Persepktif dan Kritik terhadap Perbandingan Pelemahan Rupiah dengan Mata Uang Negara Lain 

Mata uang Indonesia sebagai ilustrasi pelemahan rupiah. (Foto: PARBOABOA/Rian)

PARBOABOA, Jakarta - Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menyebut pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih lebih baik jika dibandingkan beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (26/4/2024), mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menerangkan, nilai tukar rupiah berada di level Rp 16.222,50 per dolar AS.

Kondisi ini sebutnya jauh lebih baik dibandingkan nilai tukar bath Thailand yang terkoreksi 8,56 persen, won Korea 6,31 persen dan lira Turki yang mengalami pelemahan 10,4 persen.

Sementara itu depresiasi rupiah hanya sebesar 5,37 persen dekat dengan Brasil 5,06 persen, Vietnam 4,7 persen, Afrika Selatan 4,7 persen dan Filipina 3,9 persen.

Untuk memperbaiki pelemahan tersebut, kata dia Kemenkeu terus berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait terutama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Selain itu, kebijakan BI akan terus diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah dari dampak penguatan dolar AS yang semakin meluas.

Namun dalam keterangan terpisah, Ekonom UPN Veteran Jakarta sekaligus CEO Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menilai, tidak tepat Menteri Sri Mulyani membuat perbandingan pelemahan rupiah dengan negara-negara lain.

Sebab, selain harus membutuhkan tinjauan kritis kata dia, menilai kinerja mata uang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar forex bisa menyesatkan.

Memang, demikian Achmad menegaskan, secara nominal rupiah mungkin tak terdepresiasi seburuk mata uang negara lain, tetapi pernyataan tersebut sangat-sangat bermasalah.

"Cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia," kata Achhmad dalam rilis yang diterima Parboaboa, Sabtu (27/4/2024).

Menurut Achmad, Menkeu seharusnya fokus pada masalah fundamental ekonomi yang menyebabkan pelemahan rupiah. 

Kata dia, sekurang-kurangnya ada 3 faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah, yaitu defisit transaksi berjalan yang membesar, utang luar negeri yang meningkat serta ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten.

"Ketiga faktor ini disebut faktor fundamental yang menyebabkan nilai tukar rupiah Rp16,200/USD bahkan bisa mencapai Rp16,900/USD di akhir tahun 2024."

Per akhir tahun 2003, total Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia memang menyentuh angka 407,1 miliar USD atau setara Rp6597 triliun rupiah.

Melansir laman resmi ULN, komposisinya sebagai berikut: 23,7 persen berasal dari sektor kesehatan, 18,9 persen sektor Administrasi Pemerintahan dan 14,1 persen dari utang yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Achmad mengatakan, di bidang pembangunan infrastruktur, utang Indonesia membengkak untuk pembangunan proyek KA Cepat Jakarta-Bandung, IKN dan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN).

Memperkuat nilai tukar

Achmad mengatakan di tengah pelemahan nilai tukar rupiah saat ini, upaya serius untuk segera memperbaikinya harus segera dilakukan.

Sebab kalau tidak, dikhawatirkan, "cadangan devisa Indonesia tidak akan mencukupi untuk mengintervensi USD yang suden flight."

Menurut data resmi BI, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2024 sebesar 140,4 miliar dollar AS.

lantas untuk menjaga stabilitas devisa serta memperkuat nilai tukar rupiah, Ahcmad menyarankan tiga hal berikut ini.

Pertama, kebijakan moneter yang proaktif. Achmad menyarankan harus ada koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan BI untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar.

Karena selama ini, BI menurutnya terkesan menjadi "guardian of rupiah" padahal seharusnya koordinasi dapat memperkuat rupiah tanpa kehilangan devisa.

Kedua, diversifikasi pembiayaan pembangunan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada ULN baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Ketiga, reformasi kebijakan fiskal, karena saat ini kata Achmad, kebijakan fiskal belum mengoptimalkan struktur pajak untuk meningkatkan pendapatan negara, "tanpa membebani sektor produktif."

Achmad yakin, dengan pendekatan yang holistik dan fokus pada kekuatan internal ekonomi, Indonesia dapat membangun fondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Ia juga mengingatkan, memperkuat nilai tukar rupiah bukan hanya melalui intervensi pasar, "tetapi melalui pembenahan struktural yang akan memperbaiki ekonomi dari dalam."  

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS