Pro Kontra Kebijakan KEMENHUB Soal Perampingan 17 Bandara Internasional di Indonesia

Para penumpang di Bandara Soekarno-Hatta sedang berarak memasuki pintu pesawat (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI telah menetapkan kebijakan perampingan 34 bandara internasional di Indonesia menjadi 17 bandara.

Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) No 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional dan KM No 33 Tahun 2024 tentang Tatanan Bandar Udara Nasional.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati menjelaskan, kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid-19. 

Cara yang dipakai adalah dengan menjadikan bandara sebagai hub atau pengumpan internasional di negara sendiri.

Aditia mengeluhkan bahwa selama ini bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara terdekat dan bukan penerbangan jarak jauh. Konsekuensinya, hub internasional justru dinikmati negara lain.

Situasi ini, lanjut Aditia mengakibatkan pengoperasian bandara tak efektif dan efisien.

Pendapat serupa disampaikan Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi), Alvin Lie yang menyebut bahwa perampingan 17 bandara internasional juga bermaksud membangun efektivitas penerbangan. 

Sebab, singgungnya, banyak bandara yang berstatus internasional ternyata tidak memiliki jadwal penerbangan yang jelas. 

Bandara-bandara ini hanya menyemat status 'internasional' tanpa ada aktivitas penerbangan udara.

Alfin menjelaskan, dari total 34 bandara internasional yang ada di Indonesia, hanya sedikit yang beroperasi aktif, misalnya Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), Bandara Soekarno-Hatta (Banten), Bandara Sam Ratulangi (Sulawesi Utara), dan Bandara Kualanamu (Sumatera Utara). 

Kebijakan perampingan bandara dinilai menjadi langkah efektif untuk mengoptimalkan penerbangan internasional di satu pihak dan di pihak lain membangun konektivitas antara sesama penerbangan domestik. 

Dalam keterangan terpisah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyatakan dukungannya atas kebijakan Kemenhub.  

Adyatama Kepariwisataan Kemenparekraf, Nia Niscaya di Jakarta, Senin (29/04/2024) menyebut, alasan yang melatari kebijakan tersebut juga dilatari oleh pertimbangan bahwa tak semua negara juga membuka seluruh bandara. 

Ia menilai, pihak Kemenhub tentu memiliki pertimbangan yang matang terkait kebijakan tersebut guna mempermudah proses pengontrolan.

Dukungan lain datang dari Direktur Utama PT Angkasa Pura Indonesia (InJourney Airports), Faik Fahmi yang menilai keputusan Menhub bermaksud mendorong pertumbuhan pariwisata dan ekonomi melalui jalur pengelolaan ekosistem aviasi.

Lebih lanjut, Faik menyebut, KM Kemenhub akan memudahkan penerapan konsep regionalisasi yang membagi bandara menjadi hub dan spoke atau penyangga. 

Konektivitas antara bandara hub ke seluruh Indonesia berdampak menguntungkan pengusaha ekonomi dan pariwisata.

Pola seperti ini, lanjut Faik tergolong 'best practice' dalam industri aviasi global dan sudah berlaku efektif di banyak negara.

Kritik Kebijakan

Kebijakan perampingan 17 Bandara Internasional tidak hanya menuai tanggapan positif. Beberapa pihak justru menyebut kebijakan ini berdampak merugikan pelaku usaha pariwisata.

Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Soeharno berpendapat bahwa pencabutan izin bandara internasional akan mengganggu industri pariwisata dan kargo barang.

Industri pariwisata akan kehilangan akses pada wisatawan mancanegara yang semula menggunakan jasa bandara. 

Ia mencontohkan keberadaan bandara di Pontianak (Kalimantan Barat), Belitung (Kepulauan Bangka Belitung), dan Semarang (Jawa Tengah) yang jika tidak dioptimalkan, akan mengganggu para pelaku usaha.

Akses bandara yang dicabut tentu membawa kerugian tersendiri bagi mereka. 

Di pihak lain, urusan terkait kargo akan terganggu karena tidak ada lagi ruang khusus untuk karantina (CIQ) dan imigrasi.

Pauline beralasan, terganggunya urusan kargo disebabkan karena persyaratan kirim dan terima barang di Indonesia masih melewati prosedur bea cukai dan karantina.

Pendapat serupa disampaikan Sisko (35), seorang driver dan guide di Bandara Juwata (Kalimantan Utara). 

Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mempertimbangkan nasib hidupnya bersama kawan-kawan.

"Kalau di sini (Bandara Juwita) juga akhirnya ditutup, maka kami cari rezeki dari mana lagi?" keluh Sisko dalam sambungan telepon dengan PARBOABOA, Selasa (30/04/2024). 

Sebagai individu yang menggantungkan hidupnya pada usaha pariwisata, Sisko mengharapkan pemerintah mengambil kebijakan yang adil dan penuh pertimbangan.

"(Pemerintah) perlu mempertimbangkan ini secara baik. Lihat juga ke kami yang setiap hari menggantungkan hidup pada usaha pariwisata," ungkapnya.

Ia mengaku baru mendengarkan informasi ini beberapa hari belakangan melalui pemberitaan di media. 

Jika akhirnya ketentuan pemerintah disahkan, maka dirinya berniat untuk mengalihkan pekerjaan sebagai driver antarkabupaten.

"Jadi driver saja. Biar antar penumpang antarkabupaten," ungkapnya.

Sementara, Mantan Duta Besar RI untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra menyayangkan keputusan pemerintah untuk mencabut status internasional pada 17 bandara. 

Kebijakan itu dinilai bertentangan dengan seruan untuk mendorong terciptanya ”10 Bali Baru” melalui pengembangan sektor penerbangan internasional.

Ia mengaku kaget dengan informasi tersebut, terutama mengenai dampaknya terhadap pariwisata nasional dan perekonomian nasional di Indonesia.

Sebab, lanjut Yusron, kebijakan tersebut bertentangan dengan ikhtiar pemerintah untuk menggenjot industri pariwisata Tanah Air.

Ia pun berjanji akan menghubungi pihak pemerintah untuk bertanya soal alasan yang melatari kebijakan ini.

"Saya akan bertanya tentang logika atau latar belakang dari keputusan itu," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Selasa (30/04/2024).

Dalam pandangan Yusron, jika alasan pemangkasan bandara internasional dinilai karena menguntungkan penerbangan asing, maka jalan yang harus dibuat pemerintah Indonesia adalah meningkatkan daya saing dan bukan menutup bandara-bandara tersebut.

Hal ini disampaikan mengingat dirinya bersama beberapa kolega di Bangka Belitung tengah menggodok upaya untuk menarik banyak wisatawan asing untuk berkunjung ke daerah. 

Ia berharap, upaya tersebut menyedot perhatian wisatawan asing, selanjutnya membawah keuntungan bagi para pelaku usaha.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS