20 Tahun Bersama, Jokowi dan PDIP Retak di Puncak Kekuasaan

Jokowi dan Megawati dalam pembukaan Rakernas III PDI Perjuangan, Selasa (6/06/2023). (Foto: Instagram/presidenmegawati)

PARBOABOA – Desember 2024 menjadi saksi berakhirnya hubungan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Melalui surat yang diteken Ketua Umum DPP PDI-P, Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto, Jokowi beserta keluarganya, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, resmi dikeluarkan dari partai banteng hitam.

Pengumuman ini disampaikan Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP, Komarudin Watubun, di hadapan seluruh jajaran PDI Perjuangan se-Indonesia, Senin (16/12/2024).

Pemecatan tersebut dipicu langkah politik Gibran, yang menerima pencalonan sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Keputusan itu dianggap bertentangan dengan kebijakan partai yang telah menetapkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.

Momen tersebut menjadi klimaks dari hubungan yang kian tegang antara Jokowi dan PDIP. Padahal, perjalanan politik Jokowi sejak Wali Kota Solo hingga menjadi Presiden Indonesia selalu erat dengan dukungan PDIP.

Namun, menjelang Pemilu 2024, hubungan yang dulunya harmonis berubah menjadi perselisihan tajam, hingga akhirnya mencapai titik perpisahan.

Jokowi dan PDIP

Hubungan keduanya dimulai pada 2004, ketika Jokowi memutuskan untuk bergabung dengan PDIP. Saat itu, ia masih dikenal sebagai pengusaha mebel yang mencoba peruntungan di dunia politik.

Dengan dukungan partai, Jokowi terpilih menjadi Wali Kota Solo pada 2005. Gaya kepemimpinan yang unik membuatnya cepat mendapatkan perhatian publik. Sederhana, merakyat, dan sering terjun langsung, menjadi julukan Jokowi.

Jokowi-Rudy saat masih menjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo. (Foto: Solopos)

Banyak perubahan besar yang terjadi di Solo, salah satunya pemindahan pedagang kaki lima dari kawasan semrawut ke lokasi yang lebih tertata tanpa menimbulkan konflik besar.

Program revitalisasi pasar tradisional dan perbaikan tata kota juga menuai banyak pujian. Langkah-langkah visi kepemimpinan yang progresif membuatnya semakin populer hingga ke tingkat nasional.

PDP mulai memiliki keyakinan terhadap Jokowi yang dibuktikan dengan mengusungnya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Langkah ini bukan tanpa risiko, mengingat DKI Jakarta adalah pusat politik nasional dengan tantangan yang jauh lebih kompleks.

Namun, PDIP melihat momentum yang tepat untuk menempatkan Jokowi di panggung yang lebih besar. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jokowi kembali memenangkan pemilihan dengan cara mengesankan.

Jokowi dan Ahok saat menjabat Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta. (Foto: Jurnas)

Gaya kerja "blusukan" membuatnya semakin dikenal. Jokowi tidak segan untuk langsung turun ke lapangan, berbicara dengan warga, dan mencari solusi cepat untuk berbagai masalah.

Popularitasnya pun melesat, dan dalam waktu singkat, namanya menjadi simbol harapan baru di kancah politik Indonesia.

Melihat peluang besar, PDIP tidak membuang waktu untuk menjadikannya sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Strategi disusun matang guna merebut kembali kekuasaan nasional setelah satu dekade berada di luar pemerintahan.

Pencalonan Jokowi mendapatkan dukungan besar dari masyarakat. Ia dianggap sebagai sosok baru yang membawa angin segar dalam politik Indonesia, jauh dari kesan elitis dan formal yang melekat pada banyak politisi.

Kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 mengembalikan PDIP ke puncak kekuasaan. Hubungan keduanya semakin erat, Jokowi disebut sebagai simbol keberhasilan partai, sementara PDIP dianggap rumah politik yang berhasil membentuk menciptakan pemimpin nasional.

Jokowi bersama Jusuf Kalla. (Foto: setneg.go.id)

Selama masa awal kepemimpinannya sebagai presiden, Jokowi dan PDIP sangat harmonis. PDIP menjadi tulang punggung pemerintahan Jokowi, menguasai kursi penting di parlemen dan memberikan dukungan politik yang solid.

Dalam berbagai momen politik, Jokowi sering menunjukkan rasa hormat kepada Megawati, yang dianggapnya sebagai mentor dan figur sentral dalam karier politiknya.

Megawati pun tak segan memuji Jokowi sebagai kader terbaik partainya, seorang pemimpin yang berhasil membawa PDIP kembali berjaya di kancah nasional.

Keakraban ini terus terlihat hingga menjelang Pemilu 2019. PDIP kembali mengusung Jokowi untuk masa jabatan kedua bersama Ma’ruf Amin.

Jokowi dan Ma'ruf Amin. (Foto: Instagram/kyai_marufamin)

Kampanye berjalan sukses, dan Jokowi kembali terpilih sebagai presiden dengan perolehan suara yang signifikan. Masa-masa ini sering disebut sebagai puncak hubungan Jokowi dan PDIP, dengan keduanya saling mendukung untuk memperkuat posisi masing-masing di dunia politik.

Namun, di balik keakraban itu, mulai muncul tanda-tanda perbedaan pandangan. Salah satu momen penting adalah ketika Jokowi tidak diberikan peran strategis dalam struktur partai.

Meski menjadi presiden, Jokowi tetap berada di luar lingkaran kekuasaan internal PDIP, yang sepenuhnya dikelola oleh Megawati dan kader-kader dekatnya.

Banyak yang menilai bahwa ini adalah awal dari renggangnya hubungan Jokowi dengan PDIP, meski saat itu tidak tampak di permukaan.

Ketegangan dalam hubungan ini semakin jelas menjelang Pemilu 2024. PDIP secara resmi mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, sementara Jokowi tampak lebih dekat dengan koalisi yang mencalonkan Prabowo Subianto dan Gibran sebagai pasangan capres-cawapres.

Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka dalam sidang Kabinet Paripurna. (Foto: Sekretariat Kabinet)

Langkah politik Gibran, yang jelas bertentangan dengan garis partai, menjadi titik krusial yang akhirnya memecah hubungan Jokowi dan PDIP. Pemecatan Jokowi dan keluarganya dari PDIP menjadi akhir resmi dari perjalanan panjang yang dulu penuh keakraban.

Hubungan Jokowi dan PDIP, yang awalnya begitu harmonis, berakhir dengan perpecahan. Meski demikian, perjalanan ini tetap menjadi salah satu cerita paling menarik dalam sejarah politik Indonesia. Dari awal yang penuh harapan hingga akhir yang pahit, hubungan ini mencerminkan betapa dinamisnya dunia politik.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS