Stigma Negatif Terhadap Kesehatan Mental di Pematangsiantar Masih Mengakar

Psikolog Ruth Maya Tamba menjelaskan pentingnya menjaga kesehatan mental. (Foto: Parboaboa/Ronald)

PARBOABOA, Pematangsiantar – Masalah kesehatan mental di Indonesia umumnya masih dihadapkan dengan stigma negatif.

Di Pematangsiantar, misalnya, stigma ini tidak hanya terbatas di kalangan masyarakat.

Bahkan, penderita gangguan mental yang seharusnya mendapatkan perawatan khusus seringkali masih enggan untuk berkonsultasi.

Hal ini dibenarkan oleh Pendiri Biro Layanan Psikologi Epic Consulting, Ruth Maya Tamba.

Maya menjelaskan bagaimana isu kesehatan mental belum bisa diartikan secara baik.

Dalam beberapa kasus yang ditangani, Maya menerangkan bahwa ada pasien yang masih malu untuk bertemu dengan orang lain, apalagi sampai diketahui sedang menjalani pengobatan untuk kesehatan mentalnya.

“Setiap konsultasi/konseling aku selalu ngasih tugas buat pasien dan beberapa dari mereka memilih mengerjakan semuanya di tempat ini, jadi gak dibawa pulang karena malu katanya,” ungkapnya kepada Parboaboa, Jumat (14/6/2024).

Masalah kesehatan mental tidak melulu soal depresi atau stres.

Kecemasan dan adiksi (kecanduan) terhadap sesuatu juga masuk kategori masalah kesehatan mental, meski dalam kelas ringan.

“Orang berpikir kasus kesehatan mental ini selalu dikaitkan dengan kasus klinis, padahal adiksi terhadap game, minuman, atau hal lain juga bisa jadi masalah kesehatan mental,” ucap Maya.

Maya, yang juga seorang psikolog, menganalogikan kasus kesehatan mental itu seperti flu atau pilek.

“Itu (flu dan pilek) kalau dibiarkan kan bisa sembuh dengan penanganan yang tepat, tetapi juga bisa semakin parah bila dibiarkan begitu saja,” tegasnya.

Dalam penjelasannya, Maya berharap bahwa siapapun yang hendak ke psikolog atau psikiater tidak harus menunggu sampai mengalami kasus yang berat.

Sekadar mengecek kesehatan mental dan konseling (psikoterapi), kata dia, ternyata bisa menjadi solusi agar kita bisa melihat masalah kesehatan mental dari dalam diri.

“Kebanyakan yang datang itu sudah mulai masuk ke dalam kasus (kesehatan mental) yang ringan, seperti anxiety (kecemasan) atau bahkan depresi ringan, menengah, dan berat, hingga gangguan-gangguan kepribadian,” terang Maya.

Menurut Maya, stigma yang terbangun di masyarakat juga menjadi alasan sehingga banyak yang cenderung abai dengan isu kesehatan mental ini.

Selain dipandang sinis, terangnya, tarif yang mahal juga menjadi alasan lain masyarakat mengabaikan masalah ini.

Diketahui, Maya dan rekan psikolog lain yang bergabung dengan Asosiasi Psikolog Rumah Sakit Indonesia (APRSI) juga tengah memperjuangkan agar layanan psikologi di Pematangsiantar mendapat akses pelayanan BPJS Kesehatan, seperti yang berlaku di beberapa daerah di Pulau Jawa.

Menurut Maya, pemanfaatan media sosial sebagai wadah solutif untuk menyuarakan isu kesehatan mental sangat penting, apalagi katanya persentase pengguna media sosial di Indonesia termasuk di Pematangsiantar terbilang cukup tinggi.

“Kalau malu dilihat orang atau mau gratis, di media sosial juga banyak psikolog yang menyediakan layanan gratis untuk sekadar konsultasi atau konseling, kita manfaatkan saja. Lagi pula kalaupun harus berbayar, kesehatan mental kita lebih berharga dibanding nominal yang dikeluarkan,” sambungnya.

Demikian Konselor Sebaya, Nurhazlina Hasibuan (23), juga menangkap pesan dari masyarakat dalam menanggapi masalah kesehatan mental.

“Masyarakat masih beragam di sini (Pematangsiantar). Ada yang sudah mulai terbuka dan paham, ada juga yang masih terpengaruh stigma lama yang melekat,” ungkap Nana, panggilannya, kepada Parboaboa, Selasa (18/6/2024).

Sejak 2020 lalu, Nana membangun komunitas peduli kesehatan mental di Pematangsiantar.

Lewat komunitas itu, ia melihat bagaimana masalah kesehatan mental berkembang di masyarakat dan mulai menyuarakan tentang pentingnya menjaga kesehatan mental.

“Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik,” tegas pemerhati isu kesehatan mental di Pematangsiantar ini.

Nana mengakui bahwa isu ini sering dipandang sebelah mata meski seharusnya mendapat perhatian yang sama dengan masalah kesehatan lain.

Bagi Nana, pendekatan yang edukatif perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya menjaga kesehatan mental, sama seperti menjaga kesehatan fisik.

Selain edukasi, jelasnya, harus mulai menyediakan layanan konseling untuk masyarakat, mengadakan pelatihan bagi tenaga kesehatan.

Termasuk, melakukan kampanye kepada masyarakat perihal kesehatan mental.

Seorang pasien, Nisa Bukit (23), juga mengaku sempat mendapat penilaian buruk dari orang-orang di sekitarnya, bahkan keluarganya.

Nisa akhirnya memberanikan diri untuk terbuka dan menerima semua stigma demi kesehatan mentalnya.

“Orang-orang nganggap aku ‘gila’, bahkan keluarga pun masih malu untuk mengakui kalau aku berobat ke psikiater,” ungkap Nisa kepada Parboaboa, Senin (17/6/2024).

Nisa menerangkan bahwa ia sempat menjalani pengobatan rutin selama empat bulan (Maret – November 2023).

Ia mengalami kesulitan dalam belajar, berkomunikasi, hingga ia mengalami depresi. Ia mengakui tidak ingin bertahan lama dengan kondisi seperti ini.

Hal ini pula yang menjadi alasan bagi Nisa akhirnya memberanikan diri untuk menjalani pengobatan di psikiater.

“Kalau ditahan terus, kapan sembuhnya? Konseling juga penting supaya beban yang ada di pikiran kita bisa sedikit demi sedikit kita lepaskan. Lagian uang yang harus kita keluarkan tidak lebih penting dibanding dengan masalah yang kemungkinan bisa menjadi lebih besar nantinya,” pungkas Nisa.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS