PARBOABOA, Pematangsiantar - Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky seolah tak kenal lelah menggalang dukungan dan bantuan dunia di tengah invasi Rusia ke negaranya.
Usai berbicara di Majelis Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB), ia kini memohon bantuan militer kepada Korea Selatan.
Dilansir Associated Press, Selasa (12/4/2022), melalui pesan video kepada anggota parlemen Korsel, ia meminta dikirimkan senjata-senjata anti-pesawat.
"Korea Selatan punya tank, kapal, dan berbagai peralatan yang bisa memblokir rudal Rusia dan kami akan sangat berterima kasih jika Korea Selatan dapat membantu kami melawan Rusia," ujar Zelensky dalam video itu.
"Jika Ukraina bisa menerima senjata-senjata semacam itu, itu tak hanya membantu kami menyelamatkan nyawa warga sipil, tapi juga memberikan Ukraina kesempatan untuk bertahan sebagai negara, juga membantu mencegah negara lain diserang Rusia."
Namun, Kementerian Pertahanan Korsel menyatakan bahwa mereka menolak permintaan bantuan persenjataan.
Perwakilan kementerian itu kembali menegaskan bahwa Korsel memegang prinsip hanya akan memberikan bantuan militer berupa peralatan yang tak mematikan.
Seoul juga menyatakan, mereka sudah membantu dengan berbagai cara lain, termasuk melarang ekspor material-material penting ke Rusia dan menyetop transaksi dengan bank-bank Rusia.
Menurut Zelensky, sanksi saja tak cukup untuk menghentikan agresi Moskow. "Rusia tak peduli sebanyak apa orang tewas," ucap Zelensky.
Penggunaan senjata kimia
Dalam kesempatan berbeda, presiden 44 tahun itu mengatakan bahwa Rusia mulai mempertimbangkan untuk menggunakan senjata kimia dalam invasi mereka di Ukraina.
"Hari ini, kami mendengar pernyataan dari penjajah [Rusia] mengonfirmasi bahwa mereka tengah bersiap melakukan teror lanjutan terhadap kami," ujar Zelensky mengawali pesan video yang dirilis Senin (11/4).
"Salah satu juru bicara mereka mengatakan, mereka mempertimbangkan menggunakan senjata kimia di Mariupol."
Zelensky pun mendesak dunia untuk menanggapi invasi Rusia ini lebih keras dan cepat. Ia menegaskan, penggunaan senjata kimia itu sudah dibahas secara serius di dalam lingkaran militer Rusia.
Tak lama sebelum Zelensky merilis video ini, seorang penasihat wali kota Mariupol, Petro Andrysuchenko, mengaku menerima laporan bahwa Rusia sudah pernah menggunakan senjata kimia dalam serangan di kota itu.
Meski demikian, Andrysuchenko menegaskan bahwa laporan itu belum terkonfirmasi. Ia berjanji bakal memberikan detail lebih lanjut jika sudah menerima informasi lengkap.
Ribuan kasus kejahatan perang
Jaksa Agung Ukraina, Iryna Venediktova, mengatakan bahwa pihaknya sedang menyelidiki 5.800 kasus kejahatan perang yang dilakukan Rusia selama invasi.
Venediktova mengatakan kepada CNN, timnya sudah mengidentifikasi 500 tersangka, termasuk politikus Rusia, personel militer, hingga agen propaganda lainnya yang diduga melakukan kejahatan perang.
"Mereka yang ingin perang ini pecah, memulai perang, dan melanjutkan perang. Kami ingin mendakwa para penjahat perang ini di pengadilan Ukraina yang ditunjuk oleh Ukraina," ujar Venediktova, Senin (11/4).
Namun begitu, ia tak menjabarkan lebih lanjut sebaran kasus dugaan kejahatan perang tersebut. Venediktova juga tak memaparkan sudah sejauh mana proses penyelidikan yang dilakukan timnya.
Ukraina menggelar penyelidikan ini beberapa pekan setelah menyaksikan pemandangan horor di kota-kota di sekitar Kyiv yang baru ditinggal pasukan Rusia.
Di sana, ratusan jasad warga sipil bergelimpangan. Para warga sipil itu diduga menjadi korban pembunuhan keji selama pasukan Rusia menguasai tempat tinggal mereka.
Presiden Volodymyr Zelensky murka ketika pertama kali menerima laporan mengenai ratusan jasad tersebut. Ia mengatakan, pasukan Rusia membunuh warga Ukraina hanya untuk kesenangan.
Kondisi ini juga menyulut amarah sejumlah pemimpin dunia. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, lantas menyerukan agar Presiden Vladimir Putin diseret ke pengadilan internasional atas dugaan kejahatan perang.
DK PBB pun menggelar sejumlah rapat untuk membahas kondisi di Bucha dan kota lain di sekitar Kyiv itu.
Di sisi lain, Rusia membantah laporan ini. Mereka menuding AS dan negara Barat lainnya sengaja menebar isu ini untuk menggiring opini publik.