PARBOABOA, Jakarta - Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia.
Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mengungkapkan data yang berdampak terkait prevalensi perokok di Indonesia.
Dari populasi penduduk diketahui berusia di atas 15 tahun, sebanyak 33,8 persen merupakan perokok aktif.
Lebih mengisyaratkan lagi, prevalensi merokok di kalangan remaja usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen pada tahun 2018, naik dari 7,2 persen pada tahun 2013.
Terbaru, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menyebut, jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 70 juta orang.
“Dari jumlah tersebut, 7,4% adalah perokok berusia antara 10 hingga 18 tahun. Sementara itu, persentase perokok dengan usia 15 tahun ke atas mencapai 28,62%,” tulis SKI.
Secara statistik, hal itu berarti sekitar satu dari sepuluh orang remaja Indonesia adalah perokok.
Menurut data WHO, "lebih dari 225.700 kematian setiap tahun di Indonesia dikaitkan dengan kebiasaan merokok dan penyakit terkait konsumsi tembakau."
Rokok mengandung zat-zat berbahaya seperti nikotin, tar, dan karbon monoksida yang dapat menyebabkan penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya.
Akumulasi dampak negatif ini meningkatkan risiko kematian, sehingga jumlah kematian akibat merokok di Indonesia mencapai angka yang signifikan setiap tahun.
Dampak buruk rokok juga dirasakan dari sisi ekonomi, dimana total kerugian akibat hilangnya produktivitas para perokok diperkirakan mencapai US$183,7 miliar.
Dari angka tersebut, tercatat tambahan biaya perawatan kesehatan sebesar US$1,8 triliun selama hidup seorang perokok.
Data Susenas tahun 2020 juga menunjukkan bahwa rokok menjadi penyumbang kemiskinan setelah beras, dengan volume belanja rokok mencapai 12,2 persen di kota dan 10,9 persen di desa.
Setiap tahun, Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$10,2 miliar hilang, ditambah kerugian sebesar 117 miliar rupiah yang disebabkan oleh biaya perawatan kesehatan akibat rokok.
Selain itu, negara juga mengalami kerugian sebesar 117 miliar rupiah yang harus dikeluarkan untuk biaya perawatan kesehatan akibat penyakit yang timbul dari kebiasaan merokok.
Secara keseluruhan, hal tersebut menunjukkan bahwa merokok tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi negara.
Tantangan Baru
Berhadapan dengan fakta tersebut, rokok menjadi barang yang dikenai cukai sesuai Undang-Undang Cukai No. 39 Tahun 2007 sebagai upaya pengendalian konsumsi dan peredaran.
Menurut laporan Chaloupka (2012), cukai tembakau juga menjadi instrumen penting dalam mengurangi dampak buruk rokok bagi kesehatan sekaligus sebagai sumber penerimaan negara yang andal.
Selama pandemi COVID-19, pemerintah menyesuaikan target penerimaan cukai hasil tembakau menjadi 164,94 triliun rupiah pada tahun 2020.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam sebuah laporan resmi menyebut, target ini berhasil tercapai, dengan realisasi penerimaan cukai sebesar 170,24 triliun rupiah.
Bahkan di masa pandemi, lanjut Kemenkeu, penerimaan cukai rokok tumbuh sebesar 3,26 persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun demikian, "tantangan besar dalam pengenaan cukai adalah keberadaan rokok ilegal," ungkap laporan tersebut.
Meningkatnya peredaran rokok ilegal menurunkan harga konsumen melalui penghindaran pajak (tax evasion), yang pada akhirnya mengancam upaya pengendalian konsumsi tembakau dan pemungutan cukai oleh negara.
Aktivitas peredaran rokok ilegal menyebabkan harga rokok di pasar menjadi lebih rendah bagi konsumen.
Hal itu terjadi karena rokok ilegal tidak dikenakan pajak resmi, sehingga produsen dan penjualnya dapat menjual rokok dengan harga yang lebih murah dibandingkan rokok yang dikenakan cukai.
Ketika harga rokok turun akibat peredaran rokok ilegal, kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi tembakau melalui peningkatan harga rokok menjadi kurang efektif.
Selain itu, negara juga mengalami kerugian finansial karena kehilangan pendapatan dari cukai dan pajak yang seharusnya diterima dari penjualan rokok.
Kerugian yang dialami negara mempengaruhi kemampuan negara dalam membiayai program-program kesehatan dan upaya pengendalian tembakau yang penting.
Ulasan PARBOABOA pada Senin (02/09/2024) menyebutkan bahwa hingga Mei 2024, negara mengalami kerugian sebesar Rp5,5 miliar akibat peredaran rokok ilegal.
Di Kota Cimahi, kerugian tersebut diperkirakan mencapai Rp184.703.760 pada tahun 2022. Sementara itu, di Langsa, potensi kerugian negara diperkirakan sekitar Rp455.769.800.
Secara keseluruhan, kerugian yang ditimbulkan dari peredaran rokok ilegal diperkirakan berada pada kisaran Rp3,00 triliun hingga Rp6,00 triliun per tahun.
Sikap Pemerintah
Tingginya prevalensi merokok di Indonesia adalah alarm berbahaya. Penerapan cukai yang dibuat pemerintah rupanya tak beroleh hasil maksimal, namun membuka persoalan baru.
Fakta mengenai persebaran rokok ilegal tidak hanya membawa dampak yang mengganggu kesehatan, tetapi juga mengeruk pendapatan negara dari pajak.
Sikap tegas pemerintah tentu sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini. Sebab, jika tidak, maka praktik serupa akan terus terjadi di masa mendatang.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 105/BC/2014, salah satu misi Ditjen Bea dan Cukai adalah melindungi masyarakat dari penyelundupan dan perdagangan ilegal, termasuk rokok ilegal.
Selama ini, pengawasan terhadap peredaran barang ilegal, khususnya bea cukai hasil tembakau (CHT), dilakukan pemerintah melalui sosialisasi, operasi pasar, dan penindakan yang terus dioptimalkan.
Namun, sebuah penelitian yang dilakukan Kulick dan kawan-kawan (2016) menunjukkan pengawasan terhadap pasar gelap rokok ilegal, dapat meningkatkan biaya sosial dan kekerasan, serta berdampak pada peningkatan pendapatan di pasar gelap.
Di Amerika, terang mereka, "pengawasan terhadap aktivitas pasar gelap rokok ilegal menyebabkan konflik antara pihak yang berwenang dan pelaku pasar gelap."
Misalnya, pertempuran antara penegak hukum dan penyelundup bisa menambah ketegangan dan potensi kekerasan di masyarakat.
Selain itu, pengawasan yang bisa mengintensifkan kontribusi pada peningkatan pendapatan di pasar gelap di mana para pelaku akan menggunakan mekanisme baru untuk menghindari penegakan hukum.
Dengan kata lain, meskipun pengawasan terhadap pasar gelap rokok ilegal penting, pendekatan tersebut harus hati-hati karena bisa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan, seperti peningkatan kekerasan dan pendapatan ilegal.
Pemerintah perlu memikirkan upaya strategis dan komprehensif untuk mengatasi permasalahan ini, baik dari sisi pengendalian konsumsi maupun penegakan hukum, demi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.