PP Larang Jual Rokok Eceran, Pengamat: Tidak Efektif dalam Mekanisme Pasar

Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2024, Melarang Jual Rokok Eceran (Foto: PARBOABOA/Norben Syukur)

PARBOABOA, Jakarta – Penjualan rokok eceran di Indonesia kini dilarang.

Ketentuan ini menyusul disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengenai Kesehatan, pada Jumat (26/07/2024) lalu.

Pasal 434 ayat 1 huruf  c beleid tersebut menyebutkan, setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang, kecuali untuk produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

Begitu pun pembatasan penjualan produk tembakau di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, sebagaimana diatur dalam pasal 434 ayat (1) huruf e.

Selain itu, pasal 434 ayat (1) huruf f  melarang penjualan produk tembakau dan rokok elektrik menggunakan jasa situs web, aplikasi elektronik komersial, dan media sosial.

Pemerintah juga mengatur ulang pelabelan pada kemasan rokok, melalui larangan pencantuman kata light, ultralight, mild, extramild, lowtar, slim, special, full flavour, dan premium.

Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan (Menkes) RI, menyambut baik pengesahan PP Kesehatan yang diteken Presiden Jokowi itu.

Peraturan tersebut, kata Budi, sangat penting sebagai acuan dalam membangun sistem kesehatan Indonesia yang lebih baik.

“Ini menjadi pijakan kita bersama untuk mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri," kata Budi dalam keterangannya, dikutip pada Selasa (30/7/2024).

Penerbitan PP Nomor 28 Tahun 2024 rupanya menjadi kabar buruk bagi para penjual rokok, terutama mereka yang menjajal rokok secara eceran.

Menjual rokok eceran ternyata memberikan profit ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan yang dikemas dalam bungkusan.

Riset yang dilakukan  Adi Musharianto, peneliti dari Center of Human dan Development  Institut Teknologi dan Bisnis (CHED ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, mengkonfirmasi hal itu.

Dalam kajiannya, Adi menyatakan bahwa rokok eceran dapat memberikan laba sebesar 20 hingga 30 persen, setara dengan Rp4.000 hingga Rp7.500 per bungkus.

Penjualan eceran, menurut Adi, akan meningkatkan daya beli rokok terutama bagi kelompok yang berpendapatan rendah, seperti “pelajar dan orang miskin yang memiliki keterbatasan pendapatan untuk membelanjakan barang."

Dalam hitungannya, sebungkus rokok berisi 16 batang dijual seharga Rp25.000, bakal mendapatkan keuntungan sebesar Rp7.000 per bungkusnya, dengan asumsi harga eceran dijual Rp2.000 per batang.

Pasar punya Mekanisme Sendiri

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIE Karya Ruteng, Yohanes Mario Vianney menilai, larangan menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang tidak efektif bagi penjual.

Menurut Arif sapaan akrabnya, pola ini mereduksi kemungkinan implementasi strategi individu pelaku penjualan sekaligus membatasi pasar yang memang membutuhkan produk tersebut untuk dikonsumsi.

“Perlu dipahami bahwa, menjual rokok satuan per batang merupakan salah satu bentuk strategi penjualan yang mengafirmasi perolehan laba dengan cepat,” jelasnya kepada PARBOABOA, Rabu (31/07/2024).

Selain itu, sambungnya sistem penjualan rokok satuan per batang sengaja diciptakan karena mempertimbangkan kemampuan membeli dari golongan masyarakat tertentu (yang tidak mampu membeli rokok dalam satuan bungkus).

Lebih lanjut, Dosen Program Studi Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Karya Ruteng ini mengatakan, penjualan rokok dalam satuan per batang dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 pasal 434 merupakan kajian khusus bidang kesehatan.

Walau demikian, menurutnya, dalam hubungannya dengan kesehatan, pemikiran ini efektif karena akan membatasi dampak buruk produk terhadap stabilitas kesehatan konsumen.

“Perlu dicatat bahwa aktivitas pasar dikendalikan oleh pasar itu sendiri,” tegasnya.

Konsumen di pasar jelasnya, memberi isyarat bagi produsen untuk menciptakan strategi penjualan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Semntara terkait hasil penelitian jual rokok eceran, menurut  Arif, itu tidak keliru.

Ia mengatakan, hasil penelitian ini berkaitan erat dengan Strategi penjualan produk karena kendali pasar sekaligus mengafirmasi kemungkinan mempercepat perolehan laba.

Larangan penjualan karena aturan kesehatan tidak semestinya dapat mengatur dan mengendalikan pasar itu sendiri.

“Kita bisa melihat pola ini dalam konteks masyarakat tertentu yang dengan sengaja terbuka pada keputusan membeli seperti demikian.”

Ia Mengatakan, dalam konteks perdagangan (PP nomor 29 tahun 2021) penjualan eceran rokok masuk dalam kategori penjualan eceran khusus rokok dengan KBLI 47320.

Tentu saja, aturan ini menjangkau segala urusan di pasar. PP nomor 28 hanya membatasi pola penjualan berdasarkan kategori usia tertentu, katakan 17 tahun kebawah dengan maksud perimbangan kesehatan.

Konteks Manajemen dan Kesehatan tidak dapat dikaitkan begitu saja dengan memaksa penjual untuk mampu mengendalikan pasar yang jauh lebih kompleks.

Menurut dia, konstruksi gagasan utama pada PP 28 Tahun 2024 hanya merujuk pada upaya pencegahan konsumsi rokok secara berlebihan yang berpengaruh pada kesehatan.

PP ini tidak berbicara mengenai konteks pasar yang menciptakan kebutuhan mereka sendiri.

Penjual memang memiliki segmentasi pasar sendiri. PP nomor 28 tahun 2024 ini bisa dikendalikan penjual rokok eceran satuan bungkus hanya dengan memahami segmen pasar.

Artinya penjualan rokok hanya menyentuh segmen tertentu seperti usia, jenis kelamin. Tidak boleh menyentuh anak2 dan ibu hamil.

“Dengan demikian pelaksanaan PP 28 tersebut terpenuhi,” tutupnya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS