Menguji Akurasi Survei di Tengah Meredupnya Elektabilitas Anies dan Cak Imin

Akurasi survei di tengah meredupnya elektabilitas Anies Baswedan dan Cak Imin. (Foto: Instagram/aniesbaswedan)

PARBOAO, Jakarta -  Merapatnya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) rupanya belum menyumbang tren kenaikan elektabilitas yang signifikan.

Sejak dideklarasikan menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Sabtu (2/9/2023) lalu, kehadiran Cak Imin tentu menjadi harapan koalisi untuk mendongkrak elektabilitas Anies Baswedan.

Apalagi, jika mencermati simpul konstituen poros koalisi perubahan, kolaborasi Anies dan Cak Imin di Pilpres 2024 tak bisa dianggap sepele.

Keduanya sama-sama ditopang oleh basis pemilih Islam, baik Anies yang kerap dilekatkan dengan Islam konservatif, maupun Cak Imin yang cenderung disebut sebagai representasi Islam moderat.

Secara matematis, kekuatan politik Anies dan Cak Imin bisa saja menjadi tantangan tersendiri untuk kedua rival lainnya, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Sayangnya, dengan sponsor politik yang besar ini, elektabilitas Anies-Cak Imin malah menurun dan kalah moncreng dengan Prabowo dan Ganjar, yang hingga saat ini belum juga mendeklarasikan cawapres.

Sejumlah hasil survei yang dirilis oleh beberapa lembaga setidaknya mengafirmasi hal ini. 

Dalam survei simulasi tiga capres-cawapres yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada September 2023 lalu, misalnya. 

Hasil survei tersebut menunjukkan elektabilitas Anies dan Cak Imin yang berada di posisi paling buntut, yakni 16,5 persen.

Posisi pertama ditempati Ganjar-Ridwan Kamil dengan perolehan elektabilitas 35,4 persen. Kemudian diikuti Prabowo-Erick di posisi kedua dengan tingkat elektabilitas 31,7 persen.

Survei yang dilakukan lembaga survei Polling Institute, juga merilis hasil yang hampir sama. 

Dalam temuan terbarunya terkait dengan simulasi tiga nama capres, posisi Anies Baswedan lagi-lagi tak mampu bersaing dengan Prabowo dan Ganjar.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu hanya memperoleh elektabilitas 20,0 persen, selisih tebal dengan Prabowo yang unggul 36,3 persen, dan Ganjar 32,4 persen.

Hasil survei yang dirilis lembaga riset internasional Ipsos Public Affairs juga tidak menunjukkan kenaikan elektabilitas yang signifikan.

Survei yang dilakukan di 24 Provinsi di Indonesia itu menempatkan Anies Baswedan di posisi terkahir dengan persentase elektabilitas 22,67 persen.

Anies kalah telak dengan Ganjar dan Prabowo yang masing-masing memperoleh elektabilitas 40,12 persen dan 37,21 persen.

Bahkan, menurut Survei Poltracking Indonesia, basis PKB di Jawa Timur juga diobrak-abrik yang membuat Anies terlempar jauh hanya dengan meraih 13,6 persen.

Menguji Akurasi Survei

Di tengah meredupnya elektablitas Anies dan Cak Imin, pertanyaan soal akurasi survei sepertinya tak bisa dihindari.

Apakah sejumlah hasil survei elektabilitas tersebut benar-benar merepresentasikan suara konstituen di akar rumput; atau justru sebaliknya, hanya untuk menciptakan opini publik dengan membranding salah satu kandidat, sambil merawat psimisme konstituen Anies dan Cak Imin.

Pertanyaan ini juga menjadi sorotan pakar politik Universitas Nasional Jakarta, Prof. Massa Djafar.

Djafar mengaku ragu dengan hasil sejumlah survei yang menempatkan Anies dan Cak Imin di posisi buntut dibanding Prabowo dan Ganjar.

Menurutnya, banyak lembaga survei di Indonesia belum menunjukkan proses kerja yang mengedepankan kaidah-kaidah akademik.

"Kita sangat prihatin karena apa yang kita harapkan lembaga survei itu memiliki integritas bekerja secara akademik, ternyata tidak demikian," kata Djafar kepada PARBOBOA, Sabtu (14/10/2023).

Djafar beralasan, apa yang terekam dalam survei melalui angka-angka statistik justru tidak menggambarkan kondisi ril arah pilihan politik konstituen di akar rumput.

"Secara nalar yang sehat apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan angka survei itu, itu kan semacam bertolak belakang, itu faktual," kata dia.

Sebagai pengampuh mata kuliah Ilmu Politik, Djafar mempertanyakan metode yang dipakai sejumlah lembaga survei di Indonesia.

Bagi Djafar, persoalan akurasi menjadi salah satu aspek penting yang hingga saat ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara akademik oleh lembaga-lembaga survei tersebut.

"Jadi sebenarnya di dalam metode penelitian ilmu sosial itu pendekatan kuantitatif katakanlah hasil survei itu kerap tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Tidak semua apa yang menjadi sikap masyarakat itu bisa terbaca dengan angka-angka survei," kata Djafar.

Apalagi, kata Djafar, di tengah situasi politik yang tidak sehat, potensi kecurangan dan manipulasi angka survei itu cukup tinggi.

Djafar juga menyinggung soal kontrol pemilik modal dalam setiap hasil survei. Ia melihat ada intervensi oligarki yang berkepentingan untuk menciptakan opini publik melalui elektabilitas kandidat.

"Apalagi di dalam situasi politik yang katakanlah tidak sehat, dan kita juga membaca dari sisi lai, ini kan ada satu kelompok katakanlah oligarki itu semua parameternya dengan kekuatan modal, itu yang sangat menyesatkan," terang Djafar.

"Survei-survei yang dilakukan ini adalah bagian dari kontrol kekuatan modal untuk membangun persepsi masyarakat, ini loh sebenarnya tokoh yang dikehendaki. Ini mendikte ingin membentuk  public opini, pendapat masyarakat dengan justifikasi," lanjut Djafar.

Menurut Djafar, intervensi pemilik modal yang "terlalu pongah, terlalu serakah,  dengan cara apapun mereka lakukan yang penting menang," menjadi salah satu faktor kunci di balik otak-atik elektabilitas kandidat.

Selain itu, keraguan Djafar atas hasil survei juga berangkat dari sejumlah soal lain, seperti survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini.

Djafar menjelaskan, hasil survei tersebut terasa aneh, mengingat banyak aspek yang gagal dibenahi pemerintah, namun justru tingkat kepuasan tinggi berdasarkan hasil survei.

"Kalau kita lihat banyak sekali contoh soal, bagaimana mungkin suatu pemerintahan yang gagal dalam pemberantasan korupsi, gagal menjawab kepentingan orang banyak, kebutuhan pokok semua harga naik, namun semua hasil survei puas dengan pemerintahan. Ini kan tidak logis," katanya.

Bagi Djafar, ketidakjujuran lembaga survei yang mengangkangi integritas akademik, "sama saja menghina akal sehat masyarakat."

Djafar mengaku optimis, meski kalah di sejumlah survei, Anies dan Cak Imin punya basis militan di akar rumput yang tidak pernah terkeco dengan persentasi elektabilitas.

"Pendapat itu bisa dicompare, misalkan kecenderungan dan orientasi pada Anies itu tinggi sekali jika dilihat secara telititi melalui media sosial," kata Djafar.

Di sisi lain, kata dia, kehadiran Anies Baswedan merupakan simbol perubahan bagi masyarakat kritis yang sudah jengah dengan kegagalan pemerintah.

Karena itu, parameter yang dipakai, kata Dajafar, tidak lagi mengandalkan tren elektabilitas.

"Karena ini ada satu lapisan masyarakat yang mempunyai sikap kritis. Jadi, parameternya lebih rigit. Kalau kita lihat kecenderungan masyarakat meberikan dukungan, itu harus dibaca sebagai penyampaian aspirasi yang tidak terpola," papar Djafar.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS