PARBOABOA, Jakarta - Konflik antara Israel dan Palestina belum menemui jalan damai.
Usaha negara-negara dunia untuk membangun kerukunan antara kedua negara tersebut justru menuai kebuntuan.
Faktanya, hingga kini, konflik masih terus terjadi. Ribuan korban berjatuhan. Kematian tak terhitung banyaknya.
Melansir laman Al Jazeera, Senin (15/04/2024), Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlah warga Palestina yang tewas sejak Israel melancarkan serangannya enam bulan lalu telah mencapai 33.797 orang.
Di samping merenggut korban jiwa, serangan Israel juga menyebabkan kerusakan infrastruktur, sistem ekonomi, sosial dan politik di wilayah Gaza.
Secara historis, catatan sejumlah peneliti menunjukkan bahwa konflik antara Israel dan Palestina sesungguhnya telah berlangsung sejak abad 19.
Kedua negara tersebut sama-sama berupaya untuk merebut Gaza, sebuah wilayah yang semula menjadi milik pemerintah Mesir dan kemudian diambil oleh Israel setelah perang 1967.
Disebutkan bahwa Israel berani menyerang Gaza karena mengetahui bahwa Hamas, gerakan nasionalisme Palestina ada di wilayah itu.
Pakar Hubungan Internasional UGM, Siti Mutiah Setiawati dalam kesempatan DIHI Talks Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat, (13/10/2023) membenarkan pernyataan ini.
Baginya, eskalasi konflik Israel dan Palestina di Jalur Gaza memiliki pertautan dengan keberadaan pasukan Hamas.
"Sejak 2008, Gaza sudah jadi target Israel. Penyebabnya karena Hamas, gerakan yang mencita-citakan kemerdekaan Palestina ada di sana," ungkapnya.
Risikonya, lanjut Siti, penduduk Palestina yang bermukim di Gaza sering mendapat tekanan, seperti blokade bantuan internasional, pemutusan akses air dan listrik, serta kehilangan tempat tinggal.
Ia juga menambahkan, posisi Hamas di pihak Palestina semakin tertekan karena adanya perjanjian damai antara Israel dengan Mesir.
Kenyataan ini tentu membuka kemungkinan damai antara Israel dengan negara-negara Arab yang lain.
"Dukungan negara lain terhadap Israel jelas mempersulit posisi Hamas. Jalan keluarnya seperti apa itu harus dipikirkan bersama."
Pendapat Siti terbukti nyata. Dominasi Israel semakin tak terbendung. Perang dan kematian menjadi berita harian yang tak ada habisnya.
Tanggapan Negara-Negara Dunia
Konflik bersenjata antara Israel dan Palestina menyedot perhatian negara-negara dunia. Ada yang mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi sebaliknya ada pula yang mengambil sikap berseberangan.
Menurut laporan World Population Review pada Juli 2019, dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 138 negara yang mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, termasuk Indonesia.
Majelis Umum PBB sendiri telah menghasilkan keputusan untuk mengesahkan resolusi keanggotaan penuh Palestina, Jumat (10/05/2024).
Pengesahan tersebut dibuat seturut adanya dukungan dari belasan negara yang tergabung dalam anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Mereka, antara lain Belgia, Denmark, Estonia, Yunani, Islandia, Luxembourg, Montenegro, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan Turki.
Terbaru, Dewan Keamanan (DK) PBB juga menyetujui tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Mereka menuntut agar para sandera Palestina dibebaskan tanpa syarat serta membuka akses bantuan internasional ke jalur Gaza.
Desakan masyarakat sipil di setiap negara juga turut memberi pengaruh terhadap pengambilan kebijakan DK PBB terkait penuntasan perang Israel-Palestina.
Dukungan-dukungan tersebut menjadi bukti konkret keberpihakan negara dunia terhadap kemerdekaan Palestina, juga perhatian serius pada penuntasan masalah kemanusiaan di Gaza.
Mereka mengutuk tindakan Israel sebagai bentuk genosida dan tindakan tidak berkemanusiaan.
Meski demikian, di pihak berlawanan, ada juga puluhan negara yang belum mengakui kemerdekaan Palestina.
Laporan sejumlah media memperlihatkan terdapat sekitar 55 negara yang menolak usulan tersebut.
Negara-negara tersebut, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, dan Kanada.
Alasannya cukup beragam, seperti menunggu keputusan Uni Eropa (UE), mengharapkan negosiasi damai antara kedua negara, dan yang lain tanpa alasan jelas.
Sikap demikian, alih-alih berpasrah pada mandat, tetapi dinilai memiliki muatan politis terkait kepentingan penguasaan global.
Sikap PIS
Pergerakan Indonesia Untuk Semua (PIS) mendukung sepenuhnya pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Dukungan ini dinilai sesuai dengan amanat konstitusional yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 di mana Indonesia mengakui kemerdekaan segala bangsa dari penindasan, termasuk peperangan.
"Kemerdekaan Palestina adalah hak mutlak yang harus diberikan kepada mereka," ungkap ketua PIS, Ade Armando dalam keterangan yang diterima PARBOABOA, Senin (13/04/2024).
Ade juga mengapresiasi upaya Indonesia yang berhasil mendorong resolusi agar Palestina menjadi anggota tetap PBB.
Dengan adanya resolusi tersebut, lanjut Ade, Palestina seharusnya diikutsertakan dalam sidang-sidang PBB, serta memberi usulan dan amandemen.
"Seiring dengan semakin menguatnya dukungan kepada Palestina, baik dari negara maupun masyarakat sipil, mudah-mudahan dalam waktu dekat Palestina akan merdeka dan menjadi anggota penuh PBB," lanjut Ade.
Selain memberikan dukungan, PIS juga mengecam serangan bersenjata Israel yang memakan ribuan korban. Sebagian besar dari mereka adalah anak dan perempuan.
Bagi PIS, serangan tersebut tidak dapat dibaca semata-mata sebagai konflik agama, "tapi merupakan upaya Israel untuk memperluas wilayah mereka."
Alasan bahwa perang tersebut bermaksud untuk mengejar Hamas, sambung PIS, adalah alasan yang mengada-ngada.
Dengan semua pertimbangan di atas, PIS mengajak negara-negara dunia untuk bersatu dalam mengecam tindakan Israel, juga memberikan dukungan penuh atas kemerdekaan Palestina.
Editor: Defri Ngo