Dipicu Pola Konsumsi, Sampah Makanan Terbesar Berasal dari Rumah Tangga

Sejumlah pemulung memulung sampah di Bantar Gebang. (Foto: Parboaboa/Bina Karos)

PARBOABOA - Sampah makanan, atau sampah-sampah yang berasal dari sisa makanan, seringkali berakhir di tempat pembuangan sampah, tidak semuanya didaur ulang, dan menjadi pemicu pencemaran lingkungan.

Di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat misalnya, sampah makanan menguap begitu saja. Sedikitnya 7.500 ton hingga 8.000 ton sampah dari DKI Jakarta dibuang di sana.

Di sana, sampah makanan hanya jadi makanan kambing milik warga yang sengaja dilepas warga sekitar.

Salah satu pemulung di sana, Samudi, mengaku sampah makanan tidak menjadi sumber penghasilan. Dia tak mengambil sampah sisa makanan karena tidak bisa dijual ke pengepul. Dia hanya mengambil plastik dan botol serta gelas bekas minuman kemasan yang dapat dia jual Rp400 rupiah per kilogram dan botol Rp700 rupiah per kilogram.

Warga yang tinggal dekat TPST Bantar Gebang mengaku tidak nyaman tinggal di dekat pembuangan sampah dan kerap mencium bau sampah menyengat. “Kadang-kadang aja kecium baunya kalau beko lagi ngeruk sampah,” ujar Asrianti, salah satu warga, kepada Parboaboa, Rabu pekan lalu.

Tapi, perempuan yang tinggal sejak 2005 di kelurahan Cikiwul, Bantar Gebang itu, mengaku tak pernah sakit selama tinggal di sana.

Warga lainnya, Aqun juga sering mencium bau sampah menyengat. Rumah Aqun berjarak sekitar satu kilometer dari TPST Bantar Gebang, dan sudah terbiasa dengan lingkungan yang tidak sehat itu.

Sampah makanan berpotensi menimbulkan penyakit yang cukup berbahaya. Gas metana yang dihasilkan oleh sampah organik di TPA 25 kali lebih kuat, mengalahkan polusi karbon dari knalpot kendaraan biasa.

“Kalau dari sisi kesehatan jelas sampah pangan itu kan cepat busuk. Dari sumber pencemaran bau, kemudian juga jadi sarang penyakit untuk lalat, tikus, dan sebagainya. Ini sangat berpotensi untuk menimbulkan penyakit-penyakit yang cukup berbahaya,” kata Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, kepada Parboaboa pekan lalu.

Dia katakan, sampah pangan telah menjadi perhatian global karena terkait dengan penurunan emisi gas rumah kaca. “Sampah pangan yang tidak diolah berpotensi menghasilkan metana,” kata Titiek.

Sampah rumah tangga

Sejumlah truk antre untuk menurunkan sampah di Bantar Gebang, Rabu (24/5/2023). (Foto: Parboaboa/Muazam) 

Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia laporan Bappenas tahun 2021, sampah makanan (food loss and waste) Indonesia selama tahun 2000-2019 telah mencapai 23-48 juta ton per tahun, atau setara dengan 150-184 kilogram per kapita tiap tahunnya.

Pada Tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, sebanyak 41,28 persen sampah—dari total 20,4 juta ton—bersumber dari sisa makanan.

Riset Yayasan Gita Pertiwidi Kota Solo dan Surakarta pada 2018, menunjukan bahwa setiap keluarga menghasilkan sampah pangan sebesar 0,49 kilogram per keluarga per hari, atau kira-kira hampir 33 persen dari total sampah yang dihasilkan dari sampah pangan itu.

“Secara kuantitas naik, secara persentase kontribusi terhadap timbulan sampah Kota Surakarta juga naik. Dan ini juga sangat ironis sekali, angka stunting di Kota Surakarta dan Solo itu nomor dua tertinggi setelah Kota Tegal di tingkat Provinsi Jawa Tengah,” katanya, Jumat pekan lalu. 

Titik memaparkan, United Nation Environment Programme (UNEP) juga meluncurkan UNEP Food Waste Index Report 2021, dan hingga 2019 lalu tercatat sekitar 931 juta ton sampah makanan yang dihasilkan setiap tahunnya.

“61 persen berasal dari rumah tangga, 26 persen dari layanan makanan (restoran, kafe), dan 13 persen dari ritel. Dari angka tersebut menunjukkan bahwa 17 persen dari total produksi pangan dunia menjadi sampah makanan dan penyumbang terbesarnya adalah dari rumah tangga,” paparnya.

Peningkatan jumlah sampah pangan tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat yang makan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan akibatnya seperti apa.

Zeinal Wujud, seorang warga Cibubur, mengatakan dalam sehari keluarganya menghasilkan satu tong sampah campuran, berisi sisa makanan dan plastik. Sampah-sampah itu nantinya akan diangkut oleh petugas RT.

Kadang Zeinal memilah sendiri sampahnya untuk dijual di bank sampah dekat rumahnya di kawasan Ciracas, Jakarta Timur. “Di RT ada bank sampah, pernah pilih sendiri, sampah plastik dipilah nanti ditimbang ke bank sampah,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia menyebut sering membuang sisa makanan yang tak habis. “Makanan sering kebuang, kayak lawuk. Ya, karena gak ada yang makan, nggak habis. Udah dimakanin, cuma gak abis, kadang gak sempat makan udah keburu basi,” jelas Zeinal.

Riduwansyah, warga lainnya, mengaku menyebut sehari keluarganya bisa menghasilkan sampah sekantong plastik, termasuk sampah makanan.

Menurut Titiek, sampah makanan juga banyak berasal dari pesta-pesta atau di acara hajatan.

“Mereka [tamu-tamu] senantiasa begitu banyaknya hidangan, mereka mengambil piringnya penuh. Nah itu yang sebetulnya kami advokasi juga diedukasi ke Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), kemudian ke tempat catering, itu bagaimana ukuran piringnya itu tidak terlalu besar,” ujarnya.

Dipicu Pola Konsumsi

Samudi sedang memilah sampah di lapaknya, Rabu (24/5/2023). (Foto: Parboaboa/Muazam)

Untuk menangani persoalan sampah makanan, Titik mengatakan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan memperbaiki pola konsumsi masyarakat yang harus sesuai dengan kebutuhan.

“Misalnya ukuran piring khususnya yang untuk hajatan, hotel, dan catering, bisa tidak piringnya medium? Tidak piring yang besar sekali, karena kalau piringnya besar orang cenderung akan memenuhi itu,” katanya.

Solusi lainnya, membuat regulasi. Semisal, daripada membuang makanan yang akan habis masa tenggangnya, perusahaan pangan diwajibkan mendonasikannya untuk dibagikan kepada kelompok-kelompok yang membutuhkan. Tentu saja makanan itu masih layak dikonsumsi, dan pengelolaannya dilakukan lembaga legal dan diakui pemerintah. 

Lalu bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah?

Humas Dinas Lingkungan Hidup Yogi menjelaskan Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta telah mewajibkan perusahaan untuk mengelola sampahnya sendiri. Hal ini berdasarkan Pergub nomor 102 Tahun 2021 tentang kewajiban pengelolaan sampah di kawasan dan perusahaan.

Sementara di lingkup warga, Dinas Lingkungan Hidup mewajibkan pengurus RW untuk mengelola sampah menjadi bahan yang bermanfaat seperti kompos dan pupuk. Ke depan akan digiatkan sosialisasi pola konsumsi warga agar tidak membuang-buang makanan. 

“Pengurangan sampah makanan melalui sosialisasi atau kampanye pola konsumsi atau penyajian yang baik sehingga sampah makanan yang dihasilkan dapat tereduksi,” ujar Yogi saat dihubungi Parboaboa, Jumat pekan lalu.

“Penanganan sampah makanan, melalui sosialisasi atau kampanye pengelolaan sampah makanan dengan maggot, composting, lubang biopori serta Takakura (mengurai sampah agar tidak berbau),” katanya.

*Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus edisi ‘sampah makanan’.

Reporter: Achmad Rizki Muazam, Mhd. Anshori

Editor: Tonggo Simangunsong
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS