PARBOABOA, Jakarta - Pucuk pimpinan di tubuh TNI Angkatan Udara (TNI AU) akan berganti sebentar lagi.
Pergantian tersebut berlangsung pada 9 April 2024, tepat dengan berakhirnya masa jabatan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) saat ini, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo.
Beragam spekulasi mencuat ke publik terkait sosok penerus tata kepemimpinan lembaga ini. Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, meyakini empat nama yang sangat potensial untuk Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pengganti Marsekal Fadjar Prasetyo ini.
Pertama, Wakil KSAU Marsdya Andyawan Martono Putra (lulusan Akademi Angkatan Udara/AU 1989).
Kedua, Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Marsdya Samsul Rizal (lulusan AAU 1990).
Ketiga, Panglima Komando Operasi Udara Nasional Marsdya Tedi Rizal Hadi (lulusan AAU 1991).
Keempat, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II TNI Marsdya Mohamad Tonny Harjono (AAU 1993).
"Keempat marsekal bintang tiga ini memiliki rekam jejak pendidikan dan penugasan yang beragam," ujar Selamat Ginting melalui rilis yang diterima PARBOABOA, Jumat (29/3/2024).
Ginting menjelaskan, jika mengacu pada kelengkapan pendidikan pengembangan TNI dari tiga jenderal bintang tiga Angkatan Udara itu, hanya Andyawan dan Samsul yang lengkap.
"Karena selain lulusan Seskoau, juga lulusan Sesko TNI dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)," jelasnya.
Menurut Ginting, pertimbangan terkait latar belakang pendidikan, pengalaman, penugasan, dan faktor usia pensiun dalam penunjukkan calon KSAU sangat menentukan.
“Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto tentunya akan memberikan usulan kepada Presiden Joko Widodo, khususnya terkait beberapa faktor tersebut.”
Dalam perjalanan karier militer keempat kandidat, jelas Ginting, Andyawan berpengalaman di bidang perencanaan dan operasi. Sementara Samsul maupun Tedi berpengalaman di lingkungan operasi, personel, dan pendidikan.
Sementara itu, Tonny pernah bertugas cukup lama di lingkaran istana kepresidenan, yakni sebagai ajudan Presiden Jokowi dan Sekretariat Militer Presiden Jokowi.
Namun, kata Selamat Ginting, faktor sisa umur pengabdian menjadi pertimbangan juga dalam menentukan calon KSAU.
Jika melihat faktor tersebut, Andyawan memiliki sisa usia pensiun terpendek, yakni satu tahun satu bulan. Sedangkan sisa usia pensiun Samsul dan Tedi, berturut-turut, dua tahun 11 bulan, dan empat tahun tiga bulan; dan Tonny, lima tahun tujuh bulan.
Masalahnya, kata Ginting, Jokowi akan berakhir masa kepresidenannya pada 20 Oktober 2024. Selanjutnya, tampuk kepemimpinan akan diambil alih oleh Prabowo Subianto.
Faktor pertimbangan dari Prabowo Subianto, yang kini masih sebagai Menteri Pertahanan, dapat juga dilakukan oleh Panglima TNI Agus Subiyanto sebelum mengajukan nama kandidat kepada Presiden Jokowi.
Di sinilah titik krusial dari sisa usia pensiun yang dimaksudkan, apalagi kini sudah ada presiden terpilih hasil pemilu presiden 2024.
Menurutnya, jika Presiden terpilih tidak berkenan, maka bukan tidak mungkin setelah Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden akan dilakukan pergantian lagi.
Sebab, penentuan jabatan Panglima TNI dan tiga kepala staf angkatan TNI menjadi hak prerogatif presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU sesuai amanat konstitusi.
Pergantian pucuk pimpinan organisasi, kata Ginting, akan dapat berpengaruh pada jalannya regenerasi di tubuh TNI AU.
Masa pensiun terlampau cepat, kata Ginting, misalnya hanya enam bulan saja, maka jabatan KSAU akan dianggap sebagai tempat transit belaka. Sebab yang bersangkutan belum secara efektif menjalankan tugasnya sebagai orang nomor satu di matra udara.
"Namun, jika usia pensiun terlampau panjang, hal itu juga berpotensi mengganggu jalannya proses regenerasi di tubuh militer," tandasnya.
Jejak Hari Jadi TNI AU
Dilansir dari laman resmi TNI AU, munculnya TNI AU berawal dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945. BKR dibentuk dengan maksud untuk memperkuat Armada Udara, walaupun saat itu Indonesia masih sangat kekurangan pesawat dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Dalam perjalanan waktu, tepatnya pada 5 Oktober 1945, BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Pemakaian nama ini tidak bertahan lama. Pada 23 Januari 1946, TKR kembali diubah. Perubahan ketiga ini populer dengan nama Tentara Republik Indonesia (TRI).
TKR Jawatan Penerbangan juga ikut berubah menjadi TRI Jawatan Penerbangan. Nama baru ini hanya bertahan 3 bulan sejak perubahan itu.
Pada perubahan keempat ini, TRI Jawatan Penerbangan dihapus dan diganti dengan Angkatan Udara Republik Indonesia yang sejajar dengan Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Perubahan terakhir inilah kemudian menjadi dasar peringatan lahirnya TNI AU. Ketetapan ini secara de jure tertuang dalam Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD tanggal 9 April 1946.
TNI Angkatan Udara, sebagai sebuah angkatan perang, proses kelahirannya sangat singkat, sekitar tujuh bulan sejak Indonesia merdeka.
TNI AU kala itu bermodalkan alutsista berupa pesawat-pesawat bekas yang diperoleh dari rampasan tentara Jepang. Adapun pesawat-pesawat bekas itu antara lain Chureng, Nishikoreng, Guntei, dan Hayabusha.
Situasinya lebih memprihatinkan lagi karena jumlah penerbang dan teknisinya pun sangat terbatas.
Walau demikian, TNI AU berhasil melaksanakan operasi udara pertama pada 29 Juli 1947. Ini merupakan serangan balasan terhadap Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947.
Keberhasilan ini dianggap sebagai catatan emas dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Selain itu, darma bakti TNI AU juga sudah ditunjukkan sejak awal. Hal ini terlihat pada gugurnya Kadet Kasmiran saat mempertahankan Lapangan Udara Maguwo saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948.
Dirilisnya pesawat-pesawat dengan spesifikasi lebih baru dan modern, pada era tahun 1950-an, menjadi babak baru perjuangan TNI AU.
Misalnya, P-51 Mustang, B-25 Mitchell, C-47 Dakota, AT-16 Harvard, serta pesawat amphibi Catalina.
Berbekal pesawat-pesawat tersebut, TNI AU mulai berperan dalam berbagai operasi keamanan dalam negeri, antara lain, penumpasan PRRI, Permesta, RMS, DI/TII, serta berbagai gangguan keamanan dalam negeri lainnya.
Masa jaya TNI AU baru benar-benar dialami pada dekade 60-an. Pada periode ini, bahkan menjadi Angkatan Udara yang paling disegani di kawasan Asia Tenggara, karena memiliki alutsista udara yang cukup besar dan handal.
Sejak saat inilah, TNI AU berperan aktif dalam tugas besar yang diamanatkan oleh negara.
Sebut saja Operasi Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke Indonesia sebagai contoh nyata.
Kemudian, TNI AU terlibat dalam Operasi Dwikora dan penumpasan pemberontakan G30S PKI.
Pasca periodesasi emas ini, terjadi dinamika naik dan turun dalam tubuh TNI AU sampai akhirnya terbentuk TNI AU yang ada saat ini.
Untuk diketahui, peran dan tugas TNI AU dalam Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Berdasarkan UU tersebut, selain menjaga kedaulatan udara Indonesia, tetapi juga bertugas melaksanakan operasi bhakti dan tugas kemanusiaan di tengah masyarakat, misalnya penanganan bencana alam.
Editor: Norben Syukur