Pesona Manigom Sinau, Bendungan Belanda yang menjadi Tempat Pemandian Wisata

Area Wisata Pemandian Manigom Sinau Simalungun (Foto:Parboaboa/Jeff Gultom)

PARBOABOA, Simalungun– Hiruk pikuk kota Simalungun dan panasnya matahari mendorong banyak orang untuk pergi menikmati kesegaran alam.

Pemandian Manigom Sinau menjadi salah satu tempat "pelarian" terbaik di Simalungun.

Keindahan alam dan udara segar membuat banyak orang, termasuk saya, menjadi penasaran untuk ke sana.

Perjalanan saya ke pemandian pun dimulai. Setelah melepas jalanan kota, hamparan pohon sawit dan deretan rumah penduduk menjadi suguhan pertama yang kunikmati.

Sepanjang perjalanan, angin sejuk sesekali memberi kesegaran pada tubuhku.

Setelah berkendara selama 31 menit dari pusat kota Pematangsiantar, akhirnya tiba juga. Di persimpangan kecil, dekat sebuah gereja.

Dari persimpangan kecil ini, jalannya penuh kerikil kecil. Kondisi ini memaksa saya, yang menggunakan sepeda motor, untuk berhati-hati.

Walau demikian, ladang jagung yang menghiasi kedua sisi jalan seakan menghapus rasa takutku melewati kondisi jalan yang nampak rusak itu.

Hanya butuh waktu lima menit dari persimpangan, saya akhirnya benar-benar tiba di Manigom Sinau, pemandian pribadi yang terletak di Jalan Paliaputar, Tiga Dolok, Dolok Panribuan.

Adapun tempat ini terletak 18,9 km dari pusat kota. Membutuhkan waktu tempuh sekitar 31 menit jika menggunakan sepeda motor dan 34 menit dengan mobil.

Namun, pengunjung kemudian harus menuruni 53 anak tangga sejauh kurang lebih 200 meter untuk menikmati pemandian mata air tersebut.

Pepohonan rindang tumbuh di sepanjang anak tangga, yang melindungi para pengunjung dari teriknya matahari.

Di tempat pemandian tersebut, terdapat tiga kolam dengan posisi berdekatan. Kolam utama tepat berada di atas mata air dan cukup luas untuk dinikmati 50 orang sekaligus.

Kolam kedua sedikit dangkal dengan kedalaman selutut orang dewasa, ideal untuk 10 anak kecil. Kolam ketiga berada di bawah bendungan dengan air mancur alami dan kedalaman sekitar selutut orang dewasa.

Saat tiba, saya berkenalan dengan Fernando Siregar (46). Ia tampak mengarahkan anaknya melewati jalan kecil di atas bendungan.

Seperti seorang ayah, ia dengan sabar mengawasi empat anak kecil yang mengikutinya menuruni tangga alami menuju kolam ketiga.

"Ya, airnya natural dan bersih. Untuk rekreasi, cukup menyenangkan. Saya juga mungkin akan datang lagi karena ini kampung istri saya," ujarnya.

Menurut Fernando, penyediaan sarana transportasi di area pemandian akan sangat membantu, terutama bagi orang tua yang kesulitan menaiki dan menuruni tangga.

Ia juga mengharapkan aspek keamanan di tempat tersebut harus menjadi prioritas.

Fernando tak mau berlama-lama cerita denganku. Ia meninggalkanku lalu langsung menikmati air terjun bersama anak-anaknya.

Mereka kelihatan sangat bahagia. Tawa riang anak-anak mereka menggema, menyatu dengan suara alam yang didominasi oleh kicauan burung dan gemerisik dedaunan.

Kemudian, saya mendapati tiga remaja menuruni anak tangga dengan hati-hati. 

Yehezkiel, salah satu dari mereka, cepat membuka bajunya saat mendekati kolam.

Bersama teman-temannya, mereka melintasi jalan penghubung kecil di atas air yang mengalir tidak terlalu deras.

Salah satu temannya melompat ke dalam pemandian, sementara Yehezkiel meletakkan baju dan sandal di tempat yang aman.

Pria berusia 15 tahun itu rupanya sudah tidak asing dengan pemandian mata air ini. Ia mengaku sudah mengunjungi tempat tersebut sebanyak lima kali. Ia biasa datang bersama teman-temannya.

"Aku pertama kali tahu dari bapak, karena bapak dulu sering ke sini. Aku lihat juga airnya jernih, lumayan dalam, masih alami, rindang, dan sejuk," katanya.

Biasanya, Yehezkiel menghabiskan sekitar 20 ribu rupiah setiap kunjungannya, termasuk biaya parkir dan makanan-minuman. "Tiap hari libur biasanya saya ke sini," tambahnya.

Meski begitu, Yehezkiel mengakui tantangan utama ke pemandian tersebut adalah akses.

"Jalan masuk ke gang lumayan rusak, terus jalan ke pemandian lumayan jauh juga menuruni tangga, jadi capek juga," ungkapnya.

Ia berharap akan ada pengembangan dan perencanaan terhadap tempat tersebut.

Sejarah Pemandian Manigom Sinau

Pemandian ini telah melewati tiga generasi dan menjadi bagian dari sejarah keluarga Manik.

Haeny Johannes Manik merupakan generasi pertama yang memiliki tanah tersebut.

Manik mendapat tanah seluas 20 hektar ini karena memiliki hubungan baik dengan pemerintah Belanda.

"Opung laki-laki dari suamiku dulu mantan pengacara Belanda, makanya tanahnya luas. Dia pintar bahasa Belanda dan berpenampilan seperti orang Belanda, meski mereka bilang marga Manik," ungkap Sordina Br. Hutapea, menantu dari pemilik tanah pemandian ini, Graham Manik.

Ia menjelaskan, awalnya bendungan ini dibangun untuk keperluan irigasi sawah, namun seiring waktu menjadi tempat mandi dan rekreasi bagi warga sekitar.

"Dulu ini adalah tempat berkumpul orang Belanda dan nenekku. Nenekku meminta mereka membangun bendungan ini supaya masyarakat bisa mendapatkan air irigasi," tambah Sordina.

Pada tahun 1937, bendungan tersebut selesai dibangun dan menjadi tempat pemandian bagi masyarakat.

"Setelah dibangun, banyak yang datang untuk mandi. Tapi yang datang saat itu ya masih orang-orang di dekat daerah ini saja. Sekarang sudah ada HP, jadi bisa mencari tempat ini dan datang ke sini," ujarnya.

Dulu, sambungnya, namanya Manik Home karena pemiliknya marga Manik. "Tapi karena sering disebut Manigom, kami ganti namanya menjadi Manigom Sinau," tambahnya.

Pada tahun 1997-1998, Manigom Sinau sempat bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan.

Namun, kerja sama itu tidak berlangsung lama karena ketidakpuasan keluarga Manik terhadap dukungan pemerintah.

"Kami disuruh mengutip karcis 200 rupiah dan menyetorkan ke bupati, tapi mereka tidak ikut membersihkan. Jadi kami tarik kerja samanya," ungkap Sordina.

Meski dengan biaya setoran tersebut, ia mengungkapkan tidak ada kontribusi serta perhatian terhadap tempat pemandian Manigom Sinau.

"Ini kan milik pribadi. Pembangunan tidak ada padahal kami setor. Seharusnya mereka kasih mesin babat, tapi kenyataannya tidak. Suami yang merambas rumput sendiri dan keluarga juga berkomentar. Jadi kami tutup di tahun 2000-an," tutupnya.

Sementara itu, Johannes Manik (28), anak Sordina, menjelaskan, pemandian ini dikelola secara mandiri oleh keluarganya.

Dengan biaya parkir sebesar lima ribu untuk motor dan sepuluh ribu untuk mobil, serta tarif terpisah dua ribu per orang yang berada di dalam mobil, pemandian ini tetap terjaga kebersihannya.

"Rencana ke depan kami akan menambah kolam kecil untuk anak-anak dan memasang pagar pengaman di sepanjang jembatan kecil. Kami juga berencana menambah pondok-pondok," kata Johannes.

Dia menjelaskan, fasilitas yang tersedia di Manigom Sinau termasuk pondok dengan tikar seharga tiga puluh ribu, ban renang besar sepuluh ribu, dan ban kecil lima ribu. "Kamar mandi dikenakan biaya dua ribu, namun ada juga yang memberi seribu atau tidak memberi sama sekali dan itu tetap diterima," ungkapnya.

Pengunjung, katanya, juga diperbolehkan membawa makanan sendiri, meski di lokasi sudah tersedia makanan dan minuman ringan.

"Kami berharap bahwa pemandian ini dapat terus berkembang dan menjadi destinasi wisata yang nyaman dan aman bagi semua kalangan," tutupnya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS