Pengamat Soroti Aspek Psikologi di Balik Kasus Penipuan Tiket Konser Coldplay

aspek psikologi di balik penipuan tiket konser Coldplay. (Foto: istock/@zhanna)

PARBOABOA, Jakarta - Jejak penipuan Gischa Debora Aritonang (19) akhirnya terbongkar. Mahasiswi Univeritas Trisakti itu kini harus berurusan dengan aparat kepolisian.

Gischa ditetapkan sebagai tersangka pada 17 November lalu, setelah terjerat kasus penipuan tiket konser Coldplay hingga Rp15 Miliar.

Nama Gischa memang ramai disorot warganet beberapa hari ini. Banyak yang tak habis pikir, di usianya yang masih remaja, Gischa bisa senekat itu.

Urusan jualan tiket konser rupanya bukan barang baru bagi Gischa. Hal ini terkonfirmasi dari keterangan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo, saat menggelar jumpa pers pada Senin (20/11/2023).

Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, kata Susatyo, bahkan sering menjadi reseller tiket konser artis internasional sejak 2022 lalu.

Pengalaman inilah yang membuat Gischa yakin bahwa ia mampu memenuhi ekspektasi para pembeli untuk mendapatkan tiket konser band rock asal Inggris itu.

"Biasanya, menurut keterangan tersangka, tiket itu bisa didapatkan. Namun, kali ini ia tidak dapat memenuhi janjinya,"  ungkap Kombes Pol Susatyo.

Aksi penipuan ini berawal pada Mei 2023 lalu. Saat itu, Gischa sempat membeli 39 tiket melalui war tiket. Ia kemudian menjual kembali tiket tersebut ke reseller dengan keuntungan Rp250 ribu per tiket. 

Nilai keuntungan yang cukup fantastis ini membuat Gischa gelap mata. Ia seakan yakin, akses untuk mendapatkan tiket bukanlah perkara sulit, meski war tiket konser Coldplay sudah berakhir.

Kepada para korban, Gischa mengaku punya 8.000 tiket yang ia dapat lewat jaringan orang dalam. Ia berdalih, tiket tersebut adalah tiket komplimen, yang nantinya diberikan menjelang konser.

Para korban tak berpikir panjang. Mereka ternyata nekat merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk menjadi reseller tiket konser Coldplay yang dibeli dari Gischa.

Menurut Susatyo, sejak berakhirnya war tiket pada bulan Mei, para pemesan dari berbagai kelas justeru semakin bertambah hingga menjelang konser Coldplay pada Rabu (15/11/2023). 

“Terhitung 2.268 tiket yang dipesan,” ungkap Susatyo.

Setelah uang para reseller terkumpul, Gischa langsung jalan-jalan ke Belanda. Hal ini diketahui setelah penyidik menyita paspor Gischa.

Selama periode Mei hingga November, mahasiswi kelas internasional ini juga membeli barang-barang branded senilai Rp600 juta. Sementara untuk keperluan pribadinya sebesar Rp2 miliar.

Sejak keberangkatannya ke Belanda pada Mei lalu itu, para reseller yang sudah bayar tidak bisa lagi menghubungi Gischa. Sementara, order dari end user terus berdatangan. Para reseller melayani, pembayaran pun diterima. 

Hari konser kian dekat,  Gischa masih tak bisa dihubungi. Reseller mulai panik. Beberapa hari menjelang konser, ada reseller yang mengumumkan ke medsos X bahwa mereka ditipu Ghisca dengan modus penjualan tiket konser komplimen.

Kabar tersebut menghebohkan publik. Beberapa reseller pun mendatangi Polres Metro Jaya untuk melaporkan Ghisca. Mereka mengaku dirugikan, reputasi pun hancur di mata pembeli.

Ghisca kini terancam hukuman 4 tahun penjara dan dikenai Pasal 378 dan Pasal 372.

Sementara, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sedang menelusuri perputaran uang hingga Rp 40 miliar di rekening Ghisca.

Perputaran uang tersebut paling banyak terdeteksi pada bulan Mei-November 2023. Bahkan, jumlah mutasi rekening milik Ghisca di atas Rp 30 miliar pada medio tersebut.

Perkara penipuan sepertinya tak hanya soal tiket konser Coldplay. Ghisca pasalnya kerap menipu orag tuanya terkait perkuliahan.

Kepala Humas Universitas Trisakti, Dewi Priandini, bahkan menyebut orang tua Ghisca sering ngoceh ke kampus dan menganggap tidak bisa mendidik Gischa.

Padahal, kata Dewi, tabiat buruk Ghisca sudah diketahui para dosen sejak awal masuk kuliah. Ia juga sering bolos hingga tidak mengambil sistem kredit semester (SKS) sesuai ketentuan.

Pengamat Soroti Apek Psikologis 

Dari aspek Psikologi, aksi penipuan secara umum biasanya dipicu oleh sejumlah faktor. Pakar Psikologi Indra Yohanes Kiling menyoroti tiga motif utama.

Pertama, motif untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Hal  ini bisa berupa keuntungan finansial, status sosial, atau kepuasan pribadi. 

“Misalnya, seseorang mungkin merasa bahwa dengan menggunakan taktik penipuan, mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih cepat atau efisien daripada melalui cara-cara yang jujur,” kata Indra kepada PARBOBOA, Minggu (26/11/2023).

Namun, Indra menekankan, motivasi tersebut tidak selalu berasal dari ketidakmampuan memperoleh sesuatu dengan cara yang sah, tetapi muncul karena dorongan kuat untuk meraih hasil yang diinginkan dengan menggeser norma atau etika.

Dalam konteks ini, kondisi lingkungan dan tekanan sosial turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan penipuan.

Menurutnya, ketika seseorang merasa tertekan atau tidak mampu mencapai tujuannya dengan cara yang sehat, mereka mungkin cenderung memilih jalur penipuan sebagai solusi cepat.

Kedua, motif untuk melindungi diri. Penipuan sebagai tindakan untuk melindungi diri, kata Indra, muncul sebagai fenomena yang kompleks dalam konteks psikologi. 

Dalam pemahaman ini, individu cenderung menggunakan strategi penipuan sebagai bentuk pertahanan atau cara untuk mengatasi ancaman terhadap diri mereka sendiri.

“Misalnya, seseorang mungkin merasa terancam oleh konsekuensi negatif jika kebenaran terungkap, dan sebagai respons, mereka memilih jalur penipuan sebagai bentuk perlindungan diri,” kata dia.

Hal tersebut, demikian Indra, tidak terlepas dari pola asuh orang tua dan keluarga saat para pelaku masih di usia anak-anak. 

“Anak yang terbiasa berbohong untuk melindungi diri atau untuk mendapat yang dia mau, akan punya tendensi  menipu di masa depan,” jelasnya.

Ketiga, untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Indra menjelaskan, dalam perspektif psikologi, motif inii seringkali muncul dari ketidakpuasan, dendam, atau hasrat untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain.

Menurutnya, seseorang yang merasa tidak puas dengan keadaan atau hubungan dapat menggunakan penipuan sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap orang lain.

“Dalam beberapa kasus, tindakan ini mungkin menjadi bentuk balas dendam terhadap individu atau kelompok tertentu,” papar dosen Psikologi Universitas Nusa Cendana Kupang itu.

Dalam konteks kasus penipuan yang dilakukan Gischa, ia menyoroti aspek reward sebagai faktor penting yang mendorong seseorang melakukan penipuan.

“Besarnya reward juga faktor penting, walau tidak terbiasa berbohong/menipu, ketika datang kesempatan yang bisa mendatangkan uang yang besarnya belum pernah terbayangkan sebelumnya, bisa diambil kesempatan menipu itu,” kata Indra.

Karena itu, menurut Indra, perlu keterlibatan semua pihak, tak hanya dari keluarga tetapi juga dari lingkungan pendidikan, untuk bisa meminimalisir tindakan semacam ini.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS