PARBOABOA, Pematangsiantar - Di era digital, batas antara fakta dan fiksi kian kabur. Siapa pun bisa menjadi penyebar hoaks, sadar atau tidak. Oleh sebab itu, penting bagi jurnalis untuk mampu bertahan di tengah arus informasi yang dibanjiri kebenaran setengah matang, manipulasi halus, dan tipu daya yang menyamar sebagai opini.
Inilah kegelisahan yang melatari lahirnya Sekolah Jurnalisme Parboaboa. Di ruang belajar, calon jurnalis muda tak hanya diajak memahami kerja jurnalistik, tetapi juga menelusuri ulang fondasi berpikir kritis.
Senin pagi (2/6/2025), jurnalis Tempo yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, membawakan materi mendasar dalam kerja jurnalistik: Cek Fakta. Disampaikan secara daring, ia mengangkat keresahan akan bahaya informasi yang tak terverifikasi.
"Roh jurnalisme terletak pada verifikasi, sebagai prinsip yang membedakannya dengan konten media sosial. Skill memeriksa fakta bukan sekadar pelengkap, tetapi inti dari kerja jurnalistik. Seorang jurnalis harus menjadikannya sebagai sikap," jelasnya kepada para peserta.
Ika turut memaparkan lima pilar verifikasi sebagai dasar yang tak terpisahkan dari kerja jurnalistik. Kelima pilar ini bukan sekadar alat teknis, namun ia juga merupakan prinsip yang menuntun jurnalis untuk tetap berpijak pada akurasi.
Pilar pertama adalah asal-usul. Setiap konten perlu ditelusuri jejak perjalanannya—dari mana ia berasal, siapa yang pertama kali membuatnya, dan bagaimana ia sampai ke tangan publik. Memahami konteks awal ini menjadi penting agar informasi tidak diputus dari latar belakang yang menyertainya.
Selanjutnya, ia menekankan pentingnya menelaah sumber. Informasi yang diterima hari ini sering kali telah melewati banyak tangan. Mengetahui siapa yang mengirimkan, serta siapa yang menjadi perantara sebelumnya, adalah langkah penting dalam mengukur kredibilitas informasi.
Pilar ketiga adalah waktu. Informasi yang lama bisa muncul kembali seolah-olah baru. Tanpa ketelitian dalam melihat kapan persisnya konten dibuat, publik bisa mudah terjebak dalam persepsi yang keliru.
Lokasi juga tidak kalah penting. Sebuah peristiwa bisa berubah makna ketika dipindahkan dari tempat asalnya. Dalam dunia digital yang serba cepat, kesalahan lokasi sering terjadi, dan dapat menyesatkan pembaca jika tidak segera diluruskan.
Terakhir, Ika menjelaskan soal motivasi. Setiap konten selalu ada kepentingan—baik pribadi, politik, atau ekonomi—di balik penyebarannya. Di sinilah jurnalis dituntut untuk tidak hanya bisa memverifikasi secara teknis, tetapi juga membaca arah kepentingan yang menyertainya.
"Di tengah banjir disinformasi dan operasi manipulasi, cek fakta menjadi keharusan. Media harus kembali pada rohnya sebagai pilar demokrasi. Juga menjadi ruang verifikasi, menjernihkan kabar yang simpang siur, serta menyajikan informasi yang akurat dan bisa dipercaya," kata Ika pada Parboaboa, Selasa (3/6/2025).
Ia menjelaskan, jika media terjebak pada clickbait dan menyajikan informasi yang menyesatkan, fungsinya sebagai penjernih informasi pun hilang. Alih-alih mencerahkan, media justru berpotensi membahayakan publik. Informasi yang tidak berkualitas dapat merusak kehidupan sosial, menyesatkan pengambilan keputusan, dan dalam jangka panjang, melemahkan demokrasi itu sendiri.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap media, serta tekanan ekonomi yang menghimpit bisnis media, saatnya media kembali merebut kepercayaan itu. Salah satu kunci utamanya, terang Ika, adalah menjadikan media sebagai ruang yang mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan, sekaligus menyajikan informasi yang akurat dan menuntun publik menuju kebenaran.
"Dalam ekosistem informasi yang sudah tercemar, terutama di media sosial, media harus tampil sebagai penjernih dan penuntun arah," tambahnya.
Ia melihat masih harapan pada jurnalis-jurnalis muda yang akan melanjutkan estafet kerja jurnalistik ke depan. Namun itu harus disertai komitmen tinggi untuk menjaga integritas dan memahami tanggung jawab sosial. Dan yang paling mendasar adalah menjalankan verifikasi sebagai napas dari setiap kerja jurnalistik.
Bagi Ika, sekolah jurnalisme seperti ini, terutama di daerah, sangat penting sebagai ruang untuk menanamkan nilai-nilai dan menginternalisasi kode etik jurnalistik sejak awal. Tujuannya untuk membentuk generasi jurnalis yang bisa diandalkan.
"Baik ketika mereka nanti bergabung dengan perusahaan media yang sudah ada maupun mendirikan media sendiri. Sebab hari ini, kita sangat membutuhkan media yang benar-benar bekerja untuk kepentingan publik," tutupnya.
Pentingnya Cek Fakta
Salah satu peserta, Alberto Nainggolan (22), mahasiswa Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar, mengaku pengetahuannya bertambah setelah menyimak materi yang disampaikan Ika.
Di era digital sekarang, membedakan informasi yang benar dan salah menjadi tantangan tersendiri. Materi pagi itu membuatnya semakin sadar bahwa bersikap kritis bukan lagi pilihan, melainkan keharusan bagi siapa pun yang ingin memahami informasi secara utuh.
“Mengingat materi ini, sebagai calon jurnalis, saya harus belajar dan melatih diri untuk tidak mudah menelan mentah-mentah setiap berita yang lewat di linimasa,” katanya, Senin (2/6/2025).
Sebelumnya, ia mengaku cenderung mudah percaya. Kini, Alberto mulai membiasakan diri menelusuri ulang sumber informasi dan memeriksa kebenarannya. Materi tersebut membantunya memahami pentingnya cek fakta. Menurutnya, sikap kritis merupakan bentuk tanggung jawab.
Peserta lainnya, jurnalis asal Manado, Triveni Gita Lestari Waloni (26), juga mengaku materi ini menambah wawasannya perihal pemanfaatan teknologi sebagai alat menangkal konten disinformasi dan misinformasi yang marak beredar di media sosial.
“Karena lewat pengetahuan tentang penggunaan tools, jurnalis bisa bekerja lebih profesional dan tidak asal-asalan. Sehingga informasi yang disajikan benar-benar aktual dan terpercaya,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).
Sebagai jurnalis, ia merasa harus mulai memanfaatkan berbagai alat untuk memverifikasi konten. Menurutnya, hal ini juga penting agar masyarakat tidak terjebak informasi menyesatkan yang disebar pihak tak bertanggung jawab.
Dengan bekal tersebut, kata Gita, jurnalis bisa menyajikan tulisan berupa bantahan yang tegas, menyatakan bahwa konten tertentu tidak sesuai fakta. Karena verifikasi yang dilakukan berbasis keterampilan dan pemanfaatan teknologi.