Pamerkan Budaya Simalungun Lewat Tarian, Laura Sinaga Bawa Sanggar Tari Sihoda Mendunia

Laura Tyas Avionita Sinaga bersama Simalungun Home Dancer (SIHODA) berhasil mendapatkan spesial reward untuk penampilan dan kostum terbaik dalam ajang festival di Turki bertajuk 35th Uluslararasi Kultur Sanat Festivali and 8th Golden Furniture Folk Dance Competition. (Foto: Instagram @avionitasinaga)

PARBOABOA, Simalungun – Laura Tyas Avionita Sinaga sempat menjalani hari-hari penuh frustasi. Apalagi setelah ia divonis tidak bisa berjalan akibat kecelakaan yang menimpanya 2017 silam. Padahal bagi seorang yang aktif bergerak seperti dirinya, kaki menjadi tumpuan utama tubuhnya untuk bergerak.

Laura memang gemar menari. Ia bahkan telah membuka Sanggar tari bernama Simalungun Home Dancer (SIHODA) di 2014. Hanya saja, sejak ia lumpuh dan harus menjalani pengobatan, sanggar tersebut tutup. Laura bahkan menjadi penari ke sana kemari, merias wajah, berorganisasi hingga membuka kelas seni untuk anak-anak di bantaran Sungai Deli, sebelum lumpuh.

Kondisi setelah ia kecelakaan membuat mentalnya jatuh. Ia bahkan sempat melukai diri sendiri hingga ingin bunuh diri, terlebih setelah anak dalam kandungannya meninggal dan bercerai dari suaminya.

“Aku sempat berada di titik terendahku. Pada saat umur 20 tahun aku dihadapkan sama keadaan yang aku enggak tahu bisa lewatin apa enggak,” katanya kepada Parboaboa, saat ditemui di rumahnya yang terletak di Jalan Anggrek Rambung Merah Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, Kamis (25/05/2023).

Ujian berat yang bertubi-tubi itu menghantamnya selama berbulan-bulan. Hingga suatu hari, seorang teman mengajaknya kembali menari di sebuah acara. Ajakan itu langsung ia sanggupi, meski saat itu ia masih terbaring lemah di tempat tidur.

Laura dengan kursi rodanya yang bersama-sama membawa Simalungun Home Dancer (SIHODA) menuju kancah internasional. (Foto: Instagram @avionitasinaga) 

Dengan keterbatasannya, Laura mulai mencari penari lewat media sosial lalu diseleksinya. Saat itu ada 40 orang yang mendaftar di sanggar tarinya itu.

“Saya belum pulih. Penari pilihan saya saja, saya rias sambil saya berbaring. Ini mukjizat Tuhan,” katanya.

Setelah acara tersebut, kondisi Laura semakin pulih lewat pengobatan rutin.

“Aku sempat sedih, hidupku kosong karena harus hidup cacat. Aku dibawa berobat kemana-mana semuanya mendiagnosa tidak bisa duduk, sampai ada benjolan di punggung. Namun karena aku sering nari sebelumnya, yang mana aku rajin gerak, membuat benjolannya perlahan pulih,” terangnya.

Setelah banyak pengobatan, Laura akhirnya bisa duduk di kursi roda dan perlahan memulai aktivitas menarinya.

“Saya menari sambil duduk di kursi roda,” ucapnya.

Berkat keberaniannya, hidup perempuan kelahiran 1997 itu bisa kembali produktif. Ia tak sungkan menularkan bakat menari dan koreografi ciptaannya kepada peserta didiknya, meski dari atas kursi roda. Ia bahkan terkenal dengan sebutan “Laura Sang Penari”.

Laura mengaku ingin lebih mengenalkan tarian Batak Simalungun ke banyak orang, seperti tarian tradisional nusantara lainnya lewat Sihoda.

Saat ini Sanggar tari Sidoha yang dikelola Laura terus berkembang, bahkan peserta sanggarnya SIHODA mencapai lebih dari 60 orang. Ia bahkan merelakan rumahnya menjadi basecamp, agar muridnya bisa lebih berlatih.

“Secara umum tim Sihoda mempelajari semua genre tarian,” jelasnya.

Raih Prestasi Internasional di Turki

Laura menerima spesial reward untuk penampilan dan kostum terbaik dalam ajang festival di Turki bertajuk 35th Uluslararasi Kultur Sanat Festivali and 8th Golden Furniture Folk Dance Competition. (Foto: Instagram @avionitasinaga) 

Sebagai seorang disabilitas, Laura tak menyangka bisa meraih prestasi internasional. Berawal dari sebuah postingan Rosmala Sari Dewi, seorang koreografer terkenal yang menantang pengikut nya di media sosial untuk menampilkan tarian daerah. Laura yang saat itu mengidolakan Rosmala lantas mengikuti tantangan tersebut.

“Saat itu saya tidak mau membuang kesempatan tersebut. Tentu saya ambil,” ucapnya.

Sihoda lantas terpilih menjadi pemenang menyisihkan pesaing dari berbagai daerah di Indonesia yang diseleksi koreografer Rosmala dan timnya. Laura dan tim Sihoda lantas diminta untuk mementaskan tarian di sebuah festival tari di Turki di 2021.

Saat itu, perjuangan Laura dan tim kembali diuji. Pasalnya, keberangkatannya ke Turki bersama tidak dibiayai siapapun atau harus menggunakan biaya sendiri.

Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Laura dan tim Sioda lantas mencari cara mendapatkan biaya, mulai dari menggelar pertunjukan jalanan, berjual cinderamata, membuka donasi bagi siapapun yang ingin menyumbang.

“Perjuangannya berat, tapi semangat kami membuahkan hasil. Pada 2021 kami pulang ke tanah air dengan menjadi juara satu,” ungkapnya.

Di festival itu, Laura dan tim nya menampilkan tarian tradisional khas Simalungun, ditambahkan sedikit kreasi yang merupakan hasil karya Laura.

Setelah kemenangan di 2021, Laura dan tim kembali diundang untuk ikut berkompetisi di festival serupa di 2022 dan kembali meraih juara pertama.

“Tim SIHODA dapat kembali mengikuti festival pada 2023 mendatang. Kita berharap, pemerintah bisa melihat dan mengapresiasi bakat dan nama baik yang kami bawa ke luar negeri,” ucapnya.

Laura juga mengaku tidak akan berhenti menari dan berkarya, meski memiliki keterbatasan. Perempuan berusia 26 tahun ini akan terus menari untuk membiayai hidupnya.

Tidak Ada Dukungan Pemerintah Kota Pematang Siantar untuk Sanggar Tari Sihoda

Simalungun Home Dancer (SIHODA) yang dibentuk oleh Laura Tyas Avionita Sinaga pada 2014 silam. (Foto: Instagram @avionitasinaga) 

Sebagai inisiator Sanggar Tari Sihoda, Laura mengaku tidak pernah didukung Pemerintah Kota Pematang Siantar. Bahkan, ada satu peristiwa yang sangat ia sesalkan dari Pemko Pematang Siantar hingga hari ini. Peristiwa terjadi saat Sanggar Sihoda akan berkompetisi di Turki untuk kedua kalinya di 2022.

Saat itu, Wali Kota Pematang Siantar, dr. Susanti sesumbar mendukung penuh keberangkatan Sanggar Tari Sihoda ke Turki. Wali Kota Susanti bahkan meminta SKPD di lingkup Pemko Pematang Siantar ikut memberikan dukungan kepada Sanggar Tari Sihoda.

Sesumbar dari Wali Kota Susanti tersebut menjadi harapan bagi sanggar tari Sihoda untuk bisa berkompetisi di ajang internasional.

Namun fakta berbicara lain, dukungan tersebut tak kunjung datang. Bahkan, sumbangan yang terkumpul dari seluruh SKPD yang ada hanya senilai Rp4,8 juta rupiah.

Tentunya jumlah tersebut tidak cukup membiayai tim yang hendak berkompetisi di luar negeri.

Laura lantas menolak dan mengembalikan uang sumbangan tersebut ke Pemko Pematang Siantar karena Wali Kota Susanti saat itu enggan dicantumkan namanya sebagai pemberi sumbangan.

Namun akhirnya, uang yang ingin ia kembalikan itu ditolak Kabag Umum Pemko Pematang Siantar, demi integritas Wali Kota, Susanti.

“Jangan lah dek, gimana nanti integritas ibu sebagai wali kota?” kata Laura saat menceritakan jawaban dari Kabag Umum Pemko Pematang Siantar, saat ia mengembalikan uang sumbangan itu.

“Bukan karena nominalnya, tapi caranya memberi uang itu yang tidak layak saya rasa. Pada 2021 Walikota sebelumnya Hefriansyah Noor yang hanya memberikan bantuan sebesar Rp500 ribu, kami terima langsung dari bapak itu dan beliau bersedia dicantumkan namanya sebagai pemberi sumbangan,” ucap Laura.

Namun ternyata, pengembalian uang tersebut dinilai sebagai perlawanan Sanggar Tari Sihoda kepada Wali Kota dan Pemko Pematang Siantar.

Sanggar Tari Sihoda seolah-olah di-blacklist dan tidak diperbolehkan mengikuti even yang diselenggarakan Pemko Pematang Siantar.

“Kemarin lagi pada April 2023 untuk festival di Spanyol kami lakukan audiensi ke Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar, dijanjikan kepada kami pada tanggal 27 Mei 2023 kami bisa mengikuti even terkait perayaan ulang tahun Siantar. Ternyata kemarin pada saat kami temui kembali Dinas Pariwisata menolak kehadiran kami,” ucap Laura.

“Aduh maaf ya dek, tahun ini untuk Sihoda enggak dulu ya dek,” kata Laura menirukan ucapan oknum di Dinas Pariwisata Pematang siantar.

Meski ditolak, Sanggar Tari Sihoda terus berjuang. Mereka bahkan kembali mendapatkan tawaran untuk kembali tampil di Festival Internasional di Turki tahun ini.

Berbagai upaya pun mereka lakukan demi menggalang dana dan berangkat ke Turki.

“Kami sudah mulai ngamen sudah mulai dari Desember 2022 dan masih berjalan sampai saat ini, baru-baru ini kami menggelar kegiatan menari 12 jam kegiatan ini sudah kami lakukan 3 kali, 2 di kota Pematang Siantar, satu di Saribudolok Kabupaten Simalungun,” ucap Laura.

“Sudah lebih 6 bulan kami ngamen, kira-kira dana yang terkumpul baru Rp20 juta-an, sementara taksasi dana keberangkatan kami kurang lebih Rp500 juta,” imbuh Laura.

Ketakutan terbesarnya saat ini karena Sanggar Tari Sihoda membawa nama Indonesia di festival tari dunia itu. Sehingga ketika Sanggar Tari Sihoda tidak bisa berangkat mengikuti kompetisi itu, maka Indonesia pun tidak bisa berkompetisi di even tersebut untuk tahun-tahun berikutnya.

“Saya takut sebenarnya kalau memang tidak bisa berangkat karena dana yang tidak cukup, maka Sihoda mewakili Indonesia juga akan ikut di-blacklist dan tidak bisa mengikuti even tahun berikutnya,” ucapnya.

Dengan kondisi keuangan sanggar masih jauh dari cukup, Laura mengaku hanya bisa pasrah dan berserah, sembari berharap sebuah keajaiban muncul dan bisa kembali membawa budaya Simalungun dan Indonesia di kancah Internasional.

“Mau bagaimanapun kami akan tetap berjuang, karena tidak ada perjuangan yang sia-sia. Sebagai orang Batak dan penggiat Budaya, saya ingin menunjukkan ke Dunia bahwa selain marga, budaya adalah identitas orang Batak,” tutupnya.

Editor: Kurnia Ismain
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS