PARBOABOA, Simalungun - Pengembangan Desa Wisata Karang Anyar (DEWIKA) di Nagori Karang Anyar mengalami tantangan serius dari waktu ke waktu.
Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Nagori Karang Anyar, Jumali, mengungkapkan beberapa tantangan besar yang dihadapi dalam pengembangan DEWIKA.
Menurutnya, rendahnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap fasilitas desa wisata menjadi penghambat utama.
"Masalah utamanya adalah masyarakat cenderung hanya mau bekerja jika ada insentif finansial yang jelas," kata Jumali kepada PARBOABOA, Sabtu (29/06/2024).
Hal ini, lanjut Jumali, menunjukkan rendahnya rasa kepemilikan terhadap fasilitas desa wisata yang seharusnya menjadi kebanggaan dan tanggung jawab bersama.
Selain itu, beberapa fasilitas di DEWIKA mengalami kerusakan yang diduga dilakukan oleh masyarakat setempat, terutama oleh remaja yang sering berkumpul di malam hari.
"Meskipun sudah ada peringatan, pengrusakan (lokasi DEWIKA) sulit dihindari jika tidak ada pengawasan yang ketat," tambahnya.
Jumali juga menyoroti kurangnya dukungan dari masyarakat dalam menjaga dan merawat fasilitas yang ada.
"Masyarakat sekitar kurang peduli untuk menjaga fasilitas yang telah dibangun. Mereka lebih bersikap pasif dan hanya memanfaatkan fasilitas tanpa ikut serta dalam perawatan," ujarnya.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, juga mengemukakan pandangannya terkait masalah ini.
Menurut Sunyoto, kurangnya partisipasi aktif masyarakat, terutama remaja, dalam program pengembangan desa wisata yang diinisiasi oleh BUMDes disebabkan oleh beberapa faktor utama.
"Dalam pendekatan sosialisasi, pemerintah memegang peran utama dan dominan dalam menginisiasi dan mengarahkan program atau kebijakan. Ide dan keputusan utama berasal dari pemerintah, dan masyarakat lebih banyak berperan sebagai penerima informasi dan instruksi," jelas Sunyoto kepada PARBOABOA, Kamis (04/07/2024).
Pendekatan lain yang diusulkan adalah konsultasi, di mana masyarakat memiliki peran utama dalam menginisiasi ide atau usulan.
Pemerintah berperan sebagai fasilitator atau pendukung yang mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat.
"Dalam pendekatan ini, masyarakat mulai dengan memiliki pengetahuan tentang pariwisata dan berbagi ide mereka kepada pemerintah," tambah Sunyoto.
Selain itu, pendekatan partisipasi, di mana baik pemerintah maupun masyarakat memiliki peran yang sejajar dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan ini kerap dianggap sebagai bentuk solusi yang ideal.
"Pengetahuan tentang pariwisata disebarluaskan dan dipahami bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Kesadaran dan sikap dibangun secara kolektif, dan akhirnya, tindakan diambil bersama dengan melibatkan kedua belah pihak secara aktif dan sejajar," papar Sunyoto.
"Teman saya pernah berkunjung ke sebuah objek wisata buah yang sukses di daerah lain. Di sana, petani meraih keuntungan dari penjualan durian dan kelengkeng, sedangkan pengelola wisata memperoleh pendapatan dari layanan wisata seperti restoran, transportasi, souvenir, dan pemandu wisata," tambahnya.
Pendekatan semacam ini, yang mengedepankan kemitraan dan keberlanjutan diharapkan dapat diterapkan di DEWIKA.
"Dengan pendekatan sosial yang membentuk kemitraan yang saling menguntungkan, diharapkan tercipta keterikatan sosial dan sense of belonging," pungkas Sunyoto.
Dengan demikian, "masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam memberikan kontribusi untuk memajukan desa wisata tersebut," tutupnya.
Senada, Sosiolog Musni Umar mengungkapkan salah satu syarat untuk mensukseskan program pemerintah ialah partisipasi masyarakat.
Namun, tidak mudah menghadirkan partisipasi masyarakat secara otonom, sehingga pemerintah pada umumnya menerapkan mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasi).
"Sejatinya budaya lokal seperti gotong royong menjadi pilar yang mendorong partisipasi masyarakat untuk menyukseskan program pemerintah di desa," jelas Musni Umar.
Namun demikian, lanjutnya, pendekatan dalam pelaksanaan program pemerintah bersifat proyek, yang artinya setiap proyek ada anggarannya, akhirnya budaya gotong royong terkikis.
"Dampaknya masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam program pemerintah tanpa dibayar," tambah Musni.
Menurutnya, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan, kuncinya adalah keterbukaan dan memberi manfaat ekonomi setiap program pemerintah.
"Sebagai contoh, pelaksanaan program pemerintah di desa, misal memiliki anggaran sebesar Rp 200 juta. Pemerintah setempat harus terbuka memberitahu masyarakat. Kalau program dilaksanakan dengan pendekatan proyek, maka pelaksana (kontraktor) ditunjuk. Dampaknya, hanya kontraktor yang dapat uang,” pungkasnya
Sebaliknya kalau bersifat padat karya, “pekerjaan dilaksanakan secara gotong-royong. Dampaknya, mereka yang berpartisipasi dalam pelaksanaan program, semua dapat uang."
Ia berasumsi, jika pendekatan semacam itu dilaksanakan, maka partisipasi masyarakat pasti meningkat secara signifikan dalam pelaksanaan program pemerintah.
Menurut Musni, bukan masyarakat yang harus diubah untuk meningkatkan partisipasi dalam program pemerintah, tetapi pemerintah sendiri harus mengubah pendekatan yang memberi manfaat ekonomi dan kesejahteraan kepada masyarakat.
"Masyarakat akan termotivasi untuk berpartisipasi secara otonom (autonomous participation), jika dalam setiap program pemerintah, mereka mendapatkan benefit secara ekonomi," tutup Musni Umar.
Editor: Defri Ngo