Sejumlah Serangan Ganggu Pemilu Filipina, Anak Mantan Diktator Unggul

Warga Quezon City, Filipina, berbondong-bondong memberikan suaranya dalam Pemilu yang berlangsung Senin (9/5/2022). AP

PARBOABOA, Pematangsiantar - Pemilu Filipina  yang berlangsung pada Senin (9/5/2022) terganggu oleh serangkaian serangan mematikan dan ledakan granat. 

Tiga petugas keamanan dilaporkan tertembak mati di salah satu tempat pemungutan suara (TPS) di Buluan, Pulau Mindanao, wilayah selatan yang bergejolak. 

Sementara sembilan orang dilaporkan terluka akibat ledakan lima granat yang dilempar di luar TPS. 

Menurut keterangan polisi, insiden itu terjadi ketika sekelompok orang bersenjata melepas tembakan membabi-buta di gedung sekolah yang dijadikan TPS.

Mantan Wali Kota Buluan, Ibrahim Mangudadatu, menuturkan warga di dalam sekolah langsung berlari mencari perlindungan saat penembakan berlangsung.

Sementara itu, juru bicara kepolisian Manguindanao, Mayor Roldan Kuntong, menyampaikan satu petugas lain terluka dalam serangan tersebut.

Sedangkan serangan granat terjadi pada Minggu malam di Datu Unsay, Pulau Mindanao, wilayah kekuasaan kelompok bersenjata dan pemberontak komunis Filipina.

Dari keterangan polisi, para korban ledakan yang terluka sebelumnya telah melakukan perjalanan jauh dari pegunungan terpencil guna memberikan suara mereka di TPS. 

Selang beberapa menit, sebuah granat lainnya meledak di wilayah tetangga, Shariff Aguak, meski tak menyebabkan korban.

"Memang ada kebiasaan dari warga untuk turun (ke balai kota) lebih awal dari desa mereka di pegunungan yang terletak delapan sampai 12 jam berjalan kaki," ucao juru bicara kepolisian Provinsi Maguindanao, Roldan Kuntong, seperti dikutip AFP.

Pada 2009, Maguindanao menjadi tempat kekerasan politik paling mematikan di negara itu. 

Sebanyak 58 orang tewas dibantai kelompok bersenjata yang diduga bekerja untuk seorang panglima perang lokal untuk menghentikan saingannya mengajukan pencalonan sebagai kepala wilayah setempat. Puluhan korban adalah wartawan yang meliput pemilihan tersebut.

Marcos Junior dikhawatirkan menang
Sementara itu, putra mantan diktator Ferdinand Marcos, Ferdinand 'Bongbong' Marcos Junior, menjadi calon presiden terkuat dalam Pemilu kali ini untuk menggantikan Presiden Rodrigo Duterte.

Akan tetapi, kelompok hak asasi manusia, pemimpin gereja Katolik, dan para penentang klan Marcos, khawatir dengan pencalonan Marcos Junior sebagai presiden.

Para oposisi khawatir, jika Marcos Junior menang maka ia akan memerintah dengan tangan besi, seperti ayahnya. Lebih dari 65 juta warga Filipina diperkirakan bakal mengikuti Pemilu kali ini.

Ribuan personel dari kepolisian, angkatan bersenjata dan penjaga pantai telah menyebar di seluruh Filipina untuk membantu mengamankan tempat pemungutan suara, mengawal proses Pemilu, dan menjaga pos pemeriksaan.

Hingga Minggu, ada 16 "insiden terkait Pemilu yang disahkan" sejak 9 Januari, termasuk empat penembakan dan "sedikit penahanan ilegal", kata juru bicara polisi nasional Brigadir Jenderal Roderick Alba.

Itu disebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 133 insiden selama pemilihan presiden 2016 dan 60 insiden dalam pemilihan paruh waktu 2019.

Sebanyak sepuluh kandidat maju dalam pemilihan presiden Filipina untuk menggantikan Rodrigo Duterte. 

Meski demikian, hanya Marcos Jr dan lawannya, Leni Robredo, yang kini menjabat sebagai wakil presiden, memiliki peluang besar untuk menang.

Menurut laporan AFP, hasil jajak pendapat menunjukkan Marcos Jr sedang menuju kemenangan besar. Ia memiliki pemilih dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Robredo.

Menurut analis Eurasia Group, Peter Mumford, Marcos Jr disebut memiliki kesempatan menang sebanyak 75 persen. Namun, angka tersebut masih belum menjamin hasil pemilu.

"Kami pikir itu (kemenangan Marcos Jr) bakal memperburuk krisis kemanusiaan di negara ini," kata sekretaris jenderal dari aliansi hak asasi manusia Karapatan, Cristina Palabay.

Analis politik Richard Heydarian memperingatkan kemenangan Marcos Jr dapat membuat pria itu mengganti dasar hukum untuk memperkuat kekuasaan dan melemahkan demokrasi.

"(Rodrigo) Duterte tidak pernah menghukum orang dan menggunakan uang untuk menjalankan agenda otoriternya ke logika yang ekstrem," kata Heydarian.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS