Pelajaran Hidup Beragama dari Sosok Paus Fransiskus

Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar mencium kening Paus Fransiskus (Foto: Instagram/@masjidistiqlal.official)

PARBOABOA, Jakarta - Pemimpin Gereja Katolik universal, Paus-Fransiskus telah meninggalkan Indonesia pada Jumat (06/09/2024) kemarin.

Ia kini dikabarkan sedang melanjutkan perjalanan apostolik ke Papua Nugini sebelum berangkat ke Timor Leste dan Singapura.

Di Indonesia, kedatangan Paus Fransiskus disambut hangat oleh seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan.

Mereka berbondong-bondong mengerumuni jalanan kota Jakarta, entah sekadar melihat sosok Fransiskus atau meminta doa dan berkat.

Di antara banyaknya pengalaman tersebut, salah satu momen yang menyisihkan perasaan haru adalah pertemuan antara Fransiskus dengan Imam besar Masjid-Istiqlal, Nasaruddin Umar.

Momen pertemuan keduanya terjalin dalam suasana persaudaraan yang mendalam. Fransiskus sendiri, pada kesempatan yang sama hendak menjumpai para petinggi lintas agama untuk menandatangani Dokumen Kemanusiaan.

Berhadapan dengan Nasaruddin dan seluruh pimpinan agama, Fransiskus menciptakan upaya penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi.

Indonesia sebagai negara yang multikultural diharapkan berperan sebagai teladan hidup persaudaraan, cinta kasih, dan perdamaian satu sama lain.

Nasaruddin sendiri mengonfirmasi, kunjungan Paus Fransiskus ke Masjid Istiqlal mencerminkan toleransi antarumat beragama.

Sejauh ini, masih banyak orang di berbagai belahan dunia yang menderita karena konflik. Dunia juga menghadapi krisis lingkungan yang mengancam kehidupan.

“Sehubungan dengan itu, pertemuan dan diskusi antara pemimpin agama sangat krusial untuk menemukan solusi terhadap pelestarian dan risiko kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Perwakilan Konferensi Wali Gereja (KWI), Monsinyur Tri Harsono menandai pentingnya kerukunan antarumat beragama demi kesejahteraan. 

Harsono juga menyebut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperbaiki lingkungan dalam krisis menghadapi iklim. 

“Seperti yang kita saksikan dalam beberapa dekade terakhir, dunia membayangkan dua krisis besar, yaitu dehumanisasi dan perubahan iklim,” ujarnya.

Menyikapi hal tersebut, para pemimpin agama bersepakat agar setiap individu bertindak sesuai dengan ajaran agama masing-masing. 

Mereka juga diminta untuk mengakui peran penting Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara dalam menjaga keharmonisan di Indonesia.

Pertemuan antara Paus Fransiskus dan pemimpin sepanjang agama berlangsung dalam suasana keakraban dan persaudaraan yang hangat.

Di sesi akhir, Paus dan Imam Nasaruddin saling berpelukan. Paus mencium tangan sang imam, yang kemudian dibalas dengan mencium di kening pimpinan Gereja Katolik itu. 

Pemandangan tersebut mendapat perhatian dan sorotan luas. Associated Press , sebuah media asal Amerika Serikat (AS) bahkan menyebut pertemuan keduanya sebagai bentuk dialog yang indah.

"Keduanya mengeluarkan ajakan bersama untuk memperkuat hubungan antaragama, yang merupakan inti dari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia," tulis situs tersebut

Toleransi dan Perdamaian

Pertemuan Paus Fransiskus bersama para petinggi lintas agama membawa pesan khusus terkait pentingnya toleransi dan perdamaian.

Keterbukaan untuk mendengarkan dialog, membangun percakapan, dan mencari jalan keluar bersama adalah ikhtiar untuk mencapai toleransi antara umat beragama.

Casram (2016) menyebutkan bahwa toleransi mengacu pada sikap keterbukaan, kerelaan, dan kelembutan dalam menjalani kehidupan bersama. 

Sikap toleransi antarumat beragama sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat yang memiliki berbagai latar belakang agama. 

Tanpa toleransi, mustahil kehidupan bersama dapat berjalan dengan baik. Dengan kata lain, toleransi hanya dapat terbentuk danaikata orang mampu menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan.

Terpisah, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Otto Gusti Madung dalam sebuah kesempatan kuliah menyebut, toleransi sebagai kemampuan berempati terhadap perbedaan.

“Sikap ini memberikan ruang bagi setiap keyakinan untuk hidup berdampingan dengan tetap saling menghormati, tanpa menafikan adanya perbedaan,” ujar Otto 2020 lalu.

Sebab, lanjutnya, "perbedaan merupakan entitas yang terberi. Ia hadir dan menyatu dengan kehidupan manusia, tanpa kecuali."

Fenomena keberagamaan dalam diri individu maupun kelompok menjadi hal yang alami dan lumrah. Individu perlu memahami dan membangun sikap saling menghormati satu sama lain.

Sikap toleran yang dibangun Paus Fransiskus bersama para pimpinan lintas agama hendak meretas klaim-klaim negatif seputar kebenaran, surga, dan neraka yang kerap disalahartikan oleh publik.

Dengan membangun toleransi, mereka bersepakat untuk mengedepankan perdamaian. Bahwasannya damai lebih indah dari konflik. Kawan lebih baik dari lawan. Dan agama selalu berperan sebagai payung yang menampung setiap perbedaan. 

Pekerjaan Rumah 

Kunjungan apostolik Paus Fransiskus dan pertemuannya bersama para pemimpin lintas agama, menyisihkan sebuah pertanyaan penting terkait sejauh mana kehidupan toleransi di Indonesia.

Konflik dan ketegangan antar kelompok agama masih menjadi persoalan serius di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. 

Meski Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan adanya penurunan potensi radikalisme dan terorisme, kasus kekerasan antara umat beragama terus terjadi. 

Menurut laporan Setara Institute, pada tahun 2022 terjadi 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, atau meningkat dibandingkan tahun 2021 yang mencatat sebanyak 318 kasus.

Beberapa contoh konflik antaragama di Indonesia meliputi peristiwa di Poso (1999-2000), konflik Ambon (1999), Tolikara (2015), dan Lampung (2012). 

Puluhan bahkan ratusan nyawa menjadi korban dari konflik horizontal antarumat beragama. Belum lagi, bangunan dan kendaraan yang rusak tak terhitung jumlahnya. 

Lebih lanjut, berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sejumlah kasus penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah juga sering terjadi. 

Misalnya, pada Maret 2023, terjadi penolakan terhadap pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur. 

Sebulan berselang, terjadi penutupan terhadap Gereja Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Jawa Barat. Peristiwa yang sama terjadi atas Gereja Kristen Jawa di Banjarsari pada Juni 2023.

Kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas juga terus terjadi di Indonesia, seperti penutupan patung Bunda Maria di Yogyakarta dan larangan terhadap kegiatan Doa Rosario di Tangerang. 

Konflik-konflik ini sering kali dipicu oleh perbedaan budaya dan keyakinan individu dalam memahami nilai-nilai ketuhanan.

Dampaknya tentu sangat merusak. Konflik tersebut sering kali menyebabkan hilangnya persatuan dan kesatuan, serta menciptakan ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang mengganggu kesejahteraan sosial. 

Selain itu, tatanan sosial menjadi terganggu, sehingga mempengaruhi struktur dan fungsi norma masyarakat. 

Lebih jauh lagi, konflik agama dapat membahayakan stabilitas negara, menjamin keselamatan dan kesejahteraan umum.

Upaya untuk menjaga dialog dan pemahaman antarumat beragama sangat penting untuk mencegah dan menyelesaikan konflik serupa.

Pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan konflik beragama, antara lain melalui pencegahan dan pembubaran organisasi massa yang dinilai radikal. 

Di samping itu, penanaman nilai toleransi melalui program Moderasi Beragama gencar dilakukan pemerintah di setiap satuan pendidikan guna menanamkan penghargaan dalam diri para siswa.

Langkah strategi lain seperti dialog, sosialisasi, penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga dilakukan untuk menumbuhkan toleransi dan perdamaian.

Lalu, bagaimana memaknai kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia? Apa makna mencium Imam Nasaruddin dan Paus Fransiskus di depan Masjid Istiqlal? Adakah sesuatu yang perlu dijadikan panduan hidup?  

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS