PARBOABOA - Dalam beberapa pekan terakhir, kasus pemerkosaan dan pelecehan yang menimpa kaum Hawa semakin marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Entah apa yang terjadi di “Negeri Tercintaku” ini, sehingga berbagai kabar kekerasan seksual seperti tak ada habisnya. Kejahatan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditolelir karena dapat meninggalkan beban psikologis dan kesehatan pada korbannya.
Beragam kasus pemerkosaan bak langganan pemberitaan di berbagai media massa, baik itu dalam bentuk surat kabar maupun daring.
Riset sederhana dapat dilakukan dengan mengetikkan kata kunci “pemerkosaan” di mesin pencarian google, maka muncul hasil sebanyak 11,6 juta.
“Pencabulan” dengan 3,7juta hasil. “Cabul”, sebanyak 9 juta hasil, hingga “perkosa” dengan 21 juta hasil.
Per Oktober 2021 saja ada sekitar 4.500 kasus kekerasan yang diadukan pada Komnas Perempuan.
Itu artinya, hanya dalam jangka waktu sepuluh bulan, ada belasan kasus kekerasan seksual yang terjadi per harinya di bumi pertiwi Indonesia.
Sedangkan pada anak-anak, kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual dengan persentase sebesar 45%, kekerasan psikis 19% dan kekerasan fisik sekitar 18%.
Angka-angka tersebut berhasil dirangkum dari orang-orang yang mengadu, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berani mengadu perihal takut akan dikecam, dijauhi dan dikucilkan oleh lingkungan?
Kejahatan yang paling dikutuk
Rasa geram, kesal dan marah bercampur aduk saat melihat berbagai berita mengenai kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.
Bahkan publik sudah dibuat murka dengan tiga kasus kekerasan seksual yang terjadi di awal bulan Desember ini, kasus yang mencuat ke permukaan dan viral setelah berakibat fatal.
#1 Mahasiswi bunuh diri lantaran depresi setelah diperkosa dan dipaksa aborsi oleh sang pacar
Kasus pertama dialami seorang mahasiswi bernama Novia Widyasari, yang viral setelah korban bunuh diri.
Lihat kronologi lengkap disini.
#2 Guru pesantren hamili belasan santri
Kasus kedua datang dari lingkungan pendidikan keagamaan, yakni perkosaan terhadap 12 santriwati yang dilakukan oleh pemilik pesantren di Bandung bernama Herry Wirawan.
Awalnya memang 12 orang, namun setelah pengembangan kasus, ternyata ada total 21 santriwati yang menjadi korban perkosaan keji sang guru.
21 santriwati tersebut berumur 13-16 tahun saat diperkosa dan 8 diantaranya sudah melahirkan 9 bayi.
Mirisnya, anak hasil perkosaannya tersebut juga diekploitasi Herry untuk mencari sumbangan. Sungguh biadap!
#3 Belasan pria memperkosa dan menjual anak dibawah umur
Kasus ketiga datang dari Aceh, yang mana seorang gadis di bawah umur menjadi korban pemerkosaan oleh 14 pria dan disekap di kamar selama 2 hari. Tidak terbayang bagaimana rasa trauma yang dialami korban.
Anehnya, kasus yang hampir serupa juga pernah terjadi pada 2016 silam, namun dari daerah yang berbeda, yakni Bengkulu.
Dalam tragedi tersebut, seorang gadis bernama Yuyun (14) diperkosa secara bergilir oleh 14 pria hingga meninggal.
Para pelaku membuang tubuh korban ke jurang sedalam 5 meter dan menutupinya dengan dedaunan.
Tragedi tersebut sempat menjadi sorotan dunia yang memperlihatkan jika negara Indonesia darurat kekerasan seksual.
Bahkan baru-baru ini sebuah media asing juga mewartakan hal yang sama.
Los Angel Times merilis sebuah artikel berjudul “An Indonesian girl’s gang rape and murder sparked calls for change Things only got worse” yang menggambarkan berbagai kisah diskriminasi dan pelanggaran HAM yang didapati perempuan di Indonesia.
Sering dijadikan sebagai objek seksual dan target kriminal
Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita kerap kali dijadikan objek seksual, terlebih pada beberapa media yang mempertontonkan para wanita agar dapat menarik minat audiensnya.
Karena menurut kelompok tertentu, keindahan yang terdapat dalam tubuh seorang wanita merupakan sesuatu yang memiliki nilai jual.
Objektifikasi seksual terjadi saat bagian tubuh diperlakukan layaknya objek yang bisa “dinikmati” lewat tatapan mata, atau bahkan sentuhan.
Meskipun laki-laki dapat mengalami hal tersebut, namun perempuan memiliki kecenderungan yang lebih besar diperlakukan demikian dan pada kenyataannya memang umum terjadi pada kalangan perempuan.
Berdasarkan penilitian yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science, menjelaskan bahwa masyarakat cenderung menilai seorang perempuan hanya melalui penampilan dan mengesampingkan hal lain seperti kepribadian dan kecerdasan.
Dikutip dari kompas, maraknya kasus pemerkosaan disebabkan oleh adanya budaya patriarki dalam masyarakat.
Budaya yang cenderung menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Selain sering dijadikan sebagai objek seksual, perempuan juga cenderung dijadikan target kriminal.
Kriminalitas dapat terjadi dimanapun, kapanpun dan dapat menimpa siapapun.
Akan tetapi, para pelaku kriminal kerap kali menjadikan perempuan sebagai target aksi mereka, karena beranggapan bahwa perempuan sangat lemah dan mudah untuk dieksekusi tanpa perlawanan.
Alibi pakaian yang “mengundang”
“Salah sendiri kenapa make baju ketat/terbuka”
“Ga ada kucing yang menolak dikasih ikan”
Itulah kalimat yang sering ditemukan di berbagai perdebatan yang ada pada sosial media maupun forum-forum sharing mengenai kasus pelecehan seksual.
Terkadang, kasus pelecehan seksual malah menyalahkan pihak perempuan (korban) karena pakaian yang mereka pakai dianggap “mengundang” tindakan tak terpuji tersebut.
Sayangnya, anggapan tersebut terbantah saat Koalisi Ruang Publik Aman memaparkan hasil survey (17/7/2019) yang menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari.
Survey tersebut memperlihatkan pakaian model seperti apa yang dikenakan perempuan saat mengalami pecelehan seksual.
Ada 19 jenis pakaian yang terpotret dalam survey tersebut dan diikuti 32.341 responden, diantaranya:
- Rok atau celana panjang 17,47%
- Baju lengan panjang 15,82%
- Baju seragam sekolah 14,23%
- Baju longgar 13,80%
- Berhijab pendek/sedang 13,20%
- Baju lengan pendek 7,72%
- Baju seragam kantor 4,61%
- Berhijab panjang 3,68%
- Rok atau celana selutut 3,02%
- Baju/celana ketat 1,89%
- Rok atau celana pendek 1,31%
- Turban/tutup kepala 0,70%
- Lainnya 0,54%
- Jaket 0,50%
- Celana jeans 0,46%
- Baju agak transparan 0,44%
- Tank top/tanpa lengan 0,36%
- Berhijab dan bercadar 0,17%
- Dress 0,08%
Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual.
"Korban yang berhijab sekitar 17%, merupakan jumlah gabungan antara hijab pendek dan hijab panjang," ujar Rika selaku pendiri kelompok peREMPuan, pada Selasa (23/7/2019).
Hasil survei juga menyertakan waktu saat korban mengalami pelecehan kebanyakan terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).
Pada 2018, Belgia juga pernah mengadakan pameran yang bertema “Is It My Fault”, yang memperlihatkan berbagai pakaian milik korban perkosaan.
Dalam pameran tersebut bahkan terlihat mayoritas pakaian yang dipajang merupakan pakaian yang tertutup seperti celana dan kemeja panjang.
Jadi, STOP mengatakan bahwa pakaian adalah alasan terjadi kejahatan seksual. Yang salah adalah pemikiran orang-orang yang memiliki pemikiran jorok dan tak bisa mengendalikannya.
Jangan berfikir jika wanita mengenakan pakaian sedikit terbuka dianggap SETUJU untuk dilecehkan.
Tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan seksual
Kejadian-kejadian di atas sontak membuat berbagai pihak mengecam perbuatan para pelaku dan meminta agar dihukum seberat-beratnya.
Para pelaku kejahatan seksual tidak memiliki tempat di lingkungan hidup, bahkan di lingkup penjara sekalipun.
Pelaku pemerkosaan atau pencabulan sangat dipandang rendah di lingkungan penjara, serta mendapat perilaku paling sadis dari tahanan lainnya.
Misalnya, seperti yang terjadi pada seorang tersangka pemerkosaan anak kandung di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, ditemukan tergeletak tak sadarkan diri setelah sehari menghuni penjara.
Perlunya payung hukum bagi korban kekerasan seksual
Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini tampaknya tak berhasil menggugah pimpinan DPR RI untuk mempercepat Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Bukan hanya gagal disahkan menjadi RUU inisiatif DPR RI, bahkan RUU TKPS tidak masuk dalam agenda pada rapat sidang paripurna terakhir di tahun 2021.
Meskipun agak terlambat, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa RUU TPKS tersebut akan dijadwalkan kembali setelah reser DPR antara tanggal 12 dan 14 Januari 2022, sebagaimana dilansir dari cnnindonesia.
“Jangan hanya didik anak perempuanmu untuk berjaga diri, tapi didik juga anak laki-lakimu untuk lebih bermoral”
“Yang melahirkan peradaban tidak pantas untuk dilecehkan”