Misi Kemanusiaan Greta Thunberg Tantang Blokade Gaza

Kapal Madleen yang ditumpangi Greta Thunberg bersama 11 aktivis internasional sedang berlayar menuju Gaza (Foto: IG/@gretathunberg)

PARBOABOA, Jakarta - Aktivis lingkungan Greta Thunberg bersama 11 aktivis internasional lainnya memulai pelayaran menuju Gaza pada Minggu (01/6/2025).

Mereka diketahui membawa bantuan untuk warga Palestina yang terdampak krisis, sekaligus bermaksud membangkitkan perhatian dunia terhadap situasi genting di Gaza. 

Pelayaran menuju Gaza dilakukan menggunakan kapal Madleen dari Pelabuhan Catania, Italia selatan, sebagai bagian dari inisiatif Freedom Flotilla Coalition.

"Kami tidak peduli seberapa besar rintangan yang dihadapi, kami harus terus mencoba," ujar Greta dalam konferensi pers sebelum keberangkatan.

Ia menegaskan pentingnya semangat untuk terus berusaha guna menolong mereka yang tertindas, terlepas dari setiap risiko. 

"Saat kita berhenti mencoba adalah saat kita kehilangan kemanusiaan. Dan betapa pun berbahayanya misi ini, tidak lebih berbahaya daripada kebungkaman seluruh dunia dalam menghadapi genosida," lanjutnya.

Pelayaran ini juga melibatkan aktor serial "Game of Thrones" Liam Cunningham dan aktivis Rima Hassan. Jika tak menghadapi hambatan di laut, perjalanan menuju pantai Gaza diperkirakan memakan waktu sekitar tujuh hari.

Freedom Flotilla Coalition merupakan salah satu organisasi yang secara terbuka mengkritik keras tindakan militer Israel di Gaza, dengan menyebutnya sebagai bentuk genosida terhadap rakyat Palestina.

Klaim ini dibantah Israel dengan menyatakan bahwa operasi militernya hanya ditujukan pada kelompok Hamas dan bukan seluruh warga sipil.

Upaya mengakses Gaza melalui laut bukanlah yang pertama. Pada Mei lalu, kelompok aktivis lain bernama "Conscience" gagal mencapai wilayah tersebut setelah kapal mereka diserang dua pesawat nirawak di perairan internasional dekat Malta. 

Serangan itu diduga dilakukan oleh Israel dan menyebabkan kerusakan serius pada bagian depan kapal.

Sejak awal tahun, setelah pelanggaran gencatan senjata pada Januari, Israel memperketat blokade terhadap Gaza. Akibatnya, pengiriman bantuan kemanusiaan terhenti. Krisis kelaparan pun semakin memburuk. 

Israel berdalih bahwa blokade ini merupakan bagian dari strategi tekanan terhadap Hamas, yang sejak serangan 7 Oktober 2023 lalu dituduh menyandera warga Israel.

Di tengah situasi tersebut, angka korban terus meningkat. Data Kementerian Kesehatan Gaza menyebut, lebih dari 52 ribu jiwa telah menjadi korban, dengan mayoritas terdiri dari perempuan, anak-anak, dan lansia.

Langkah Greta Thunberg dan rekan-rekannya merupakan bentuk solidaritas nyata lintas bangsa yang menantang dominasi militer dan menyerukan suara kemanusiaan di tengah konflik yang tak kunjung reda.

Siapa Greta Thunberg?

Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg atau akrab disapa Greta lahir pada 3 Januari 2003 di Stockholm, Swedia. 

Ia berasal dari latar belakang keluarga seniman. Ibunya adalah seorang penyanyi opera dan ayahnya seorang aktor. 

Menurut informasi dari Britannica, Greta didiagnosis menderita sindrom Asperger sebagai bagian dari spektrum autisme (ASD). Kondisi ini membuatnya kesulitan dalam interaksi sosial.

Penderita Asperger cenderung memiliki fokus mendalam pada satu topik tertentu. Bagi Greta, fokus itu adalah perubahan iklim. Ketertarikannya terhadap isu ini bermula sejak ia berusia sekitar delapan tahun. 

Seiring bertambahnya usia, ia pun mulai mengubah gaya hidupnya menjadi vegan dan menolak bepergian dengan pesawat. Ia menilai keduanya sebagai kontributor signifikan terhadap emisi gas rumah kaca.

Greta mulai dikenal luas pada usia 15 tahun ketika ia mencetuskan gerakan "Fridays for Future" atau yang dikenal juga sebagai "Mogok Sekolah untuk Iklim". 

Pada tahun 2018, menjelang pemilu Swedia, ia memutuskan untuk mogok sekolah dan duduk di depan parlemen dengan membawa papan bertuliskan “Skolstrejk för Klimatet”.

Meski aksi pertamanya dilakukan seorang diri, jumlah peserta bertambah setiap harinya. Dalam waktu singkat, aksinya menyita perhatian dunia dan menginspirasi ribuan siswa di berbagai negara untuk melakukan hal serupa. 

Pemogokan serupa muncul di Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Finlandia, Prancis, hingga Belanda.

Suara Greta terus menggema di berbagai forum internasional. Ia pernah memberikan pidato di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, serta di hadapan parlemen Eropa dan sejumlah badan legislatif negara seperti Italia, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Salah satu pidato paling berkesan disampaikannya di acara iklim PBB di New York pada September 2019. Ia tiba dengan kapal layar tanpa emisi karbon dan menyampaikan kritik tajam terhadap para pemimpin dunia.

Pada bulan yang sama, jutaan orang dari 163 negara bergabung dalam aksi mogok iklim global, sehingga menjadikan seruan Greta sebagai pemicu gelombang kesadaran baru.

Kiprah Greta telah mengubah cara banyak orang memandang isu perubahan iklim. Pengaruhnya bahkan melahirkan istilah “Efek Greta”, yang merujuk pada dampak inspiratif gerakannya terhadap generasi muda.

Selain berdiri di podium-podium penting, ia juga menuangkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan, antara lain melalui buku No One Is Too Small to Make a Difference (2019) dan The Climate Book: The Facts and the Solutions (2023). 

Pada tahun 2020, kisah hidup dan perjuangannya berhasil diangkat ke dalam film dokumenter berjudul "I Am Greta".

Banyak orang menilai, semangat dan gagasan Greta menjadi pengingat bahwa masa depan bumi memerlukan keberanian dan keteguhan untuk terus bersuara.

Di tengah tantangan iklim yang semakin nyata, dunia butuh lebih banyak sosok seperti Greta Thunberg.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS