PARBOABOA, Jakarta - Kepergian Kwik Kian Gie di usia 90 tahun menorehkan duka mendalam sekaligus meninggalkan teladan langka: seorang nasionalis sejati yang membuktikan bahwa suara kebenaran kerap lahir dari keberanian menentang arus di ruang sunyi kekuasaan.
Indonesia kembali kehilangan satu tokoh penjaga moral bangsa. Kwik Kian Gie, ekonom, pendidik, sekaligus negarawan yang setia pada kebenaran hingga akhir hayat, berpulang pada usia 90 tahun.
Di tengah kemelut intoleransi dan melemahnya sikap negara dalam menegakkan keadilan, warisan moral Kwik hadir bak mercusuar di tengah gelombang pasang politik yang sering menenggelamkan suara-suara jujur.
Lewat kabar duka yang disampaikan Sandiaga Uno, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, publik diingatkan kembali siapa Kwik Kian Gie.
“Selamat jalan, Pak Kwik Kian Gie. Ekonom, pendidik, nasionalis sejati. Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran,” tulis Sandiaga di akun media sosialnya, pada pada Senlasa, (29/7/2025).
Bagi Sandiaga, Kwik bukan sekadar birokrat, melainkan sosok teladan yang menunjukkan politik tidak harus selalu berpihak pada segelintir elite.
Dari Juwana ke Panggung Nasional
Lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1935, Kwik menapaki jalur akademik dengan tekun.
Setelah sempat belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1955–1956, ia melanjutkan studi di Nederlandsche Economische Hogeschool Rotterdam (sekarang Erasmus Universiteit Rotterdam) dan menamatkan pendidikan pada 1963.
Menariknya, semasa di Belanda, Kwik aktif sebagai Asisten Atase Kebudayaan dan Penerangan di KBRI Den Haag dari 1953 hingga 1964.
Pengalaman tersebut membentuk cara pandangnya tentang diplomasi, kebudayaan, dan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Sekembalinya ke Tanah Air pada 1970, ia sempat mendirikan berbagai perusahaan, seperti PT Indonesian Financing & Investment Company bersama Ferry Sonneville dan Dr. Indra Hattari, hingga terlibat di PT Altron Panorama Electronic dan PT ABN AmroFinance.
Namun, jejaknya tidak berhenti di ranah bisnis semata.
Pada 1982, bersama Prof. Panglaykim, Kwik mendirikan Institut Manajemen Prasetiya Mulya, sekolah MBA pertama di Indonesia.
Lima tahun kemudian, ia mendirikan Institut Bisnis Indonesia (IBI) yang kini dikenal sebagai Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie — salah satu kontribusi besarnya dalam dunia pendidikan ekonomi dan bisnis tanah air.
Dari PDI ke Kabinet Gotong Royong
Panggung politik mulai ditelusurinya. Langkah politiknya dimulai saat bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia pada 1987.
Ia pun terlibat erat dalam transformasi PDI menjadi PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hingga menjabat Ketua DPP sekaligus memimpin Badan Penelitian dan Pengembangan.
Posisinya semakin strategis ketika dipercaya menjabat Wakil Ketua MPR, lalu Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada era Presiden Abdurrahman Wahid (1999–2000), hingga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas di masa Presiden Megawati (2001–2004).
Kepercayaan publik dan pemerintahan kepadanya bukan tanpa alasan — reputasinya sebagai ekonom jujur dan pengawas kebijakan menjadi pegangan di tengah pusaran kompromi politik.
Salah satu monumen keberanian Kwik adalah penolakannya terhadap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Skandal BLBI mencatat kerugian negara ratusan triliun rupiah — sebuah luka besar di sektor keuangan nasional.
Pada 2002, di saat mayoritas pejabat memilih diam atau sekadar membisikkan kritik, Kwik berdiri seorang diri menolak rencana penerbitan SKL.
Tekanan datang bertubi-tubi, dari ruang rapat di rumah Teuku Umar hingga Istana Negara.
Namun, di sidang kabinet terbatas ketiga, Kwik akhirnya harus menyerah di bawah tekanan kolektif para menteri.
“Saya berhasil menggagalkan dua kali. Tapi di sidang kabinet terbatas yang ketiga, saya tak kuasa lagi. Semua menteri bertubi-tubi mendesak, saya pun akhirnya terdiam,” ungkapnya di Pengadilan Tipikor pada Juli 2018.
Sikapnya ini tak hanya jadi catatan sejarah, tetapi juga potret langka: seorang pejabat tinggi rela kehilangan dukungan politik demi menyelamatkan uang rakyat.
Mewariskan Keberanian
Di penghujung hayatnya, Kwik tetap setia pada misi pendidikan dan moral publik. Meski tak lagi terjun di panggung politik praktis usai 2004, ia aktif membesarkan lembaga-lembaga pendidikan yang ia dirikan, demi mencetak generasi baru ekonom yang berani dan jujur.
Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana yang diterimanya pada 2005 hanyalah simbol.
Lebih besar dari itu, sumbangsihnya nyata terlihat di setiap kebijakan yang ia perjuangkan agar tidak menyeleweng dari prinsip keadilan sosial.
Di masa intoleransi makin merajalela, Kwik menjadi pengingat bahwa bangsa ini masih mungkin diselamatkan oleh sedikit orang yang setia pada kebenaran.
Warisan Kwik Kian Gie adalah pesan bahwa keberanian bersuara, meski sunyi, adalah benteng terkuat republik ini.
Semoga Indonesia tak hanya mengenang namanya di buku sejarah, tetapi menjadikannya teladan untuk merawat nurani politik di masa depan.