PARBOABOA, Simalungun - Penangkapan masyarakat adat yang terjadi di Desa Sihaporas, Simalungun kini dalam proses pemeriksaan pihak berwenang.
Kapolres Simalungun, AKBP Choky Sentosa Meliala membenarkan, akan adanya penangkapan yang dilakukan pada pukul 03.00 WIB terhadap 5 orang masyarakat Sihaporas.
“Penangkapan itu benar terjadi” jelas Choky dalam Konpers, pada Senin (22/07/24).
Choky menyampaikan, penangkapan itu dilakukan berdasarkan laporan pada, 14 Mei 2024 oleh Asner Damanik dengan Nomor LP/B/128/V/2024.
Laporan tersebut jelasnya, terkait aduan penganiayaan terhadap Samuel Sinaga yang dilakukan oleh Jonny Ambarita dan masyarakat lainnya.
Selain itu, penangkapan tersebut juga dilakukan atas laporan dari Rudi Harianto Panjaitan pada 19 Juli 2022 dengan LP/B/DUMAS/518/VII/2022 tentang tindakan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang maupun barang dimuka umum.
Sementara itu, Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polres Simalungun, AKP Ghulam Yanuar Lutfi, menyampaikan, sebenarnya masyarakat yang berhasil ditangkap sebanyak 7 orang.
Namun dalam proses pengamanan, dua orang lainnya berhasil melarikan diri.
“Pada awalnya kami melakukan penangkapan terhadap 7 orang. namun berhasilkan melarikan diri sebanyak 2 orang. jadi yang berhasil kita aman kan sampai saat ini berjumlah 5 orang,” ujar Ghulam.
Ghulam menambahkan, tiga dari lima warga yang ditangkap telah memiliki laporan pengaduan kepolisian sedangkan dua lainnya masih dalam pemeriksaan.
“Dimana 3 orang dari pelaku ini sudah memiliki laporan polisi di Sat Reskrim Simalungun. Untuk dua orang lagi, hingga saat ini masih melakukan pemeriksaan,” ungkapnya.
Besar dugaan, penangkapan tersebut, tidak terlepas dari konflik tanah adat antara Masyarakat Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan perusahaan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.
Namun begitu, Choky berharap, konflik yang terjadi tidak merambat ke ranah tindak pidana.
“Latar belakang ini semua adalah masalah tanah adat. Permasalahan tanah adat, tanah ulayat, silahkan saja masyarakat memproses. Tapi masyarakat tidak usah melakukan tindak pidana lainnya,” ujar Chokynya.
Lebih lanjut ia mengatakan, penangkapan ini hanya berdasarkan laporan polisi yang masuk.
Karena itu, sambungnya, kalau ada permasalahan tanah adat, tanah ulayat, silahkan aja berproses.
"Kami tidak akan menghalangi untuk itu,” tutupnya.
Penangkapan Warga
Menanggapi kasus tersebut, Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak membenarkan soal penangkapan itu.
“Sekitar 50 orang tidak dikenal menggunakan pakaian bebas,” ungkap Hengky dalam keterangan tertulis, Senin, (22/07/24).
Hengky juga menyebutkan bahwa mereka mendatangi masyarakat Sihaporas dengan menggunakan kendaraan pribadi dan kendaraan milik PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.
“Mobil yang dikendarai 1 unit mobil Double Cabin bertuliskan PT. TPL (Mobil Security), 1 unit mobil pribadi jeni Avanza berwarna hitam, dan 1 Truk Colt Diesel,” katanya.
Hengky menyebutkan, sekelompok orang tidak dikenal membangunkan dan menangkap Masyarakat Adat Sihaporas tanpa menyertakan alasan dan informasi yang jelas.
Kemudian, lanjut Hengky, sekelompok orang tersebut memborgol warga serta melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat.
Orang tidak dikenal itu, lanjutnya memukul kaki warga untuk membangunkan dan menangkap Masyarakat Adat Sihaporas tanpa ada alasan dan informasi yang jelas.
"Kemudian mereka memborgol warga dan melakukan pemukulan, menendang dagu dan kepala sehingga masyarakat adat Sihaporas mengalami luka robek di kepala, lalu membawa 5 orang masyarakat adat itu ke luar kampung,” ungkapnya.
Dalam keterangan yang sama, Hengky menyebut, Nurinda Napitu, salah seorang Masyarakat Adat Sihaporas sempat dibawa sekelompok orang.
Nurinda Napitu yang juga istri dari Jonny Ambarita beserta anaknya yang masih SD, lanjut Hengky, mendapatkan bentuk intimidasi karena mencoba menghalangi penangkapan.
Akibatnya, sambung Hengky, Nurinda beserta anaknya mengalami trauma atas kejadian tersebut.
“Nurinda di awal sempat ditahan dan diborgol, lalu dilepaskan kembali setelah mengetahui bahwa dia seorang perempuan, bersama anaknya yang masih anak-anak,” ungkap Hengky.
Senada itu, Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras Sihaporas), Mangitua Ambarita mengaku kecewa dengan penangkapan ini
“Saya kaget. kok bisa sampai malam-malam? kayak pencuri anggota Lamtoras ini dibuat polisi. Apa salahnya dibuat dulu surat panggilan,” kata Mangitua kepada PARBOABOA, Selasa (23/07/24).
Mangitua menambahkan,bentuk penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, tidak melakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat.
“Yang saya tau belum pernah (pemberian surat panggilan oleh Kepolisian),” ujarnya.
Perasaan kecewa juga dirasakan oleh Mangitua ketika mengetahui proses penangkapan masyarakat Sihaporas dilakukan dengan kekerasan.
“Yang kagetnya pulak, setelah saya menemui teman saya di posko paginya itu, ternyata banyak cerita, telah terjadi pemukulan, ada penendangan. Jadi disitu saya paling sedih. Kok bisa sampai seperti itu,” kisahnya.
“G. Ambarita itu luka di kepalanya,” tambahnya.
Pasca penangkapan, kondisi di perkampungan Sihaporas masih dilanda trauma.
Mangitua menyampaikan, bayang-bayang penangkapan pada saat masyarakat sedang tertidur pulas masih lekat dalam ingatan warga.
“Sekarang keadaan di kampung, ada yang cemas atas perlakuan itu. orang pun takut semua. kami juga tidak menduga kejamnya polisi menangkap kami,” ungkap Mangitua.
Mangitua juga berkisah pola penangkapan yang tiba-tiba menimbulkan ketakutan pada masyarakat.
“Masa orang sedang pulas tidur, ditendang, dipukuli, tanpa menunjukkan surat penangkapan. Si J dan Si B trauma karena bapak mereka dipukuli,” ungkap Mangitua.
Konflik Berkepanjangan
Bentrok masyarakat Sihaporas dengan PT. TPL sesungguhnya sudah sering terjadi.
Pada Tahun 2002 terjadi penangkapan kepada Risman, yang merupakan warga Sihaporas.
Setelahnya, Tahun 2004 terjadi lagi penangkapan dengan tuduhan menduduki lahan tanpa izin.
Mangitua dan rekannya (Parulian) divonis 1 tahun penjara.
“Kami dituduhkan menduduki lahan tanpa izin. Kami mengurus izin dengan siapa, orang tanah milik leluhur kami,” ujar Mangitua.
Pada Tahun 2019, salah seorang humas PT. TPL, “BS” dilaporkan melakukan kekerasan terhadap anak dibawah umur atas bentrok masyarakat adat dengan perusahaan.
Kejadian tersebut telah dilaporkan ke kepolisian, namun pengaduan masyarakat (Dumas) tidak di respon hingga kini.
“Tetapi kita curiga. ada semacam kerjasama antara perusahaan dengan aparat ini. sudah sampai tersangka si Bahara Sibuea (humas). Sampai sekarang, tidak pernah satu langkah pun dipenjara, bebas berkeliaran. Tapi ketika masyarakat melakukan sedikitpun pelanggaran hukum, langsung di penjara,” tegas Mangitua
Konflik berlanjut hingga di tahun 2022. Dimana aparat dan pihak tpl berusaha masuk untuk melihat lokasi pembibitan yang berada di Desa Sihaporas.
Namun bentrok tidak terelakkan ketika Samuel Sinaga memprovokasi kelompok masyarakat dengan Singso.
“Langsung Singso ini diarahkan ke leher, mau ditebas nya (masyarakat),” ucap Mangitua.
Bentrok berlanjut hingga terjadi pengrusakan terhadap satu unit mobil. Kejadian ini adalah muara dari adanya pengaduan LP 528 dengan aduan pengrusakan.
Mangitua juga bercerita, aduan LP 128 atas penganiayaan terhadap Samuel Sinaga, terjadi akibat bentrok pada bulan Mei silam.
Dalam kesaksiannya, Mangitua menyampaikan, Konflik status kepemilikan lahan diprovokasi oleh Samuel Sinaga.
Samuel kala itu telah meminta-maaf untuk tidak menghujat nenek moyang Lamtoras Sihaporas.
Namun bentrok tidak terelakkan ketika Samuel alias Sardi mengancam Nurinda Napitu, istri dari Jonny Ambarita, dengan klewang (parang panjang) dan mengenainya.
Akibatnya bentrok terjadi hingga Asner Damanik melaporkan LP 128 atas penganiayaan terhadap Samuel Sinaga.
Pun begitu, masyarakat adat yang juga terkena penganiayaan turut melapor ke polres Simalungun.
Sesampainya disana, masyarakat diarahkan ke Polsek Pematang Sidamanik, namun aduan ditolak karena aduan dari Asner sudah duluan dilayangkan.
Menurutnya, ketidakadilan yang selama ini dialami Masyarakat Adat Sihaporas membuat perlawanan dari masyarakat.