SKI Harus Lebih Dari Sekedar Laporan Status Kesehatan Masyarakat

Wamenkes Dante bersama kepala BKPK Liza Munira. (Foto: Dokumen Kemenkes)

PARBOABOA, Jakarta - Survei Kesehatan Indonesia (SKI) merupakan aspek penting untuk mengukur sekaligus memantau kesehatan masyarakat.

Karena itu, pelaksanaan sekaligus hasil kegiatan ini tidak boleh hanya sebatas menjadi laporan status kesehatan tetapi juga harus menjadi acuan dasar menyusun kebijakan.

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Dante mengatakan kebijakan di bidang kesehatan perlu dipersiapkan secara matang untuk mengetahui hasil pembangunan di sektor tersebut selama 5 tahun terakhir.

"Data kesehatan ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka menyusun kebijakan kesehatan," kata Wamenkes Dante pada acara Diseminasi Hasil SKI di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

SKI sendiri sebenarnya baru dilaksanakan pada tahun 2023. Sebelum dilaksanakannya program SKI, ada dua survei besar di bidang kesehatan, yaitu  Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI).

Riskesdas terakhir dilakukan pada tahun 2018 dan SSGI dilaksanakan pada 2022. Kini keduanya diintegrasikan menjadi SKI.

Dante melanjutkan, hasil SKI 2023 akan segera terangkum dalam 6 pilar transformasi kesehatan, yaitu transformasi layanan rujukan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi layanan primer, transformasi teknologi kesehatan dan SDM.

Belajar dari Pandemi Covid 19 tegas dia, ketersediaan data dan informasi kesehatan yang akurat dan terkini dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional sangat penting untuk menyusun program dan kebijakan kesehatan yang efektif.

Pada kesempatan yang sama, Liza Munira, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menyatakan SKI 2023 menghasilkan berbagai data dasar kesehatan yang komprehensif.

Hampir semua jenis penyakit terdeteksi mulai dari penyakit menular, penyakit tidak menular, kesehatan jiwa, disabilitas, kesehatan ibu dan anak dan biomedis.

Selain itu terdeteksi juga kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan, farmasi dan pengobatan tradisional, pengetahuan dan perilaku kesehatan hingga status gizi.

Liza menegaskan pelaksanaan survei ini berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan mulai dari Badan Pusat Statistik (BPS) hingga pemerintah daerah.

"Kemenkes melaksanakan survei Kesehatan Indonesia di 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi, berkolaborasi dengan Badan Pusat Statistik, Setwapres, Kemendagri, dan Kemenko PMK serta pemerintah daerah," katanya.

Salah satu hasil survei tegas Liza menunjukkan, anak muda usia 15-24 tahun di Indonesia, dengan prevalensi 2 persen rentan mengalami depresi.

Bahkan 61 persen dari mereka yang depresi sempat berpikiran untuk bunuh diri. Sayangnya, demikian ia menambahkan hanya sekitar 10,4 persen dari mereka yang mencari pengobatan.

Adapun prevalensi penduduk dengan gangguan depresi tertinggi masing-masing berada di Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Banten.

Sementara itu Bali menjadi daerah dengan tingkat depresi usia muda terendah. 

Dilihat dari jenis kelamin, resiko depresi anak muda perempuan lebih besar ketimbang laki-laki yaitu 2,8 persen berbanding 1,1 persen.

"Mereka yang mengalami kondisi ini dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat sebaik-baiknya," tutup Liza. 

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS