PARBOABOA, Jakarta - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada korban pemerkosaan dalam tragedi Mei 1998 menuai kecaman.
Sejarawan Ita Fatia Nadia menyebut pernyataan itu sebagai bentuk kebohongan publik dan pengkhianatan terhadap para korban, sekaligus mengabaikan bukti sejarah yang telah diakui negara.
Ita secara tegas meminta Fadli untuk menarik pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada perempuan dan publik luas. Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan bentuk penyesatan publik.
Ita menekankan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 adalah fakta sejarah yang telah didokumentasikan secara resmi.
Fakta tersebut tertuang dalam Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 699, maupun dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
"Apa yang dikatakan Fadli Zon adalah dusta. Fakta perkosaan massal tertulis jelas di Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 699, termasuk temuan TGPF yang diserahkan ke Presiden Habibie," ujar Ita dalam forum daring yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia pada Jumat (13/6/2025).
Temuan TGPF itu, lanjut Ita, bahkan menjadi dasar lahirnya lembaga independen seperti Komnas Perempuan, yang didirikan untuk merespons kebutuhan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender.
Pernyataan Fadli juga dinilai sebagai bentuk pembangkangan terhadap pengakuan resmi negara atas tragedi Mei 1998 sebagai salah satu pelanggaran hak asasi manusia berat.
Ita menambahkan bahwa pemerintah, melalui Presiden Joko Widodo pada 2023 lalu, secara resmi mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa Mei 1998, berdasarkan rekomendasi Panitia Pemantauan HAM (PP HAM). Dengan demikian, komentar Fadli dianggap bertentangan dengan sikap resmi negara.
"Presiden Jokowi pada 2023 menetapkan 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Mei 1998, melalui rekomendasi PP HAM. Fadli sebagai menteri justru mengingkari keputusan negara," tegas Ita.
Sebagai bukti konkret kekerasan yang terjadi, Ita menyebut kasus kematian Ita Martadinata, seorang aktivis perempuan sekaligus korban pemerkosaan saat kerusuhan 1998, yang menjadi simbol penderitaan dan keberanian korban.
Ita juga mengaku bahwa sampai saat ini masih ada korban yang menghubunginya, menanyakan apakah mereka perlu memberikan kesaksian terkait pengalaman kelam yang mereka alami.
“Fadli bahkan membantah temuan TGPF yang diakui negara. Ini bentuk pengkhianatan terhadap korban,” tambahnya.
Pernyataan Fadli Zon
Sebelumnya, Fadli Zon menyampaikan pernyataan yang menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Hal itu ia sampaikan dalam konteks diskusi mengenai revisi buku sejarah Indonesia yang dinilai belum mengakomodasi sejarah perempuan secara memadai.
Fadli mempertanyakan keberadaan bukti kuat yang mendukung narasi adanya pemerkosaan massal, dan menyebut isu tersebut sebagai “cerita” yang tidak pernah memiliki proof atau bukti konkret.
"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat," ucapnya dalam tayangan YouTube IDN Times, Kamis (12/6/2025).
"Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," sambungnya.
Fadli bahkan menyatakan pernah membantah temuan TGPF semasa Presiden Habibie. Menurutnya, sejarah seharusnya disusun sebagai medium pemersatu bangsa, dan tidak membawa nada yang bisa memecah belah.
"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu," pungkasnya.
Fakta Sejarah
Tragedi Mei 1998 bukan hanya tentang kerusuhan, penjarahan, dan kejatuhan rezim otoriter presiden Soeharto.
Terdapat kekerasan brutal yang dialami para perempuan yang diperkosa secara massal, sistematis dan mengerikan. Fakta ini tidak bisa dihapus dari catatan sejarah bangsa.
Laporan resmi TGPF yang dibentuk pemerintah BJ Habibie secara tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual memang terjadi dalam skala besar selama kerusuhan berlangsung di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
TGPF mengungkap kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 tidak terjadi secara acak, tetapi menunjukkan pola yang terencana, dilakukan oleh kelompok tertentu, dan menyasar perempuan, terutama dari etnis Tionghoa.
Beberapa temuan utama TGPF antara lain: 52 perempuan menjadi korban pemerkosaan. Dari jumlah tersebut, banyak yang mengalami pemerkosaan bergilir (gang rape) oleh sejumlah pelaku sekaligus.
Fakta lain menunjukkan bahwa terdapat 14 kasus di antaranya yang disertai penganiayaan fisik berat, bahkan beberapa terjadi di ruang publik.
Menurut TGPF, para korban sesungguhnya berasal dari berbagai latar belakang. Mereka tidak hanya warga Tionghoa, tetapi juga warga dari etnis lain. Hal ini menjadi penanda kuat adanya dimensi kekerasan berbasis gender dan kelas.
Selain itu, terdapat temuan adanya 10 kasus serangan seksual dan 9 kasus pelecehan seksual lainnya yang juga terverifikasi oleh pernyataan di lapangan.
Para korban dan keluarga mengalami tekanan, ancaman, dan intimidasi setelah peristiwa, yang menyebabkan banyak yang memilih bungkam.
Dokumentasi kekerasan ini terekam tidak hanya dalam laporan TGPF, tetapi juga dalam Buku Sejarah Nasional Jilid VI, serta dalam berbagai laporan organisasi masyarakat sipil.
Sayangnya, meski temuan ini telah disampaikan secara resmi kepada negara, pengakuan dan langkah hukum yang konkret masih berjalan sangat lambat.