PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Rusia pada Selasa (22/11/2022) meminta Turki agar dapat menahan diri dari "penggunaan kekuatan yang berlebihan" di Suriah, di mana Ankara telah melakukan serangan udara dan mengancam akan melancarkan serangan darat terhadap kelompok Kurdi.
“Kami berharap dapat meyakinkan rekan-rekan Turki kami untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan yang berlebihan di wilayah Suriah untuk menghindari eskalasi ketegangan,” ujar Alexander Lavrentyev, utusan khusus Presiden Rusia Vladimir Putin di Suriah, kepada wartawan di Astana.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebelumnya bersumpah akan menyerbu Suriah dengan serangan udara da angkatan daratnya sebagai serangan udara dan angkatan darat sebagai balasan atas roket yang ditembakkan milisi Kurdi.
Serangan roket itu diluncurkan dari kawasan utara Suriah dan diduga dilakukan oleh milisi Kurdi.
"Tidak diragukan lagi bahwa operasi ini tidak hanya terbatas pada operasi udara," tutur Erdogan, dilansir dari AFP.
"Otoritas yang kompeten, kementerian pertahanan, dan kepala staf akan bersama-sama memutuskan tingkat kekuatan yang harus digunakan oleh pasukan darat kami," terangnya
Erdogan menjelaskan kepada mereka yang melanggar wilayah bakal menebus tindakan mereka, sesuai dengan peringatan yang telah disampaikannya selama ini.
"Kami telah memperingatkan bahwa kami akan membuat mereka yang melanggar wilayah kami membayar [atas perlakuannya]," ucapnya.
Tedapat sebuah roket diketahui ditembakkan dari wilayah Suriah ke perbatasan Turki, Karkamis, pada Senin hingga menewaskan tiga orang.
Serangan tersebut terjadi sehari setelah Turki melakukan serangan udara ke sejumlah basis militan di Suriah utara dan Irak yang menghancurkan 89 target, kata Kementerian Pertahanan Turki. Serangan udara itu dilakukan Turki sebagai pembalasan atas serangan bom di kota Istanbul yang menewaskan enam orang dan melukai 81 orang lainnya pekan lalu.
Otoritas Turki menyalahkan kelompok Kurdi, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) atas ledakan Istanbul tersebut.
PKK telah mengobarkan pemberontakan berdarah di Turki selama beberapa dekade dan ditetapkan sebagai kelompok teror oleh Ankara dan sekutu Baratnya. Namun, pihaknya membantah terlibat dalam ledakan bom di Istanbul pada 13 November tersebut.