemudian merugikan driver ojol.
Karena itu, dibutuhkan “regulasi yang jelas sehingga dapat menjembatani kepentingan semua pihak dan menciptakan keseimbangan tarif yang lebih baik,” tutupnya.
Editor: Defri Ngo