Ketegangan Thailand-Kamboja Telan Belasan Korban Jiwa

Konflik antara Thailand dan Kamboja kembali terjadi di daerah perbatasan kedua negara (Foto: Unsplash).

PARBOABOA, Jakarta - Ketegangan antara Thailand dan Kamboja kembali mencuri perhatian dunia internasional setelah adanya serangkaian perang yang menimbulkan korban jiwa.

Laporan Al-Jazeera menyebutkan pertempuran sengit antara kedua negara telah menyebabkan 13 warga sipil dan seorang tentara tewas, sementara 32 warga sipil serta 14 tentara lainnya mengalami luka-luka. 

Kementerian Kesehatan Thailand juga mencatat puluhan ribu warga harus dievakuasi, di mana banyak di antaranya berlindung di bunker-bunker beton yang diperkuat dengan karung pasir dan ban kendaraan.

Menteri Kesehatan Thailand, Thepsuthin Somsak, menegaskan bahwa tindakan militer Kamboja dalam pertempuran ini "bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang".

Di sisi lain, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, tidak tinggal diam. Ia mendesak agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) segera mengadakan pertemuan darurat. 

Menurutnya, serangan yang dilancarkan oleh Thailand bisa mengancam stabilitas kawasan dan perlu mendapat perhatian internasional.

Adapun konflik terbaru antara kedua negara mencuat pada Kamis (24/7/2025) kemarin di mana terjadi bentrokan di sepanjang garis perbatasan. 

Berbagai sumber menyebutkan bahwa konflik itu dipicu oleh meledaknya sebuah pom bensin di wilayah Si Sa Ket, Thailand yang diduga akibat dari serangan pihak Kamboja. 

Kejadian ini segera dibalas oleh Thailand melalui serangan udara dengan mengerahkan jet tempur yang menyasar posisi militer Kamboja. Setidaknya enam titik di sepanjang perbatasan menjadi lokasi bentrok.

Meskipun eskalasi terjadi belakangan ini, akar konflik telah tumbuh sejak Mei 2025. Kala itu, seorang tentara Kamboja dilaporkan tewas dan dua tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat. 

Ketegangan kemudian meningkat seiring kedua negara saling menarik duta besar dan saling menuduh melakukan pelanggaran wilayah serta tindakan agresi.

Inti konflik berakar pada klaim atas Kuil Preah Vihear sebagai kompleks kuil Hindu yang dibangun pada abad ke-11, terletak di puncak pegunungan Dangrek, yang kini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.

Baik Thailand maupun Kamboja menganggap kuil ini sebagai bagian dari warisan nasional mereka. Letaknya yang strategis menjadikannya titik panas yang terus memicu ketegangan.

Menurut catatan Stanford University, perselisihan atas kuil Preah Vihear telah berlangsung selama puluhan tahun. 

Walau kuil ini dibangun pada masa kejayaan Kekaisaran Khmer, yang merupakan leluhur bangsa Kamboja, wilayah di sekitarnya juga sempat dikuasai kerajaan Siam, pendahulu dari Thailand modern.

Pada tahun 1907, Prancis yang saat itu menjajah Kamboja membuat peta yang menunjukkan lokasi kuil berada di sisi wilayah Kamboja. 

Thailand tidak mengakui keabsahan peta ini dan sempat berupaya merebut kuil tersebut saat Perang Dunia II berlangsung pada tahun 1941.

Ketegangan memuncak pada tahun 1954, ketika pasukan Thailand mengambil alih kuil setelah tentara Prancis mundur. Pemerintah Kamboja yang saat itu baru merdeka mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ). 

Thailand, di sisi lain, menyatakan bahwa peta tahun 1907 tidak sah secara hukum dan menegaskan akses ke kuil lebih mudah dicapai dari sisi Thailand, sehingga menandakan kontrol de facto.

Namun pada tahun 1962, ICJ memutuskan dengan suara 9 banding 3 bahwa kuil Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja. Putusan ini tidak menyentuh aspek warisan budaya agar tidak memperkeruh hubungan diplomatik.

Pasca-putusan, kedua negara sempat mencoba meredakan ketegangan dan membuka kuil untuk kunjungan wisata. Namun, pada 2008, sengketa kembali mencuat setelah Kamboja mengajukan kuil tersebut sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. 

Thailand menentang langkah itu karena mengklaim wilayah di sekitar kuil merupakan miliknya. Meski demikian, UNESCO tetap menerima pendaftaran tersebut.

Tak hanya memperburuk hubungan diplomatik, ketegangan juga memicu bentrokan bersenjata. Sejak 2009, tercatat berbagai insiden pertempuran yang menyebabkan tumpasnya sejumlah korban jiwa.

Dorong Gencatan Senjata

Di tengah meningkatnya ketegangan tersebut, Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Kamboja, Prak Sokhonn, menggelar pertemuan darurat dengan para diplomat asing di Phnom Penh. 

Dalam forum tersebut, ia menegaskan bahwa pemerintah Kamboja tetap berkomitmen menyelesaikan konflik melalui pendekatan damai dan menghormati prinsip hukum internasional.

Sokhonn menjelaskan Perdana Menteri Hun Manet telah secara resmi mengirim surat kepada Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mendorong pembahasan mengenai gencatan senjata. 

Surat serupa juga telah ditujukan kepada Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam kapasitasnya sebagai Ketua ASEAN.

“Kami menghargai inisiatif Perdana Menteri Malaysia yang telah berupaya menjalin komunikasi langsung dengan para pemimpin kedua negara,” ujar Sokhonn sebagaimana disampaikan melalui laporan KBRI di Phnom Penh.

Menanggapi pertanyaan dari Duta Besar RI terkait keselamatan warga sipil, Sokhonn mengakui bahwa memang terdapat korban di pihak Kamboja akibat konflik. 

Namun, ia belum dapat memastikan berapa jumlah korban jiwa, luka-luka, maupun tingkat kerusakan fasilitas umum yang terjadi hingga saat ini.

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada laporan mengenai warga negara asing yang menjadi korban dalam konflik tersebut. 

Pemerintah Kamboja pun mengimbau agar seluruh warga, baik lokal maupun asing, untuk sementara waktu menghindari perjalanan ke zona konflik, khususnya wilayah Provinsi Oddar Meanchey dan Preah Vihear yang berada di garis perbatasan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS