Rumah Doa Umat Kristen di Padang Dirusak, Potret Buram Toleransi di Tanah Minang

Warga merusak sebuah rumah doa yang juga dijadikan tempat pendidikan bagi siswa Kristen milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Sumatera Barat, Minggu (27/7/2025) sore. (Foto: Tangkapan layar video Instagram @infosumbar)

PARBOABOA, Jakarta - Sebuah rumah doa yang sekaligus menjadi tempat belajar agama bagi anak-anak Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, porak-poranda usai diserbu puluhan warga.

Di balik suara teriakan dan amukan kayu balok, terpatri luka mendalam pada tubuh dua anak dan ingatan banyak jemaat yang gemetar dihantui ketakutan.

Insiden pada Minggu, 27 Juli 2025 ini menambah daftar kelam aksi intoleransi beragama di Indonesia, yang kian merapuh di bawah selimut ‘miskomunikasi’.

Peristiwa nahas ini terjadi ketika jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) tengah melangsungkan kegiatan belajar agama di sebuah rumah doa di Padang Sarai.

Suasana hening mendadak buyar ketika puluhan warga mendatangi lokasi dengan teriakan keras, balok kayu di tangan, dan beberapa bahkan membawa senjata tajam.

Dalam hitungan detik, kepanikan melanda—anak-anak dan perempuan berhamburan keluar rumah doa, diiringi tangisan histeris yang memecah malam.

Pendeta Fatiaro Dachi, yang kala itu mendampingi anak-anak, berusaha sekuat tenaga menenangkan jemaat agar tidak terpancing untuk melawan.

Namun, upaya damai itu tak mampu membendung amukan massa yang makin beringas merusak setiap sudut rumah doa.

Menurut Pendeta Dachi, penyerangan bermula saat puluhan orang datang membawa kayu dan batu, memaksa kegiatan rohani dihentikan.

Suasana belajar agama berubah menjadi mimpi buruk bagi dua anak yang menjadi korban penganiayaan.

Seorang anak berusia 9 tahun mengalami luka di kaki akibat pukulan kayu, hingga sulit berjalan.

Sementara rekannya yang berusia 11 tahun mengalami lebam di bahu. Kedua korban langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Peristiwa ini mengundang keprihatinan banyak pihak, mengingat anak-anak yang seharusnya belajar nilai kasih justru menjadi saksi kekerasan atas nama ‘kesalahpahaman’.

Tak ingin peristiwa ini semakin memantik konflik horizontal, pihak kepolisian bertindak cepat. Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin, memastikan sembilan orang yang terekam dalam video penyerangan telah diamankan.

Ia menegaskan jumlah tersangka bisa bertambah seiring berjalannya penyelidikan.

“Yang sudah kita amankan sembilan orang. Ini sesuai dengan bukti-bukti video yang beredar di masyarakat,” ujar Solihin, Senin (28/7/2025), melalui akun Instagram Polresta Padang.

Miskomunikasi Jadi Dalih

Menanggapi insiden ini, Wali Kota Padang Fadly Amran langsung turun ke lokasi dan menggelar mediasi bersama warga, pihak gereja, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dan kepolisian di kantor Camat Koto Tangah.

Fadly menyebut akar persoalan adalah miskomunikasi antara warga dan pengurus rumah doa.

Menurutnya, rumah tersebut bukan gereja melainkan tempat pendidikan agama bagi anak-anak jemaat Kristen. Ia menegaskan insiden ini tak berkaitan dengan SARA, melainkan karena tidak adanya pemberitahuan resmi pada pengurus lingkungan setempat.

“Kesalahpahaman ini sudah clear. Untuk tindakan pidana, kami serahkan kepada pihak berwenang,” ujar Fadly.

Ia juga menekankan perlunya menjaga perasaan masyarakat Nias yang sejak lama hidup damai di Padang.

Sementara Ketua FKUB Padang, Salmadanis, menambahkan bahwa awalnya pendeta mendatangi siswa Kristen dari rumah ke rumah untuk mengajar agama.

Namun, demi efisiensi, kegiatan kemudian dipusatkan di satu rumah yang menampung puluhan anak.

Suasana yang ramai, ditambah minimnya informasi resmi ke ketua RW dan RT, memicu kecurigaan sebagian warga.

Ketika puluhan orang tua mengantar anak-anak mereka, warga sekitar menduga rumah tersebut beralih fungsi menjadi rumah ibadah permanen tanpa izin lingkungan.

“Surat pemberitahuan sebenarnya sudah disiapkan, tetapi tidak sampai ke tangan pengurus lingkungan,” kata Salmadanis.

Ia berharap insiden serupa tidak terulang, dan mengingatkan bahwa semua agama mengajarkan kerukunan.

Peristiwa di Padang Sarai sekali lagi menegaskan rapuhnya toleransi yang semestinya dijaga di tanah air yang plural.

Laporan Setara Institute pada 2024 lalu mencatat Sumatera Barat termasuk salah satu provinsi dengan kasus intoleransi berbasis agama yang cukup tinggi.

Di tengah gencarnya wacana moderasi beragama, nyatanya konflik bisa meletup hanya karena absennya komunikasi dan edukasi lintas keyakinan.

Ironisnya, di balik dalih miskomunikasi, dua anak harus merasakan trauma fisik dan psikis.

Jemaat kehilangan rasa aman untuk beribadah dan belajar, padahal Konstitusi menjamin kebebasan beragama setiap warga negara.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS