PARBOABOA, Jakarta - Komitmen swasembada pangan kini sedang diupayakan Presiden Prabowo Subianto guna mengamankan kebutuhan pangan nasional di tengah krisis global.
Menurut Mantan Menteri Pertahanan Indonesia ini, swasembada pangan berarti negara mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri tanpa ketergantungan dari luar.
Komitmen tersebut ditegaskan Prabowo dalam pidato perdananya sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD pada Minggu (20/10/2024).
Ia menerangkan bahwa Indonesia harus mampu mengantisipasi potensi ketidakstabilan global dengan memastikan kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi.
“Saya yakin paling lambat empat hingga lima tahun ke depan, kita akan mencapai swasembada pangan. Bahkan, kita berpotensi menjadi lumbung pangan dunia,” ujarnya.
Untuk mendukung tujuan besar ini, Prabowo telah membentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang kini dipimpin oleh Zulkifli Hasan, eks Menteri Perdagangan di pemerintahan sebelumnya.
Kemenko Pangan akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian, Kehutanan, Kelautan, serta Badan Pangan dan Gizi Nasional dalam mewujudkan target tersebut.
Dalam acara serah terima jabatan di Kementerian Perdagangan pada Senin (21/10/2024), Zulkifli menegaskan bahwa Kemenko Pangan akan berfokus penuh pada target swasembada pangan.
"Tugas [Kemenko Pangan] sangat jelas, yaitu memastikan swasembada pangan tercapai dalam lima tahun ke depan," ujar Zulhas.
Program ini pun direncanakan tidak lagi berpusat di Jawa, tetapi mencakup hingga ke Papua, dengan potensi tanaman pangan utama seperti padi dan jagung.
"Ke depan, sektor pertanian, khususnya padi dan jagung yang tumbuh di Papua, akan menjadi kunci bagi masa depan kita," ungkapnya.
Ahli ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, mengafirmasi bahwa Prabowo berambisi menjadikan Indonesia swasembada pangan, bahkan sebagai lumbung pangan dunia.
Namun, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengingatkan bahwa swasembada harus memiliki fokus yang jelas, terutama pada pangan berbasis karbohidrat dan protein yang telah cukup potensial di Indonesia.
"Jika swasembada difokuskan pada komoditas utama seperti karbohidrat dan protein, peluang untuk mencapainya akan jauh lebih besar," ujar Khudori.
Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya karbohidrat dan protein melimpah, termasuk beras, jagung, dan ikan, yang sudah mendekati kecukupan di tingkat nasional.
Khudori khawatir jika pengertian swasembada pangan masih dilihat seperti pada pemerintahan sebelumnya, yang terfokus pada komoditas seperti jagung, beras, bawang putih, gula, dan lainnya.
Ia menyebut, hal ini akan sangat sulit dicapai dalam waktu lima tahun ke depan, mengingat pada era Presiden SBY dan Jokowi, kemandirian pangan pun belum berhasil terwujud.
Pada awal pemerintahan Jokowi, misalnya muncul janji untuk mencapai swasembada pangan, namun kenyataannya tak pernah terwujud.
Selama sepuluh tahun terakhir, impor pangan justru meningkat hampir dua kali lipat, dari 10,1 miliar dolar AS pada 2013 menjadi 18,8 miliar dolar AS pada 2023.
"Untuk komoditas, tentu tidak mudah. Berbagai target yang ditetapkan pada komoditas tersebut tidak semuanya tercapai. Bahkan, di masa pemerintahan Jokowi, beberapa komoditas justru semakin jauh dari target," ujarnya.
Tantangan dan Kendala
Kendati memiliki ambisi yang besar untuk melakukan swasembada pangan, beberapa komoditas pangan yang bergantung pada impor, seperti kedelai dan gula, masih menjadi tantangan besar.
Dwi Andreas Santosa, pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menilai bahwa program swasembada pangan yang mencakup komoditas seperti gandum atau gula memerlukan solusi lebih mendalam.
Indonesia diketahui mengimpor hampir 100 persen kebutuhan kedelainya, sementara sekitar 70 persen gula juga masih didatangkan dari luar negeri.
Menurut Andreas, jika swasembada pangan lebih difokuskan pada beras, target ini cukup realistis.
Pasalnya, Indonesia pernah mencapai swasembada beras berturut-turut pada 2019-2021, tanpa impor beras umum, hingga mendapatkan apresiasi dari International Rice Research Institute (IRRI) atas stabilitas stok beras nasional.
Langkah besar swasembada pangan berjalan searah dengan niat Prabowo menghidupkan kembali program food estate untuk memperkuat kemandirian pangan melalui pengembangan lahan pertanian skala besar.
Salah satu dari tujuh program utama pemerintahannya meliputi intensifikasi lahan seluas 80 ribu hektar dan pencetakan sawah baru seluas 150 ribu hektar, dengan anggaran sekitar Rp15 triliun di tahun pertama.
Meski demikian, Eliza dari CORE menekankan bahwa pemerintah perlu mencari alternatif lain dalam peningkatan produksi pangan, agar tidak semata-mata membuka lahan hutan.
Menurutnya, ada potensi optimalisasi lahan yang sudah ada di Jawa dan insentif bagi petani agar sektor pertanian lebih menarik dan berdaya saing di kancah global.
“Meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan lahan yang ada bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak harus mengorbankan hutan atau masyarakat adat,” kata Eliza.
Dalam mencapai target swasembada beras pada 2025, Khudori optimis bahwa stok beras nasional akan cukup kuat, didukung oleh iklim yang membaik pasca-El Niño.
Diperkirakan, stok beras pada awal 2025 dapat mencapai 20 persen dari kebutuhan, sehingga impor dapat diminimalisir.
“Kalau 2025 masih ada impor, itu berarti ada masalah besar dalam kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Dengan strategi yang mencakup koordinasi lintas kementerian, program intensifikasi pertanian, serta fokus pada swasembada pangan utama seperti beras, pemerintahan Prabowo optimis dapat mencapai kemandirian pangan.
Meski tantangan dari sisi komoditas impor masih kerap terjadi, langkah strategis ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan pangan nasional di masa mendatang.