Kenaikan UMP 6,5 Persen Tak Disambut Gembira oleh Buruh

Kenaikan UMP 2025 sudah Diumumkan Presiden Prabowo. (Foto:Instagram/@gokepri)

PARBOABOA,Jakarta - Kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto menuai berbagai respons.

Bagi pemerintah, langkah ini dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan daya beli pekerja.

Namun, bagi buruh, angka tersebut dinilai belum cukup untuk mengimbangi tingginya biaya hidup.

Apa yang menjadi dasar keputusan ini, dan bagaimana dampaknya terhadap buruh serta pengusaha?

Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (29/11) mengumumkan kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya sebesar 3,6 persen, bahkan melebihi usulan Menteri Ketenagakerjaan yang awalnya hanya 6 persen.

Prabowo menyebut, keputusan tersebut adalah bentuk perlindungan terhadap kesejahteraan buruh sekaligus menjaga daya saing industri.

“Kami memutuskan kenaikan ini setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dan pengusaha,” ungkap Prabowo dalam konferensi pers di Istana Negara.

Ia menambahkan, kenaikan UMP didasarkan pada formula yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak (KHL) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.

Namun, serikat buruh merasa keputusan ini belum cukup memadai.

Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), menilai kenaikan tersebut tidak sebanding dengan kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok.

Ia mengatakan, kalau pemerintah menurunkan harga sembako dan biaya transportasi, maka kenaikan 6,5 persen bisa dirasakan manfaatnya. Tapi tanpa itu, “kenaikan ini belum cukup membantu buruh,” ujar Mirah kepada media.

Ketidakpuasan buruh terhadap kenaikan UMP bukan hal baru. Tren kenaikan upah seringkali menjadi perdebatan karena dianggap tidak sejalan dengan realitas ekonomi.

Data sebelumnya menunjukkan, kenaikan UMP 2024 sebesar 5,3 persen dan kenaikan 2023 mencapai 7 persen.

Meski lebih tinggi dibandingkan 2022 yang hanya naik 1,09 persen, angka tersebut masih jauh dari tuntutan buruh.

Sementara, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, bahkan mengkritik rencana pembagian UMP berdasarkan sektor industri yang dicanangkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.

Ia menyebut, rencana ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang melarang perbedaan upah minimum berdasarkan sektor.

Menurutnya, pembedaan seperti ini justru melemahkan posisi buruh di industri padat karya. Kami menuntut kenaikan UMP dihitung dengan formula yang lebih adil, “yaitu inflasi ditambah indeks tertentu dikalikan pertumbuhan ekonomi,” tegas Said.

Jika pemerintah tetap melanjutkan rencana ini, serikat buruh mengancam akan menggelar aksi mogok nasional pada Desember 2024 yang melibatkan lima juta buruh di seluruh Indonesia.

Setelah melalui berbagai diskusi, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli kemudian optimistis bahwa kenaikan 6,5 persen adalah keputusan terbaik.

Menurutnya, kondisi ekonomi yang membaik membuat beban kenaikan ini relatif ringan bagi pengusaha.

“Kami berharap semua pihak bisa menerima kebijakan ini dengan lapang dada. Sosialisasi akan segera dilakukan agar seluruh proses berjalan lancar,” jelas Yassierli.

Namun, pengusaha di sektor padat karya menilai kenaikan ini cukup berat, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM).

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengungkapkan bahwa tambahan beban untuk tenaga kerja menjadi salah satu tantangan utama.

Menurut perhitungan Bob, kenaikan biaya di sektor tenaga kerja bisa mencapai hingga 9,5 persen.

"Ya, pasti. Paling tidak multiplier effect-nya bisa mencapai kenaikan 7,5-9,5 persen pada labor cost," ujar Bob, Sabtu (30/11/2024).

Dampaknya, biaya produksi perusahaan menjadi lebih besar, meskipun kenaikan UMP 2025 hanya sebesar 6,5 persen.

Kondisi ini, jelas Bob, dapat memengaruhi rencana ekspansi bisnis. Banyak perusahaan kemungkinan besar akan menunda langkah ekspansi akibat lonjakan beban tersebut.

"Ketika biaya meningkat, efisiensi menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi," tambahnya.

Efisiensi dianggap sebagai solusi utama untuk menjaga keberlangsungan bisnis di tengah tekanan biaya.

Ia mengatakan, PHK selalu menjadi opsi terakhir. "Sebisa mungkin kita hindari," tutup Bob.

Diketahui, UMP selama ini menjadi jaringan pengaman sosial bagi pekerja yang baru bekerja kurang dari 12 bulan.

Dalam beberapa tahun terakhir, formula penetapan upah minimum terus dikritik karena dinilai tidak mencerminkan kebutuhan hidup buruh secara menyeluruh.

Pada tahun 2022, misalnya, kenaikan UMP sebesar 1,09 persen dianggap tidak memadai di tengah pandemi COVID-19 yang melumpuhkan daya beli pekerja.

Gelombang protes besar pun terjadi, menuntut kenaikan yang lebih tinggi.

Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen sebenarnya menunjukkan upaya pemerintah untuk merespons kebutuhan buruh.

Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.

Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan terkait rincian teknis kenaikan UMP sebelum 4 Desember 2024.

Dewan Pengupahan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota juga ditugaskan untuk menetapkan upah sektoral berdasarkan karakteristik masing-masing wilayah dan industri.

Sementara itu, serikat buruh terus menyerukan revisi formula penetapan upah minimum agar lebih mencerminkan kebutuhan hidup layak.

Usulan mereka mencakup penambahan indeks tertentu yang lebih relevan dengan kondisi ekonomi buruh di berbagai sektor.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS