PARBOABOA, Jakarta-Ketika berbicara tentang sekolah agama, mungkin yang terbayang di benak banyak orang adalah suasana yang penuh doa, pelajaran agama, dan nilai-nilai moral.
Namun, pernahkah kita berpikir, bagaimana mereka menangani topik-topik seperti pendidikan seksual? Ini adalah pertanyaan yang seringkali dihindari. Apakah sekolah agama siap menghadapinya?
Sajian Utama yang diterbitkan oleh Parboaboa bertajuk "Kekerasan Seksual di Sekolah Agama" pada Senin, 16 September 2024, menunjukkan bahwa masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan dalam sistem pendidikan sekolah agama ini, termasuk dalam penerapan kurikulumnya.
Pendidikan seksual sering dianggap tabu di banyak sekolah agama. Berbicara tentang seksualitas dengan anak muda dipandang "tidak pantas" atau bahkan "merusak moral."
Namun, penting untuk dipahami bahwa pendidikan seksual bukan hanya soal seks. Ini adalah tentang mengenali tubuh, kesehatan reproduksi, dan bagaimana menjaga diri.
Sayangnya, di Indonesia, pendidikan seksual belum menjadi prioritas di sekolah agama.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), hanya sekitar 30% sekolah di Indonesia yang memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum resmi mereka, dengan persentase yang lebih rendah untuk sekolah agama.
Padahal, mengabaikan pendidikan seksual dapat membawa dampak serius. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 5.000 kasus kekerasan seksual pada tahun 2023, banyak diantaranya melibatkan remaja.
Kekerasan ini tidak hanya terjadi di luar lingkungan sekolah, tetapi juga di dalamnya. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak, malah bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan jika pengetahuan tentang pencegahan dan perlindungan tidak diajarkan.
Banyak negara telah menunjukkan bahwa pendidikan seksual dan pendidikan agama bisa berjalan beriringan.
Malaysia dan Mesir, misalnya, menggabungkan perspektif agama dalam pendidikan seksual mereka, menekankan nilai-nilai moral dan etika yang sesuai dengan ajaran agama.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa agama dan pendidikan seksual tidak harus bertentangan; keduanya bisa saling mendukung dalam menciptakan generasi yang lebih sadar dan beretika.
Tantangan di Lapangan
Namun, penerapan pendidikan seksual di sekolah agama Indonesia tidaklah mudah. Persepsi bahwa pendidikan seksual bertentangan dengan ajaran agama adalah salah satu tantangan terbesar.
Banyak guru tidak terlatih untuk mengajarkan pendidikan seksual dengan perspektif agama. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk menghindari topik ini. Ini adalah sebuah celah besar dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Untuk mengatasi ini, diperlukan kurikulum yang harmonis, yang tidak hanya mengajarkan tentang kesehatan reproduksi, tetapi juga menekankan nilai-nilai agama dan moral.
Contoh pendekatan ini sudah mulai terlihat di beberapa sekolah yang dikelola oleh organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Mereka mulai memperkenalkan pendidikan seksual dengan cara yang lebih bijaksana, menekankan pentingnya memahami batasan diri dan menghormati orang lain.
Kabar baiknya juga, sekolah-sekolah agama di Indonesia mulai bergerak ke arah ini.
Pondok Pesantren Al-Azhar di Jawa Timur, misalnya, telah mengembangkan program pendidikan seksual yang menggabungkan ajaran Islam dengan pengetahuan kesehatan modern.
Mereka mengadakan sesi khusus tentang pubertas, kesehatan reproduksi, dan penghargaan terhadap hak-hak individu.
Program ini melibatkan orang tua dan komunitas, memastikan bahwa pendidikan seksual tidak hanya berhenti di sekolah.
Sesungguhnya, pendidikan seksual di sekolah agama bukan hanya soal pengetahuan dasar, tetapi juga soal kesadaran, empati, dan keberanian.
Anak-anak perlu tahu hak-hak mereka dan bagaimana melindungi diri mereka dari bahaya. Ini bukan hanya soal menjadi "baik" secara moral, tetapi juga soal keselamatan dan kesejahteraan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya. Ini termasuk hak untuk mengetahui dan memahami hak-haknya sendiri.
Mengintegrasikan pendidikan seksual dengan nilai-nilai agama bisa menjadi salah satu cara untuk memenuhi hak ini, sesuai dengan Pasal 54 yang menekankan bahwa perlindungan anak juga harus mencakup pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang bahaya kekerasan dan eksploitasi seksual.
Dengan demikian, pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dapat membantu anak-anak memahami hak-haknya tanpa mengorbankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh komunitas agama.
Karena itu, pendidikan seksual di sekolah agama tidak hanya tentang memberikan informasi. Lebih dari itu, langkah ini adalah tentang mempersiapkan anak-anak untuk menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab, sadar akan hak-hak mereka, dan mampu menghormati hak orang lain.
Jika kurikulum pendidikan seksual diintegrasikan dengan benar, sekolah agama dapat menjadi tempat yang aman dan mendidik bagi semua siswa.
Selain itu, diperlukan dukungan dari pembuat kebijakan, pendidik, dan masyarakat luas untuk melihat pendidikan seksual sebagai bagian penting dari pendidikan karakter yang lebih besar.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan; ini adalah soal membentuk karakter dan masa depan anak-anak.
Editor: Norben Syukur