Pelemahan Mata Uang Global: Yen dan Rupiah Terdepresiasi Dolar AS

Ilustrasi mata uang rupiah. (Foto: Freepik)

PARBOABOA, Jakarta - Sepekan terakhir, sejumlah mata uang di dunia mengalami pelemahan atau depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pelemahan mata uang ini menjadi peristiwa yang selalu dihindari setiap negara.

Oleh karenanya, pemerintah masing-masing negara mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menguatkan nilai mata uang dalam negeri mereka.

Misalnya saja mata uang yen Jepang yang pada Jumat (28/6/2024) kemarin mengalami depresiasi terlemah sejak 1986.

Dilansir dari Bloomberg, yen diperdagangkan di level 161,27 per dolar AS atau melemah 0,3 persen dibandingkan perdagangan Kamis, 27 Juni 2024.

Adapun penyebab yen berada di level terendah dalam 38 tahun terakhir karena besarnya perbedaan suku bunga.

Kemudian greenback atau cadangan dominan ekonomi global, yaitu mata uang utama yang dipegang bank sentral dunia yang terus menekan mata uang Jepang.

Penguatan greenback ini terjadi menjelang rilis data inflasi PCE AS dan debat pertama calon Presiden AS.

Melansir Bloomberg, Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki mengaku sangat prihatin dengan dampak pergerakan mata uang yang cepat dan sepihak terhadap perekonomian.

Pemerintah Jepang, kata Suzuki, terus mengamati perkembangan pasar dengan kewaspadaan yang tinggi.

Jepang dilaporkan menghabiskan rekor 9,8 triliun yen Jepang selama putaran intervensi terakhirnya pada 29 April dan 1 Mei silam.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya depresiasi mata uang di berbagai negara. Seperti:

1. Lemahnya Fundamental Ekonomi

Negara dengan fundamental ekonomi yang lemah, seperti inflasi tinggi dan defisit transaksi berjalan yang sangat serius biasanya memiliki mata uang yang terdepresiasi.

Namun, jika ada kebijakan yang dilakukan secara bertahap dan teratur, akan mampu meningkatkan daya saing ekspor suatu negara sehingga mampu memperbaiki defisit perdagangannya 

2. Menghindari Risiko di Kalangan Investor

Di beberapa negara, para investor akan merasa takut jika terjadi depresiasi mata uang yang cukup besar dan secara tiba-tiba.

Investor, biasanya menghindari risiko akan nilai mata uang yang semakin terpuruk dan mengambil keputusan untuk menarik investasinya.

3. Perbedaan Kelonggaran Suku Bunga Kebijakan Moneter dan Tingginya Inflasi

Dua faktor ini menjadi biang kerok terjadinya depresiasi mata uang.

Perbedaan suku bunga diprediksi akan berpotensi menyebabkan depresiasi mata uang di berbagai negara.

Bank sentral pun biasanya akan meningkatkan suku bunga untuk mengatasi tingginya inflasi

4. Tingginya Biaya ekspor

Inflasi yang tinggi juga bisa menyebabkan biaya input ekspor meningkat dan berujung pada depresiasi mata uang.

Tingginya inflasi juga membuat kegiatan ekspor suatu negara menjadi kurang kompetitif di pasar global. Termasuk menjadi penyebab defisitnya perdagangan.

5. Retorika Politik

Tak bisa dipungkiri, retorika politik menjadi salah satu penyebab jatuhnya mata uang di suatu negara.

Misalnya cekcok antar Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China tentang nilai mata uang masing-masing negara di periode 2015-2016.

Rupiah Juga Alami Depresiasi

Selain yen Jepang, mata uang Indonesia, rupiah juga mengalami nasib serupa.

Mata uang garuda ini telah menembus level yang sama dengan era krisis moneter (krismon) atau krisis keuangan dan ekonomi pada 1997-1998.

Di periode itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp16.800, dari sebelumnya Rp7.300 pada akhir November 1998 dan Rp4.650 pada akhir 1997.

Melansir Bloomberg, analis keuangan menyebut, pelemahan rupiah akan memberikan tekanan kepada Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan intervensinya.

Sementara Pengamat Ekonomi dari Universitas Sumatra Utara (USU), Gunawan Benjamin membantah kondisi yang dialami rupiah tersebut.

Meski seperti periode 1997-1998 dimana rupiah menyentuh angka lebih dari Rp16 ribu per dolar AS, namun Gunawan menilai, hal itu bukanlah indikator pelemahan mata uang garuda.

Menurutnya, jika bicara mengenai resesi atau krisis ekonomi, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi hingga -2,07 persen saat pandemi COVID-19, 2020 lalu.

Saat itu pula, rupiah juga melemah dan menyentuh angka Rp16.300 per dolar AS.

"Secara kuartalan yang resmi, sudah menunjukkan Indonesia masuk dalam jurang resesi," katanya kepada PARBOABOA, belum lama ini.

Gunawan menambahkan, rupiah bisa saja menguat seandainya Bank Sentral AS, The FED benar-benar memangkas besaran bunga acuannya.

"Atau setidaknya memberikan gambaran kapan pemangkasan tersebut," imbuhnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS