Tatkala Musisi Tongam Sirait Menyoal Status Pantai Passanggrahan Bung Karno, Parapat

Passanggrahan Bung Karno, Parapat. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Parapat - Di Istana Presiden—kini lebih dikenal dengan sebutan Passanggrahan Presiden Soekarno, Parapat—kami bersua kembali. Kalau dulu di pelataran seberang jalan raya yang menghadap Danau Toba, petang dua hari lalu di bibir pantainya. 

Tongam Sirait yang berpakaian training hendak berenang sehingga di lehernya melilit handuk. Tanpa alat bantu, seperti dikatakannya, ia bisa menggapai lintasan yang jauh bolak-balik. Wajarlah: dia kan anak danau! Pula, badannya yang kokoh telah kian berotot.

Bersama keponakan, Nico Silalahi, diriku sendiri saat itu sedang membugarkan badan dengan menapak cukup jauh hingga Marihat dan kemudian Pantai Atsari setelah begadang dua hari berturut serta dan menenggak tuak bergelas-gelas. 

Tongam, biduan-komponis yang digemari kawula belia Batak itu baru saja usai menghibur  para warga  DEL, Laguboti,  di Sigapiton yang bermuka-muka dengan Pulau Samosir di kejauhan. Sebelumnya ia  tampil juga di Pulau Jawa. 

musisi biduan tongam

 

Musisi-biduan Tongan Sirait (kiri). (Foto: Nico Silalahi)

Sudah saling mengenal kami sejak bocah. Dulu, kios minyak kami di pelabuhan Tigaraja berimpit dengan kediaman mereka. Tanah neneknya, Ompu Tiambun boru Hutapea, yang kami sewa belasan kalau bukan dua puluhan tahun.   Selain itu, abang semata wayangnya, Anggiat Sirait—teman sesekolahku di SMP Negeri Parapat.   

Kemarin kami tak hanya berfoto tapi juga bercakap. Putra Tuan Bos Sirait—Nan Tiambun boru Gurning  tak lupa menyoal pengelolaan pantai Istana Presiden selama ini.  

“Sebenarnya siapa yang punya pantai ini—negara bukan?” Pencipta lagu ‘Taringot Ahu’ dan ‘Welcome to Lake Toba’ bertanya dengan mimik serius. 

“Ya, negara. Pengelolanya Pemda Provinsi Sumatra Utara,” jawabku. 

“Kok bisa ya dijadikan selama ini seperti milik pribadi?" 

Tongam Sirait memang benar. Sudah lama kudengar dari sejumlah  kalangan di Parapat soal penguasaan laksana milik pribadi serta komersialisasi kawasan maha bersejarah yang terletak di Marihat. 

Sangat Bersejarah

Agresi militer Belanda yang ke-2 berlangsung pada 1947-1948. Klimaksnya adalah pengepungan Istana Negara, Yogyakarta, oleh aggresor itu  pada Desember 1948. Para pemimpin Indonesia mereka tawan termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. 

Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim mereka buang ke Brastagi, kota sejuk di pinggir Medan. Namun, tak sampai sebulan mereka di sana.

 

eceng gondok reinkarnasi

Eceng gondok dan hasil reklamasi (Foto:PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Sejak 4 Januari 1949 ketiga pemimpin bangsa telah berada di  sebuah bangunan bergaya vila yang didirikan kaum kolonial pada 1820 di Parapat. Barulah pada 6 Juli 1949, berkat Perjanjian Roem-Royen,   mereka  kembali ke ibukota Republik, Yogyakarta.

Selama bermukim di  rumah pengasingan Marihat Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diurusi oleh Penghulu Negara Sumatera Timur, Josef Tindaon,  dan kawan-kawannya sesama warga kitaran Parapat.

Di masa remajaku keluarga Slamet-lah yang mengurusi tempat bersejarah yang kami kenal sebagai Istana Presiden. Teman sesekolah kami di SMP Negeri Parapat, Slamet. Ia seorang pelari cepat. 

Setahuku, keluarga Jawa tersebut tak tergiur menguasai dan mengkomersialkan kawasan yang pernah menjadi ajang pementasan drama ‘Arga do Bona Pinasa’ oleh kelompok komponis Bonar Lumban Tobing. Kalau kami mau berenang di pantainya boleh saja. Tak  ada kutipan untuk apa pun. Kebersihannya selalu terjaga.

mntap gazebo brsjrah

 

Menatap kejauhan dari gazebo bersejarah. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Pantai Istana Presiden berpasir putih menghampar. Airnya jernih. Inilah tempat berenang terbaik di  kitaran Pante yang nama lainnya Marihat. Tapi, kalangan tertentu saja yang rajin menjambanginya  terlebih warga sekitar. Begitulah keadaan di masa diriku kanak-kanak hingga remaja.

Kini penampakan di tepi danaunya sudah sangat lain. Pasir putih sudah tiada. Kemungkinan akibat air danau yang naik terus belakangan setelah pintu bendungan ada yang ditutup PT Inalum.  Sebagai ganti pasir putih kini membentang kapling hasil reklamasi. Di sanalah tikar-tikar dibentangkan untuk tetamu datang. Terpal menaungi petak-petak itu. Sungguh sumpek dan elok, jadinya. 

Sekumpulan ombur-ombur’ atau ‘siombur’  [enceng gondok]  terombang-ambing oleh riak saat kami berada di sana.  Anak-anak muda yang sedang berenang tentu saja menjadi tak leluasa lagi bergerak olehnya. Tongam memerhatikan itu.

'Ai boha do siombur on, boasa dipasombu? [bagaimana eceng-gondok ini, kok dibiarkan?] Tongam Sirait bertanya ke seorang lelaki setengah umur yang melintas di sebelah kami. 

“Boanon ni alogo do annon i [angin akan membawanya nanti],” jawab sang petugas. 

Agak sengit juga Tongam mendengarnya. 

Penjaga passanggrahan ini sudah bukan keluarga yang dulu pernah diviralkan orang akibat kemataduitan dan keangkuhannya. Berganti orang pun, komersialisasi berlebihan masih berlanjut di sana. 

 

alam mmbtahkan pimpinan

Alam yang membetahkan pimpinan terbuang. (Foto:PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Entah mengapa realitas buruk yang sudah lama berlangsung ini tidak menjadi perhatian Pemda Sumut  sebagai si empunya mess sekarang. Wajar saja kalau ada dugaan bahwa pembiaran disengaja demi cuan [‘hepeng’]. Logikanya, jika tidak tentu mereka sudah lama bertindak. Semoga saja otoritas terkait di Pemda Sumut membaca tulisan ini.

Persoalan banyak di kitaran Marihat. Yang di pantai Istana Presiden salah satu saja. Yang lain termasuk penyerobotan tanah negara oleh pelbagai kalangan.  Aquarium yang di sebelah Telaga Biru, menurutku yang paling keterlaluan.

Di masa kecil dan remaja kami, tempat berair mancur di bagian depannya  ini menjadi destinasi penting. Pengunjung bisa menyaksikan puspa ikan Danau Toba di sana. Sibahut’ [lele],  ‘undalap’, ‘asasa, ‘ikkan sapet’ [sepat], porapora’, dan ikan mas termasuk. 

Entah bagaimana ceritanya, tempat ini dikuasai seseorang sampai sekarang. Katanya, ia dulu wartawan yang datang dari tempat lain. Aquarium bersejarah diratakannya dengan tanah. Sebagai gantinya, di sana dihadirkannya  bangunan berfungsi  sebagai rumah tinggal dan penginapan. Parkiran menhampar di depannya.

Sampai detik ini diriku tak kunjung bisa mengerti bagaimana aset negara bersejarah yang berfungsi sebagai fasilitas publik bisa dikuasai oleh perorangan yang berstatus warga pendatang.  Ke manakah gerengan negara? Mengapa otoritasnya sangat  jarang hadir di Marihat dan kawasan Parapat lainnya?

tongam gy galaw

 

Tongam yang galau akibat tanah kelahirannya kacau. (Foto:PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Diriku sangat ingin mendapatkan jawabannya. Kukira, Tongam Sirait dan orang kitaran Parapat lainnya, termasuk yang telah berdiaspora di tujuh penjuru dunia, demikian juga. ‘Boha do inna rohamuna. Toho do?’ [Bagaimana menurut Anda sekalian. Benarkah?]

Penulis: P. Hasudungan Sirait

Redaktur: Rin Hindryati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS