PARBOABOA, Jakarta - Self-Harm atau upaya menyakiti diri sendiri sedang digandrungi di kalangan anak muda.
Gangguan psikologis ini terjadi hampir di banyak tempat, salah satunya terekam dalam liputan khusus Parboaboa bertajuk, Agar Gen Z Tak Menyakiti Diri Sendiri.
Rafi dan Alissa, dua anak muda yang energik pernah mengalaminya.
Rafi acap kali menyayat-nyayat lengan bawah bagian dalam menggunakan cutter sedangkan Alissa merobek pergelangan kedua tangannya dengan silet.
Keduanya memilih menyakiti diri sendiri karena perasaan tertekan, ditinggalkan dan kesepian. Beruntung, di tengah gejolak melukai diri sendiri mereka diselamatkan atas bantuan psikolog.
Secara global, berdasarkan temuan Asosiasi Psikologi AS, sekitar 17% remaja rentan melukai diri sendiri dan sekitar 5% orang dewasa melaporkan hal serupa.
Sementara itu, di kalangan anak-anak usia 5-10 tahun, hanya 1% yang mengakui pernah melukai diri. Laporan yang sama menyebut, perempuan lebih mungkin melakukan tindakan self-harm dibandingkan laki-laki.
Penelitian M. Fardi Anugrah dkk (2023) menunjukkan, rasio kejadian self-harm pada remaja perempuan lebih tinggi disebabkan karena cara mereka memecahkan masalah cenderung lebih sulit daripada laki-laki.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Nina M. Lutz dan tim dalam jurnal National Library of Medicine.
Di sana, disebutkan, perempuan dua kali lebih mungkin melaporkan tindakan melukai diri sendiri ketimbang laki-laki.
Penstudi menemukan bahwa meskipun wanita cenderung memiliki kesadaran dan pemahaman yang lebih mendalam tentang emosi mereka, peningkatan perhatian ini dapat menjadi bumerang.
Ketika cara mereka merespons justru memperpanjang dan memperburuk perasaan negatif, hal ini dapat menyebabkan disregulasi emosi seperti perenungan yang berlebihan.
Orang dengan disregulasi emosi yang tinggi cenderung merasakan emosi mereka dengan sangat kuat dan sulit dikendalikan.
Alhasil, mereka akan beralih ke perilaku melukai diri sendiri untuk menghentikan ';ledakan emosional' yang dialami.
Self-Harm di Kalangan Pecandu Narkoba
Parboaboa menulis, self-harm bisa dilakukan oleh siapa saja. Tak peduli latar belakang sosial dan ekonomi, semua bisa melakukannya - termasuk oleh anak orang kaya.
Sebagai salah satu bentuk gangguan psikologis, self-harm dilakukan untuk melepaskan tekanan dan rasa sakit dalam diri pelaku.
The Recovery Village (TRV), situs resmi perawatan narkoba dan alkohol menulis, mereka yang menyalahgunakan narkoba lebih mungkin untuk menyakiti diri sendiri daripada yang lain.
Bahkan ada beberapa jenis narkoba yang sangat berbahaya jika dikombinasikan dengan perilaku menyakiti diri sendiri.
Penggunaan narkoba jenis amfetamin, misalnya, berkontribusi pada kasus-kasus parah seperti pemotongan tangan dan pengebirian.
Penggunaan narkoba jenis ini bahkan dapat menyebabkan tindakan menyakiti diri sendiri pada beberapa orang yang sebelumnya tidak pernah melakukannya.
Demikian dengan penggunaan benzodiazepin. Saat pecandu benzodiazepin berhenti, dapat menyebabkan depresi dan perilaku melukai diri.
Lebih-lebih, beberapa pengguna benzodiazepin tak jarang menyalahgunakannya untuk menyakiti diri sendiri, meski diawasi dokter.
Selain itu, menyakiti diri sendiri sering terjadi saat berada di bawah pengaruh alkohol. Perempuan yang melakukan self-hilm, dalam laporan TRV, menunjukkan ada peningkatan nyata dalam tingkat konsumsi alkohol.
Mengatasi hal ini, TRV menganjurkan adanya upaya terapi kognitif. Dalam banyak kasus, langkah ini menunjukkan keberhasilan dalam mengatasi perilaku menyakiti diri sendiri dan kecanduan, seperti halnya terapi keluarga.
Selebihnya, mengungkap trauma masa lalu yang mungkin memicu perilaku adiktif dan menyakiti diri sendiri juga dapat menjadi bagian penting dari pengobatan, sehingga pemicunya dapat ditangani dengan cara yang lebih sehat.
Terpisah, dalam sebuah keterangan, Dokter Kejiwaan, dr. Widea Rossi Desvita, menekankan pentingnya self-love dan self-care untuk mengatasi self-harm.
Self-love berarti menerima dan menghargai diri sendiri, sebagai fondasi untuk menjalani hidup dengan damai, bahagia dan bermanfaat.
Sedangkan self-care memberikan ruang untuk beristirahat dari rutinitas, membangun hubungan yang sehat dengan diri sendiri.
Dr. Widea menjelaskan mengganti self-harm dengan self-love bukanlah hal yang mudah dan memerlukan dukungan dari lingkungan yang kondusif.
"Butuh niat," tegasnya. Prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan, "tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin," tambahnya.
Ia menegaskan, self-harm memang memberi kepuasan, namun bersifat sementara dan sering menimbulkan penyesalan. Sementara self-love dan self-care menawarkan manfaat jangka panjang dan kebiasaan positif untuk kualitas hidup.
Ia menegaskan, penting untuk terus belajar dan mencintai diri sendiri, karena kehidupan adalah ujian yang membutuhkan kekuatan dan tujuan yang lebih besar.
Dengan belajar, kata dia, manusia dapat meningkatkan kapasitas diri dan menjadi manusia yang kuat, bahagia dan bermanfaat.
Editor: Gregorius Agung