Rahim, Awal Kehidupan dan Peradaban

Rahim jadi tempat pertama kali kehidupan dimulai. (Foto: Dok.Hallosehat)

PARBOABOA, Jakarta – Rahim, organ kecil dalam tubuh perempuan, adalah tempat di mana kehidupan pertama kali dimulai. Di sanalah denyut pertama manusia terasa.

Lebih dari sekadar organ reproduksi, rahim menyimbolkan kekuatan penciptaan dan kelangsungan peradaban. Namun, mengapa rahim begitu penting, baik dari sisi biologis maupun sosial?

Liputan Khusus Parboaboa yang berjudul “Regulasi untuk Memuliakan Rahim Kaum Perempuan Indonesia,” diterbitkan pada Kamis (19/09/2024), menyoroti perjuangan panjang untuk menghargai perempuan sebagai makhluk yang memiliki rahim.

Harus kita akui, dulu rahim hanya dilihat sebagai alat untuk melahirkan. Namun, seiring perkembangan waktu, pemahaman kita tentang rahim berkembang. 

Sekarang, kita tahu rahim adalah pusat kehidupan, tempat bayi tumbuh hingga siap melihat dunia.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun lebih dari 140 juta bayi lahir di seluruh dunia.

Sementara, angka kelahiran di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 10.000 kelahiran per hari.

Angka ini berdasarkan data estimasi dari BPS dan PBB, yang menyebutkan bahwa pada tahun 2023 angka kelahiran di Indonesia sekitar 3,65 juta bayi per tahun.

Setiap kelahiran berawal dari rahim perempuan. Tanpa rahim, kelangsungan peradaban manusia akan terancam.

Walau demikian, rahim tidak hanya penting dari sudut pandang biologis, tapi juga dari perspektif agama.

Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Alaq menyebutkan bagaimana manusia berasal dari segumpal darah yang berkembang di dalam rahim.

Ayat ini mengingatkan kita tentang keajaiban penciptaan dan peran perempuan dalam menjaga umat manusia.

Pandangan ini juga tercermin dalam tradisi agama lain. Gereja Katolik, misalnya, menganggap rahim sebagai tempat kudus bagi kehidupan baru.

Hal ini diperkuat oleh, Mazmur 139:13 berbunyi, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku."

Ayat ini, menekankan keterlibatan langsung Tuhan dalam penciptaan sejak dalam rahim.

Keyakinan ini menegaskan bahwa kehidupan adalah pemberian dari Tuhan, sehingga setiap tindakan yang mengancamnya, seperti aborsi, bertentangan dengan martabat manusia yang diciptakan menurut gambar Tuhan (Kejadian 1:27).

Di luar konteks agama, berbagai budaya juga menganggap rahim sebagai simbol kesuburan dan penciptaan.

Di Indonesia, tradisi "mitoni" adalah salah satu contoh penghormatan terhadap rahim. Mitoni dilakukan untuk mendoakan keselamatan ibu dan janin yang dikandungnya, mencerminkan betapa berharganya kehidupan yang tumbuh di dalam rahim.

Sementara , secara legal, Indonesia telah mengakui pentingnya kesehatan rahim. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan reproduksi adalah bagian integral dari kesehatan masyarakat.

Setiap perempuan di Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan akses yang layak ke layanan kesehatan reproduksi, termasuk untuk menjaga kesehatan rahim.

Namun, implementasi undang-undang ini masih menghadapi banyak tantangan. Di beberapa daerah terpencil, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi masih sangat terbatas.

Komnas Perempuan telah mencatat bahwa perempuan di daerah-daerah tersebut seringkali tidak mendapatkan perawatan yang memadai untuk menjaga kesehatan rahim mereka.

Ini menjadi perhatian serius karena kesehatan rahim tidak hanya mempengaruhi kesuburan, tetapi juga kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Upaya untuk melindungi perempuan dan rahim mereka juga telah dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Adapun lembaga ini dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 oleh BJ Habibie, lembaga ini berupaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang merusak kesehatan reproduksi mereka.

Perkembangan teknologi medis telah membuka jalan baru bagi perempuan yang menghadapi masalah kesehatan rahim.

Salah satu teknologi yang berkembang pesat adalah In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung.

Data dari Human Fertilization and Embryology Authority (HFEA) menunjukkan peningkatan tingkat keberhasilan IVF dalam beberapa tahun terakhir, memberi harapan bagi banyak pasangan yang berjuang menghadapi masalah kesuburan.

Selain IVF, transplantasi rahim kini mulai dieksplorasi sebagai solusi bagi perempuan yang tidak memiliki rahim tetapi ingin mengandung.

Beberapa kasus transplantasi rahim di luar negeri telah berhasil, menunjukkan bahwa teknologi ini bisa menjadi jalan keluar di masa depan bagi perempuan yang tidak dapat mengandung secara alami.

Terlepas dari kemajuan medis, tantangan sosial masih ada. Di banyak masyarakat, perempuan yang tidak bisa mengandung sering kali dihadapkan pada stigma.

Padahal, kesehatan rahim bukan hanya soal kemampuan untuk melahirkan, tetapi juga tentang keseimbangan hormon dan kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Sementara itu, gerakan feminisme telah lama memperjuangkan hak perempuan atas tubuh mereka sendiri, termasuk hak atas rahim.

Sejak abad ke-20, Gerakan Hak Reproduksi menekankan bahwa perempuan harus memiliki kendali penuh atas rahim mereka, termasuk keputusan untuk hamil atau tidak.

Di Indonesia, UU No. 36 Tahun 2009 memberikan hak kepada perempuan untuk memilih terkait kehamilan dan kesehatan reproduksi mereka.

Namun, seperti yang dilaporkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama di daerah terpencil, masih sangat terbatas.

Rahim bukan sekadar organ reproduksi. Ia adalah simbol penciptaan dan kelangsungan peradaban. Di sinilah generasi baru lahir, dan di sinilah masa depan dibentuk

Kesadaran tentang pentingnya rahim harus terus ditingkatkan. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi perlu diperluas, terutama di daerah-daerah yang aksesnya masih terbatas.

Di sisi lain, dukungan hukum dan kebijakan yang lebih kuat juga dibutuhkan untuk melindungi hak-hak perempuan dalam menjaga kesehatan rahim mereka.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS