PARBOABOA, Jakarta - Lebaran menjadi momen istimewa bagi masyarakat Indonesia. Tak hanya umat Muslim, seluruh masyarakat turut merasakan atmosfer penuh kehangatan dalam perayaan Idul Fitri.
Tradisi silaturahmi yang melekat erat dalam budaya Lebaran menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk berkumpul, saling menyapa, dan mempererat hubungan dengan keluarga, kerabat, serta sahabat.
"Silaturahim adalah sarana untuk menciptakan interaksi antar sesama manusia dari berbagai karakter dan kepribadian," tulis Izza Fastawa Hamim dalam "Silaturahmi Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah" (2022).
Izza menerangkan, seorang Muslim dituntut agar dapat berinteraksi dengan baik, dalam bertutur kata sehingga tidak menyakiti hati atau perasaan orang lain.
"Secara luas, silaturahmi mencerminkan usaha untuk membangun serta mempererat ikatan yang harmonis dengan sesama," lanjut Izza.
Sejak dahulu, silaturahmi saat Lebaran dilakukan dalam skala luas. Orang berbondong-bondong mengunjungi sanak saudara, tetangga, hingga kolega.
Dalam lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan warisan leluhur, kunjungan ini menjadi simbol keharmonisan sosial. Bahkan, bagi sebagian orang, satu minggu terasa belum cukup untuk mengunjungi semua pihak yang harus disapa.
Namun, belakangan muncul fenomena baru di mana generasi muda mulai membatasi cakupan silaturahmi mereka.
Bukan karena hilangnya nilai kebersamaan, tetapi lebih kepada perubahan pola pikir tentang efektivitas dan makna dalam bersilaturahmi.
Beberapa menganggap kunjungan ke sanak saudara yang jarang berkomunikasi terasa kurang relevan, sementara yang lain merasa tradisi ini terlalu melelahkan.
Perubahan ini tampak jelas pada Generasi Z, yang kini berada di garda depan dalam menentukan arah sosial dan budaya.
Banyak dari mereka memilih untuk membatasi aktivitas silaturahmi hanya pada lingkup keluarga inti dan sahabat dekat, lebih mengutamakan hubungan emosional dibanding kuantitas kunjungan.
Ibnu (26), misalnya seorang perantau asal Padang yang kini menetap di Jakarta, mengungkapkan bahwa silaturahmi dengan keluarga besar terasa kurang relevan baginya.
“Kadang obrolannya nggak relate, jadi capek sendiri. Saya sekarang lebih memilih silaturahmi yang lebih kecil, cukup dengan keluarga dekat dan teman yang benar-benar punya hubungan emosional,” ungkapnya saat ditemui PARBOABOA di Palmerah, Sabtu (29/03/2025).
Meski masih mengikuti tradisi karena dorongan keluarga, Ibnu mengakui bahwa silaturahmi dalam skala luas sering kali terasa sebagai formalitas belaka.
"Bagi saya sih itu hanya formalitas. Capek sendiri kalau dipikir-pikir. Belum lagi kalau ada keponakan yang minta duit dan lain-lain. Tambah repot," tambah pria yang bekerja di salah satu BANK swasta ini.
Ibnu bahkan memilih untuk lebih banyak berdiam di rumah saat Lebaran dan hanya berinteraksi dengan keluarga inti atau teman-teman terdekat.
Meski demikian, tak semua anak muda mengalami pergeseran ini. Tofik (28), yang berasal dari Jember, justru menikmati silaturahmi dalam lingkup luas.
"Lebaran itu momen istimewa berkumpul dengan keluarga besar, bertukar cerita, dan berbagi pengalaman. Nggak perlu repot keliling ke banyak tempat, yang penting suasananya santai dan tetap seru," ujarnya kepada PARBOABOA, Sabtu (29/03/2025).
Ia menyayangkan jika ada orang yang akhirnya memilih untuk tidak kembali ke kampung halaman untuk bertemu keluarga. Lebaran dinilainya hanya satu kali dalam setahun dan harus dimanfaatkan dengan sungguh.
"Harus kembali ke kampung. Ini kesempatan penting loh. Setahun seumur hidup itu kan bukan waktu yang singkat," lanjutnya.
Bagi Tofik, kebersamaan dengan keluarga memberikan banyak manfaat sosial dan emosional yang tak bisa digantikan oleh interaksi digital.
Perubahan Gaya Silaturahmi
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, menilai bahwa pergeseran ini adalah fenomena alami yang terjadi akibat perubahan zaman.
“Gen Z adalah generasi yang lebih fungsional, mereka memilih aktivitas yang benar-benar bermakna bagi mereka," kata Habdy dalam sebuah keterangan, Kamis (27/03/2025).
Ia menilai, perubahan makna silaturahmi lebaran tersebut tidak berarti bahwa generasi muda telah mengabaikan makna silaturahmi, tetapi merupakan pola adaptasi yang baru.
"Ini bukan berarti mereka mengabaikan silaturahmi, tetapi lebih kepada cara mereka menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kenyamanan pribadi,” katanya.
Perbedaan perspektif juga sering kali menjadi sumber ketegangan antar generasi, terutama ketika generasi yang lebih tua menganggap tradisi silaturahmi sebagai kewajiban sosial yang harus dijalankan tanpa pengecualian.
Selain itu, faktor berkembangnya teknologi juga turut berperan. Dengan adanya media sosial dan komunikasi digital, interaksi dengan keluarga besar tetap bisa dilakukan tanpa harus bertemu secara fisik.
Menurut Nurfa Halensiana dan Twin Agus Pramonojati dalam kajian berjudul "Budaya Lebaran di Indonesia dalam Masyarakat Tontonan" (2019), pergeseran makna lebaran bukanlah perihal sepele.
"Pergeseran makna yang terjadi secara perlahan namun pasti mampu mengubah cara pandang individu maupun masyarakat terhadap agama yang mereka anut," tandas mereka.
Keduanya menilai, jika fenomena semacam ini terus dipertahankan, maka makna silaturahmi akan berubah. Lebaran tidak lagi menjadi perayaan bersama sebagai satu kesatuan.
"Hal ini perlu diingat generasi muda kita. Kalau dibiarkan terus, maknanya akan menghilang. Silaturahmi harus menjadi yang utama," tegas mereka.
Jadwal Idul Fitri
Pemerintah secara resmi menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriah atau Lebaran 2025 jatuh pada Senin (31/03/2025).
Keputusan ini diambil dalam sidang isbat yang diselenggarakan Kementerian Agama (Kemenag) di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat, pada Sabtu (29/03/2025).
Sidang tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar dan turut dihadiri pimpinan Komisi VIII DPR, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dirjen Bimas Islam, serta perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat Islam.
Penetapan 1 Syawal dilakukan setelah mendengarkan hasil pemantauan hilal di berbagai lokasi di Indonesia.
Menurut pemaparan Menteri Agama, posisi hilal di seluruh wilayah Indonesia masih berada di bawah ufuk. Kondisi ini belum memenuhi kriteria visibilitas hilal yang ditetapkan oleh Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yaitu ketinggian minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
Oleh karena itu, pemerintah menetapkan bahwa 1 Syawal 1446 H jatuh pada 31 Maret 2025, sekaligus menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari.
Pemantauan hilal dilakukan di 33 titik pengamatan di seluruh Indonesia, kecuali di Bali yang sedang memperingati Hari Suci Nyepi.
Dengan keputusan ini, umat Islam di Indonesia akan melaksanakan puasa Ramadhan secara penuh hingga hari terakhir sebelum merayakan Idul Fitri pada tanggal yang telah ditetapkan.