Tak Ada Indikator Jelas, Pengamat: Tarik Surat Edaran Etika Penggunaan Klakson di Pematang Siantar!

Pengamat menilai Surat Edaran (SE) Wali Kota tentang imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Kota Pematang Siantar tidak memiliki indikator yang jelas. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung menilai, Surat Edaran Nomor 500.11.1/5302/VII/2023 tentang Imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Wilayah Kota Pematang Siantar tidak memiliki indikator yang jelas, meskipun tujuannya baik.

"Tujuannya sebenarnya baik. Tapi proses dalam menerapkan peraturan dan regulasi tersebut harus melalui langkah-langkah yang benar. Seharusnya dibuat Perda (peraturan daerah) dulu, baru ditetapkan wali kota sebagai kepala eksekutif di daerah," katanya kepada PARBOABOA saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (31/7/2023).

Dalam SE Wali Kota Pematang Siantar tentang Imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Wilayah Kota Pematang Siantar yang ditetapkan pada 26 Juli 2023 itu disebutkan standar batasan ideal suara klakson paling rendah 83 desibel dan paling tinggi 118 desibel sesuai Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012.

Dalam SE Wali Kota tersebut juga disebutkan, setiap pengendara bermotor roda 2 yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan salah satunya meliputi penggunaan klakson maka akan dibebankan hukuman penjara paling lama 2 bulan dan denda sebesar Rp250.000 dan untuk pengguna kendaraan bermotor roda 4 atau lebih akan dibebankan hukuman penjara paling lama 2 bulan dan denda sebesar Rp500.000.

Lisman Manurung menyebut, Pemko Pematang seharusnya mengacu pada Pasal 7 di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebut surat edaran tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan.

"Seharusnya di dalam surat edaran tidak memiliki sanksi. Muatan dalam surat edaran tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam produk perundang-undangan yang didasarinya, sebab bersifat pemberitahuan yang dianggap penting dan mendesak," ungkapnya.

Manurung lantas meminta Pemko Pematang Siantar memperkuat kedudukan Surat Edaran tersebut agar penerapannya bisa diterapkan di kalangan masyarakat.

"Jangan ujuk-ujuk produknya beredar di masyarakat dan supaya cepat-cepat mengambil keputusan. Naskahnya hanya boleh diterbitkan setelah dapat persetujuan ke pemerintah diatasnya, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat sendiri jika pada akhirnya ada muatan dan ketentuan hukumnya," jelasnya.

Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi UI ini juga menduga kemungkinan terjadi gesekan di masyarakat jika pada akhirnya penindakan dan penerapannya dari Surat Edaran Wali Kota itu tidak tepat.

Surat Edaran Wali Kota tentang imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Kota Pematang Siantar. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba) 

"Pastinya ada resistensi penolakan yang tinggi di masyarakat jika pertimbangannya tidak ada kejelasan. Contohnya saja jika ambulans dan pemadam kebakaran yang melintas, bagaimana penilaiannya? Sebab tidak ada pengecualian seperti itu tertera di dalam surat edaran tersebut," kata Lisman Manurung.

Ia menyarankan agar Surat Edaran Wali Kota tersebut ditarik untuk dibahas dan disempurnakan penerapannya bersama DPRD Kota Pematang Siantar.

"Sebaiknya ditarik dulu, DPRD bisa juga mempertanyakan hal ini (surat edarannya). Pastinya sebelum diterbitkan pasti ada pembahasan public policy-nya, sosialisasi bagaimana kepada masyarakat dan memanggil wali kota untuk bertanggung jawab dalam memutuskan hal tersebut," tambah Lisman Manurung.

Pemko Pematang Siantar Enggan Komentar

Sementara itu, ketika dikonfirmasi PARBOABOA, Kepala Bagian (Kabag) Hukum di Sekretariat Daerah Kota Pematang Siantar, Hamdani Lubis enggan berkomentar lebih jauh terkait Surat Edaran Wali Kota yang telah beredar di masyarakat.

"Mohon dikonfirmasi ke Kepala Dinas Perhubungan selaku OPD (organisasi perangkat daerah) yang memprakarsai surat edaran tersebut untuk lebih lengkapnya," katanya ditemui di ruang kerjanya, Senin (31/7/2023).

Hamdani mengaku, Biro Hukum Setda Pematang Siantar hanya memediasi terkait muatan sanksi dalam surat edaran tersebut.

"Karena public policy (kebijakan publik) yang mengeluarkan adalah Dinas Perhubungan maka mereka yang lebih kompeten dan mengetahui maksud dikeluarkannya surat edaran bernomor 500.11.1/5302/VII/2023, kita hanya memediasi dan mengesahkan atas peraturan tersebut," jelasnya.

PARBOABOA berusaha menghubungi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan Pematang Siantar, Julham Situmorang terkait Surat Edaran Wali Kota soal Etika Penggunaan Klakson kendaraan dan sanksinya. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi dari yang bersangkutan.

Respons Masyarakat

(Sambungan) Surat Edaran Wali Kota tentang imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan di Kota Pematang Siantar yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat. (Foto: PARBOABOA/Putra Purba) 

Sementara itu, warga Kelurahan Martimbang, Kecamatan Siantar Selatan, E Simanjuntak (36) menilai, rencana penerapan Surat Edaran tentang Imbauan Etika Penggunaan Klakson Kendaraan tidak akan maksimal.

"Penerapan dan penindakannya bagaimana? Sebab implementasi denda juga tidak diketahui dan ditampung sebagai apa. Surat edarannya saja bermakna ambigu (ganda), hanya digeneralkan ke semua masyarakat umum," ujarnya kepada PARBOABOA.

Simanjuntak menyebut, Pemko Pematang Siantar seharusnya memiliki alat yang memadai dalam menentukan volume klakson kendaraan dari masyarakat.

"Jika alat penghitung untuk menentukan seberapa kuat volume klakson sudah ada dan memadai, bisa kita terima. Jika hanya disesuaikan kebisingan dari ketidaknyamanan telinga dan pengaduan masyarakat hanya di beberapa titik kemacetan, pastinya akan membuat kegaduhan dan kekacauan saja," tegasnya.

Menurutnya, Pemko Pematang Siantar harus memperbaiki terlebih dahulu permasalahan ini dari hulu, termasuk sosialisasi dan edukasi tentang penggunaan klakson di kalangan masyarakat.

"Seharusnya dari hulu dulu. Sosialisasi dan edukasi dulu kepada masyarakat. Jangan tiba-tiba dikeluarkan, tanpa sepengetahuan masyarakat, belum lagi jika memang ada anggaran terhadap sosialisasi dari dinas terkait, namun tidak tepat sasaran," kesal Simanjuntak.

Sebelumnya, salah seorang pengendara di Kota Pematang Siantar, Febrian mengatakan, salah satu penyebab kurangnya etika klakson kendaraan di kota itu karena angkot yang berhenti sembarangan sehingga menimbulkan kemacetan.

"Seharusnya yang diurus terlebih dahulu penyebab klakson berlebihan itu seperti apa. Contohnya kemacetan yang disebabkan oleh angkot-angkot di kota Pematang Siantar, mereka kadang suka-sukanya berhenti di tengah jalan, parkir tidak teratur sehingga menimbulkan kemacetan," katanya.

Pengemudi kendaraan lainnya, Albert mengaku etika klakson yang kurang di Kota Pematang Siantar karena adanya kemacetan di jam-jam tertentu.

"Menurut saya kurang etis isi surat edaran tersebut, dikarenakan setiap pengendara terkadang perlu cepat sehingga klakson itu diperlukan untuk menyadarkan pengendara lainnya," jelasnya.

"Yang perlu dibenahi sumbernya dulu, penyebab pengendara selalu klakson karena ada kemacetan. Jadi yang perlu dibenahi kemacetannya dulu, angkot dan sopirnya perlu di edukasi supaya tidak membuat macet," imbuh Albert.

Masyarakat lainnya dari Kecamatan Siantar Selatan, Lidya menilai setiap pengendara di Kota Pematang Siantar harus memiliki etika dalam penggunaan klakson kendaraan.

"Perlu dan sepakat, karena klakson yang berlebihan dapat memicu keributan dengan pengendara lain. Apalagi biasanya tingkat emosi pengendara lebih tinggi saat mengemudi di jalanan," pungkas dia.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS