PARBOABOA, Jakarta - Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sering membawa petaka bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Keberadaan PLTU disinyalir turut andil dalam memperparah krisis iklim yang berujung pada berbagai bencana alam.
Emisi yang dilepaskan dari cerobong asap pabrik akan menumpuk di atmosfer, sehingga menyebabkan suhu bumi meningkat dan berkontribusi pada pemanasan global.
Sejak awal, rencana pembangunan PLTU batu bara sudah menimbulkan keresahan bagi warga, juga para aktivis lingkungan dan lembaga bantuan hukum (LBH).
Dampak negatif tersebut semakin terasa setelah PLTU mulai beroperasi di lahan produktif dan kawasan alami.
Kasus yang terjadi di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (Jabar) menarik untuk dijadikan pelajaran.
Laporan PARBOABOA pada Senin (19/08/2024) menyingkap fakta menarik di balik praktik culas penggunaan teknologi co-firing yang diprakarsai PLTU 1 Indramayu.
Mega proyek ini dibangun oleh PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB) sebagai anak perusahaan PT PLN yang direncanakan beroperasi sejak 2021 hingga 2035.
PLTU 1 Indramayu didanai melalui pinjaman sebesar US$562 juta dari China Development Bank, dengan konstruksi yang dilakukan China National Electric Engineering Company (CNEEC) dan China National Machinery Industry Corporation (Sinomach).
Dalam praktiknya, "PLTU Indramayu telah menerapkan teknologi co-firing biomassa, yaitu sistem yang memungkinkan penggunaan dua jenis bahan bakar secara bersamaan dalam proses pembakaran," tulis PARBOABOA.
Biomassa, sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang prospektif, memiliki potensi energi sebesar 32,6 GW, namun baru dimanfaatkan sekitar 1.895,7 MW, atau sekitar 5,8%.
Teknologi co-firing memungkinkan biomassa dan batu bara digunakan bersamaan dengan rasio tertentu tanpa mengorbankan efisiensi dan kualitas pembangkit listrik.
Skema ini melibatkan pencampuran atau pengoplosan batu bara dengan biomassa seperti cangkang sawit, sekam padi, dan pelet kayu dalam proporsi 5-10 persen.
Meski demikian, dampaknya tak bisa dianggap sepele. Temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jabar mengungkapkan sejumlah efek negatif dari penggunaan teknologi co-firing.
Efek negatif tersebut, antara lain, hasil panen merosot, tangkapan laut menurun, dan penyakit pernapasan mendera masyarakat.
Data Dinas Kesehatan Indramayu menunjukkan bahwa dalam periode 2019-2021, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada bayi mengalami peningkatan signifikan.
Di Kecamatan Patrol, misalnya, kasus ISPA pada bayi (balita) tercatat sebanyak 145 kasus pada 2019, meningkat menjadi 301 kasus pada 2020, dan sedikit menurun di angka 289 kasus pada 2021.
Sementara di Kecamatan Sukra, jumlah kasus ISPA pada bayi juga terus mengalami kenaikan, dengan 181 kasus pada 2019, 183 kasus pada 2020, dan mencapai 186 kasus pada 2021.
Klaim Biomassa Netral
Penggunaan teknologi co-firing disebut-sebut sebagai sarana mengurangi emisi karbon. Beberapa negara di Eropa telah menunjukkan tren positif demikian.
Riset Dhiyanti Nawang Palupi dan kawan-kawan (2024) menerangkan, teknologi co-firing menjadi salah satu inovasi yang efektif dalam meminimalisir tingkat emisi.
"Manfaat co-firing dalam pembangkit listrik tenaga uap antara lain adalah mampu mengurangi emisi serta memberikan penghematan pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik," tulis mereka.
Bertolak dari pendasaran tersebut, pembangkit listrik yang menggunakan co-firing biomassa dan batu bara memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi karbon dioksida, nitrogen oksida, dan SOx.
Klaim tersebut belum sepenuhnya benar. Sebab, selama dua dekade terakhir, sektor energi telah menyumbang 32% dari total emisi karbon di Indonesia.
Menurut Emissions Database for Global Atmospheric Research, Indonesia termasuk dalam daftar 10 negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, dengan kontribusi sebesar 1,80%.
Aktivitas pembukaan hutan dan pembakaran biomassa di PLTU akan menciptakan utang karbon yang sulit dilunasi hanya dengan penanaman hutan tanaman energi.
Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menemukan, skema co-firing biomassa justru berdampak memperburuk kualitas udara akibat gas amonia yang terlepas ke udara.
Emisi pembakaran biomassa disebut lebih sarat partikel halus (fine particulate matter) yang buruk bagi pernapasan dan emisi CO2-nya cenderung lebih terkonsentrasi.
Direktur Eksekutif WALHI Jabar, Wahyudin, menyebut klaim co-firing mengurangi emisi karbon sebesar 1,05 juta ton adalah tidak benar.
Wahyudin mencatat bahwa di Jabar, khususnya pada PLTU I Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu, terjadi tren peningkatan pencemaran udara yang semakin parah dari aktivitas cerobong PLTU.
Kritik serupa dilayangkan Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Prayoga yang menyebut biomassa justru berdampak mencemari lingkungan
“Segala sesuatu yang dibakar pasti menghasilkan emisi. Jika kita beralih dari energi fosil ke energi biomassa namun tetap melakukan pembakaran, dari mana berkurangnya emisi tersebut?" pungkas Anggi.
Baginya, skema co-firing yang tetap melakukan pembakaran justru tidak mencerminkan visi pemerintah dalam melakukan transisi energi.
Penggunaan teknologi biomassa tersebut, pungkasnya, tidak hanya memperburuk kualitas udara, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan warga di sekitar PLTU.
Terpisah, riset CREA dan Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mengungkapkan bahwa Jabar adalah provinsi dengan tingkat polusi udara tertinggi. Polusi ini disebut mengurangi harapan hidup 45 juta penduduk.
Riset tersebut memperkirakan, emisi pembangkit listrik di Indonesia pada 2022 bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan beban ekonomi sebesar US$7,4 miliar setara Rp109,0 triliun dari dampak kesehatan terkait.
Jumlah ini jauh lebih tinggi seiring peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebelum mencapai puncak pada 2028 dan angka kematian diperkirakan meningkat jadi 16.600 per tahun.
Terhitung sejak Juni 2021-Juni 2023, PLTU 1 Indramayu telah menggunakan biomassa sebanyak 30.663.720 ton dalam pembakaran bersama batu bara. Biomassa itu dihitung dari rata-rata yang dibakar per hari 2% (240 t/day).
Sementara, temuan dari Trend Asia menunjukkan, co-firing di 52 PLTU dapat menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon. Jumlah ini dua kali lipat dari perhitungan PLN.
Lebih lanjut, meminjam temuan yang sama, teknologi co-firing akan menyebabkan deforestasi seluas 2,33 juta hektare karena penggunaan biomassa pohon.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan teknologi co-firing sesungguhnya berdampak meningkatkan emisi karbon, yang mengganggu lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
Inkonsistensi Pemerintah
Dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Indonesia menegaskan komitmennya untuk mencapai emisi nol pada tahun 2060 atau lebih awal.
Pencapaian janji ini sangat penting untuk mengatasi krisis iklim, mengingat Indonesia adalah salah satu penghasil emisi terbesar di dunia.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga menekankan upaya Indonesia untuk mencapai target net carbon sink, yakni penyerapan karbon bersih dalam sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil adalah dengan penerbitan Kebijakan Energi Nasional.
Regulasi lain juga telah dibuat untuk mendukung pencapaian target 23% penggunaan energi baru dan terbarukan pada tahun 2025.
Sebagai salah satu kontributor terbesar emisi di sektor energi, PLN mendukung komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai strategi.
PLN memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta berupaya mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil dengan memanfaatkan gas buang sebagai sumber energi alternatif.
Selain itu, PLN juga fokus pada pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar pengganti batu bara dan menerapkan teknologi rendah karbon yang efisien untuk pembangkit listrik.
Langkah tersebut sejalan dengan Roadmap Konservasi Energi yang mencantumkan inisiatif co-firing sebagai salah satu langkah penyediaan energi pembangkit listrik.
Meskipun demikian, penggunaan co-firing justru berpotensi memperpanjang masa operasi PLTU karena masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.
Perwakilan LBH Bandung, Maulida Zahra, menekankan bahwa untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan, pemerintah harus memastikan target elektrifikasi dan proyek transisi energi tidak merampas ruang hidup masyarakat.
Menurut Maul, prinsip keadilan dalam energi baru terbarukan (EBT) berarti bahwa manfaatnya harus dirasakan secara merata, bukan hanya oleh kelompok tertentu.
Ia juga mengkritik ketidakkonsistenan pemerintah, yang meskipun telah menandatangani kesepakatan internasional untuk mengurangi perubahan iklim, belum menerapkan aturan yang mengikat secara nasional.
“Indonesia memang ikut menandatangani kesepakatan internasional, namun pemerintah belum mencerminkan komitmen tersebut dalam kebijakan yang mengikat, sehingga tidak ada peraturan yang mendukung perspektif keadilan,” ujarnya, Senin (19/06/2023) lalu.
Tanpa pengendalian tepat, lanjut Maul, polusi pembangkit listrik tenaga biomassa co-firing dapat menyebabkan masalah kesehatan yang signifikan bagi penduduk sekitar.
Editor: Defri Ngo