PARBOABOA, Jakarta - Mata elang motor mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, terutama mereka yang pernah bersinggungan dengan masalah kredit kendaraan.
Istilah ini merujuk pada debt collector yang dipekerjakan oleh lembaga pembiayaan untuk menarik motor atau kendaraan lain saat kredit macet.
Mereka dikenal karena keahliannya mengenali plat nomor kendaraan bermasalah, seolah-olah seperti burung elang yang tajam dalam mengincar mangsanya.
Kecepatan dan ketepatan mereka dalam mengidentifikasi kendaraan dengan masalah kredit membuat julukan “mata elang” melekat kuat pada mereka.
Namun, keberadaan mata elang tidak lepas dari kontroversi. Proses penarikan kendaraan yang mereka lakukan sering memicu polemik karena dianggap melanggar aturan, terutama ketika kendaraan ditarik tanpa dilengkapi jaminan fidusia yang sah.
Kondisi ini membuat masyarakat geram dan mempertanyakan legalitas tindakan mereka di lapangan.
Lebih parahnya, mereka kerap dipandang seperti preman jalanan atau dianggap bagian dari kelompok "preman-preman dari timur."
Dalam Liputan Khusus Parboaboa yang bertajuk, Preman-preman Timur di Jantung Ibu Kota,” Senin, (21/10/2024) dijelaskan stigma ini muncul bukan tanpa sebab.
Stereotip yang menghubungkan orang Timur dengan aksi kekerasan semakin mengakar setelah sejumlah insiden kekerasan melibatkan oknum-oknum tertentu. Sayangnya, stereotip tersebut malah menyudutkan kelompok masyarakat tertentu saja.
Masyarakat luas seringkali menilai seseorang hanya dari tampilan fisik. Penampilan yang dianggap garang dengan tubuh besar, wajah tegas, dan suara lantang sering disalahartikan sebagai simbol kekerasan.
Inilah yang membuat orang Indonesia Timur, khususnya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ambon, sering kali dicap negatif hanya karena penampilan luar mereka.
Padahal, dalam kasus kredit bermasalah, Indonesia sudah memiliki aturan jelas terkait penarikan barang.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur dengan tegas bahwa proses penarikan kendaraan harus dilakukan sesuai prosedur hukum.
Sayangnya, banyak pihak masih mengabaikan aturan ini, sehingga menciptakan celah bagi kontroversi di lapangan.
Kendaraan yang kreditnya macet sebenarnya bisa dieksekusi secara sah asalkan ada jaminan fidusia.
Jaminan ini berupa akta notaris yang didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, memberikan hak eksekutorial kepada lembaga pembiayaan.
Sayangnya, banyak pemberi kredit enggan membuat jaminan fidusia karena biaya pembuatan yang bisa mencapai Rp1 juta per kendaraan.
Tanpa jaminan fidusia, leasing tidak memiliki hak untuk menarik kendaraan secara legal. Inilah yang menjadi celah bagi mata elang untuk masuk dan melakukan penarikan secara sepihak.
Cara kerja mata elang biasanya melibatkan tim beranggotakan empat hingga enam orang yang beroperasi di jalan raya.
Mereka membawa buku catatan atau ponsel untuk melacak kendaraan yang terdaftar memiliki tunggakan kredit.
Saat menemukan kendaraan yang sesuai, mata elang langsung bergerak dan menghentikan pengendara di tempat.
Proses ini tidak jarang memicu konflik karena dianggap sebagai tindakan semena-mena, terutama jika tidak disertai surat penarikan resmi.
Masalah utama muncul ketika penarikan dilakukan tanpa prosedur hukum yang benar.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia, penarikan kendaraan harus melalui mekanisme yang telah ditentukan.
Dalam Pasal 15 undang-undang ini, disebutkan bahwa eksekusi jaminan fidusia memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan, dan hanya bisa dilakukan jika ada sertifikat fidusia.
Dengan kata lain, pihak leasing atau debt collector baru berhak menarik kendaraan setelah mendapatkan sertifikat fidusia yang sah.
Pada 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas aturan ini melalui putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Putusan ini mengatur bahwa debt collector tetap boleh menarik kendaraan, tetapi dengan syarat harus membawa sertifikat fidusia, surat kuasa penarikan, serta identitas resmi.
Tanpa dokumen ini, tindakan penarikan dianggap ilegal dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan Pasal 335 dan 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), debt collector yang menarik kendaraan secara paksa bisa dijerat dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan atau pencurian dengan kekerasan.
Karena itu, masyarakat yang menghadapi mata elang di jalan perlu berhati-hati dan tahu hak mereka.
Jika diberhentikan, sebaiknya segera menepi di tempat ramai untuk menghindari potensi keributan. Usahakan tetap tenang, tanyakan identitas debt collector, dan catat detail yang diperlukan.
Pihak debitur juga, jangan pernah menyerahkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tanpa alasan yang jelas.
Jika kendaraan memang bermasalah, sebaiknya segera hubungi kantor leasing dan negosiasikan solusi pembayaran atau perjanjian penarikan kendaraan yang sah.
Penting juga untuk tidak panik dan menjaga komunikasi dengan baik. Jika memungkinkan, selesaikan cicilan yang menunggak melalui transfer atau kunjungi kantor leasing untuk mencari penyelesaian.
Dalam kondisi tertentu, nasabah juga bisa meminta surat penarikan kendaraan (SPK) dari pihak leasing sebagai bukti bahwa proses penarikan telah dilakukan sesuai prosedur hukum.
Kehadiran mata elang memang menjadi dilema di tengah lemahnya implementasi jaminan fidusia di Indonesia.
Satu sisi, perusahaan pembiayaan membutuhkan cara cepat untuk menangani kredit macet. Di sisi lain, masyarakat sering kali dirugikan oleh tindakan sepihak yang melanggar hak konsumen.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih baik dari semua pihak tentang hak dan kewajiban dalam kredit kendaraan agar tidak ada yang dirugikan.
Penegakan hukum dan pemahaman masyarakat tentang jaminan fidusia menjadi kunci penting dalam menyelesaikan polemik ini.
Pemerintah dan lembaga pembiayaan juga diharapkan bisa lebih transparan dalam menjalankan aturan terkait fidusia agar tidak ada ruang bagi praktik penarikan kendaraan secara ilegal.
Pada akhirnya, kreditur dan konsumen perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa semua proses dilakukan sesuai hukum yang berlaku, demi menghindari ketegangan yang tidak perlu di jalan raya.