PARBOABOA, Jakarta - Upaya memperjuangkan hak-hak perempuan tengah digencarkan kaum feminis, aktivis HAM, dan kelompok yang peduli pada isu-isu gender.
Kesadaran tentang pentingnya ruang hidup yang inklusif menggerakkan mereka untuk berjuang mengembalikan hak-hak perempuan yang terkooptasi kepentingan kaum pria.
Di Indonesia, ragam gerakan yang mengatasnamakan perempuan ditandai dengan munculnya feminisme pada akhir abad ke-19 yang diinisiasi Raden Ajeng Kartini.
Sejak saat itu, ramai bermunculan komunitas perempuan yang aktif memperjuangkan kesetaraan gender, baik melalui media sosial maupun aksi -aksi langsung di lapangan.
Mereka bermaksud mendorong perempuan untuk maju, menunjukkan potensi mereka, dan menciptakan kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Terkini, muncul gerakan serupa yang diinisiasi para feminis dan aktivis perempuan di Jakarta yang diberi nama Women’s March Jakarta (WMJ).
Pada 2024, WMJ kembali hadir dengan tema “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki”. Mereka menyoroti berbagai bentuk ketidakadilan yang membelenggu perempuan dan kelompok rentan di Indonesia.
Dalam konteks tahun politik yang dinilai gagal membawa perubahan berarti, WMJ juga menjadi wadah perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender.
Koordinator WMJ 2024, Anzi dari Jakarta Feminist Ally, mengkritik pergantian kekuasaan yang hanya fokus mempertahankan posisi tanpa memberikan perlindungan terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan.
“Kekerasan berbasis gender dan seksual tidak pernah menjadi prioritas pemerintah, padahal kasus seperti kekerasan seksual di institusi pendidikan dan tempat kerja terus terjadi,” ujar Anzi, Jumat (06/12/2024).
Karena itu, Anzi dan WMJ mendesak pemerintah untuk mengesahkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan represi terhadap perempuan, kelompok marginal dan kelompok rentan.
Salah satu caranya adalah mengimplementasikan UU TPKS dengan "memperkuat peraturan turunan dan implementasi PP Nomor 55 Tahun 2024 tentang UPTD PPA di seluruh daerah," lanjut Anzi.
Mereka juga membacakan sepuluh tuntutan lain yang berisi usulan untuk membatalkan kebijakan yang diskriminatif, mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender dan inklusif.
Laporan dari Jakarta Feminist mengungkapkan terdapat 180 kasus femisida sepanjang 2023, namun hanya sebagian kecil yang ditangani serius.
Lebih lanjut, survei BPS mengungkapkan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Sementara data Komnas Perempuan juga mencatat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun yang sama. Dengan kata lain, kekerasan terhadap perempuan tergolong extra ordinary crime.
Salah satu kolaborator WMJ 2024 dari LBH APIK Jakarta, Tuani menyoroti lemahnya implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"UU TPKS menjamin hak korban seperti akses kontrasepsi darurat dan aborsi, tetapi implementasi aturan turunannya belum ada,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti adanya bias gender dan budaya victim blaming yang memperburuk kondisi korban dalam proses hukum.
Kendala lainnya adalah sistem hukum yang belum berpihak pada korban. Banyak laporan kekerasan yang ditolak aparat penegak hukum karena dianggap kurang bukti.
Bahkan, pendekatan restorative justice sering diterapkan tanpa pengawasan memadai, memaksa korban untuk berdamai dengan pelaku.
Kelompok rentan seperti pekerja seks dan individu dengan ragam gender juga menghadapi diskriminasi yang mendalam.
Penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengungkapkan bahwa regulasi hukum di Indonesia masih belum optimal dalam memberikan perlindungan kepada korban diskriminasi.
IJRS lantas menekankan perlunya kebijakan anti-diskriminasi yang komprehensif, termasuk pemberian sanksi ekonomi untuk membantu pemulihan korban.
Selain isu diskriminasi, advokasi mengenai Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di kalangan anak muda juga menghadapi tantangan besar.
Bahkan, kekerasan berbasis gender sering digunakan sebagai alat dalam konflik politik dan ekonomi global, termasuk di wilayah Papua.
Dengan situasi ini, WMJ 2024 menjadi momentum penting untuk menggalang solidaritas dan mendorong perubahan sistemik.
Perjuangan melawan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender menjadi seruan yang harus terus diperjuangkan bersama.
Sejarah WMJ
WMJ merupakan perayaan tahunan yang digagas oleh Lintas Feminis Jakarta dan mengumpulkan perempuan dan sekutunya dalam semangat solidaritas.
Gerakan ini dimulai pada 2017 dengan partisipasi sekitar 400 orang, serta terus berkembang hingga menarik lebih dari 8.000 peserta setiap tahun.
Seiring waktu, WMJ bertransformasi menjadi aksi kolektif yang memperjuangkan hak-hak kelompok perempuan dan kelompok rentan, termasuk minoritas gender dan seksual, pekerja rumah tangga, buruh migran, masyarakat adat, serta komunitas lain yang membutuhkan perhatian.
Melalui gerakan ini, mereka bersama-sama menyuarakan tuntutan untuk perubahan kebijakan yang berdampak signifikan bagi kelompok-kelompok tersebut.
Isu-isu utama yang diangkat oleh WMJ meliputi desakan untuk segera mengesahkan peraturan penting seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat.
Di sisi lain, peserta dengan tegas menolak kebijakan yang dianggap diskriminatif dan menindas, seperti RKUHP, UU Cipta Kerja, dan RUU Ketahanan Keluarga.
WMJ tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga panggung bagi suara-suara yang mendambakan keadilan sosial dan kesetaraan gender.