Penyegelan Masjid Ahmadiyah Nyalindung: Bukti Diskriminasi dan Intoleransi Beragama Masih Terjadi

Penyegelan bangunan yang dilakukan Satpol PP Kabupaten Garut. (Foto: Satpol PP Garut)

PARBOABOA, Jakarta - Diskriminasi terhadap kebebasan beragama, utamanya terhadap kaum minoritas masih marak terjadi di Indonesia.

Padahal, Undang-Undang Dasar 1945, utamanya Pasal 28E ayat (1) menjamin setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing.

Selain UUD 1945, hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing juga dijamin dalam Pasal 18 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCIPS).

Adapun insiden diskriminasi dan intoleransi yang terjadi baru-baru ini yaitu penyegelan masjid milik jemaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, oleh Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Kejadian tersebut berlangsung Selasa, 5 Juli 2024 malam.

Saat itu, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Garut menutup paksa Masjid Ahmadiyah yang berlokasi di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Garut.

"Kami mendesak pihak berwenang di Garut segera mencabut penyegelan tempat ibadah dan menghentikan segala bentuk diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah," ungkap Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia.

Amnesty menilai, kebebasan beragama merupakan hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi negara tanpa terkecuali.

Selain itu, setiap warga negara juga berhak menjalankan ibadah agamanya tanpa takut didiskriminasi, diintimidasi atau diancam.

"Negara harus memastikan hak konstitusional Jemaah Ahmadiyah dilindungi dan dihormati," tegas Usman Hamid.

Kronologi Penyegelan Masjid Ahmadiyah Nyalindung

Insiden penutupan paksa masjid milik Jemaah Ahmadiyah di Nyalindung, Garut bermula dari audiensi organisasi masyarakat (ormas) atas nama Gerakan Anti Ahmadiyah (Geram). Mereka menolak keberadaan masjid dan jemaah Ahmadiyah.

Setelah audiensi, kemudian dilakukan rapat koordinasi terkait jemaah Ahmadiyah di ruangan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Garut. Malamnya, Satpol PP Garut baru bergerak menyegel masjid.

Insiden ini mengisyaratkan bahwa diskriminasi masih terus terjadi.  Padahal, masyarakat Nyalindung tidak keberatan terhadap keberadaan masjid dan jemaah Ahmadiyah.

Mereka hidup berdampingan dan damai dengan warga sekitar Nyalindung sejak 1970, hingga saat ini.

Ratusan Kasus Intoleransi di Indonesia Sejak 2021

Data Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 121 intoleransi yang terjadi, sebelum insiden peristiwa penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut.

Kasus intoleransi yang terjadi sejak Januari 2021 hingga Mei 2024 ini di antaranya pelarangan, penolakan, penutupan, hingga perusakan rmah ibadah.

Termasuk penyerangan dan intimidasi terhadap umat yang beragama minoritas.

Pelakunya, sebagian besar berasal dari aparat negara, warga maupun organisasi masyarakat.

Berikut beberapa kejadian diskriminasi dan intoleransi yang terjadi di Indonesia sepanjang 2021-2024:

1. Penolakan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Dusun Krajan, Desa Sraten, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur pada 3 Juni 2021.

2. Pembongkaran tiang masjid Taqwa Muhammadiyah oleh Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh pada 12 Juli 2022. Alasan pembongkaran karena masjid didirikan tanpa memilli izin mendirikan bangunan (IMB).

3. Pembubaran paksa acara Jalsa Salanah Jemaah Ahmadiyah Indoensia (JAI) di Telaga Ngebel, Kabupaten Pronorogo, Jawa Timur. Kejadian ersebut terjadi pada 5 Januari 2024.

4. Penolakan pembangunan sebuah vihara oleh warga di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, 2 April 2024. Penolakan ini karena pembangunan vihara dianggap belum memenuhi syarat dan tidak sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah daerah.

5. Penyerangan terhadap sekelompok mahasiswa Katolik yang sedang beribadah doa Rosario di Tangerang Selatan, Banten. Peristiwa terjadi pada 5 Mei 2024. Alasan warga saat itu, ibadah dari mahasiswa Katolik ini menganggu kenyamanan mereka.

 

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS